Suatu pagi, saat Aruna sedang berjalan menuju kafe favoritnya untuk bekerja, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nama yang muncul di layar kembali membuat jantungnya berdegup kencang Revan.
“Aruna, aku butuh bicara lagi. Aku ingin menjelaskan segalanya. Tolong beri aku kesempatan.”
Aruna menatap pesan itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Setelah sekian lama menghindar, mengapa Revan kembali? Apakah ia benar-benar siap untuk mendengar penyesalan itu lagi? Apakah ini benar-benar untuknya, atau hanya untuk kepentingan dirinya sendiri?
Ia merasa bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah ia harus memberi kesempatan sekali lagi, ataukah ia harus membiarkan Revan pergi sepenuhnya? Segala perasaan yang ia coba kubur kembali muncul, dan ia merasa seolah-olah dirinya terjebak di persimpangan jalan yang tak jelas arahnya.
Maya, yang selalu ada di sampingnya, kembali menjadi tempat untuk berbagi. “Kamu harus mendengarkan dirimu sendiri, Aruna,” kata Maya suatu sore. “Terkadang, kita terlalu takut untuk mendengarkan suara hati kita karena kita takut akan kekecewaan. Tapi, jika kamu terus berlari dari perasaan itu, kamu hanya akan membiarkan dirimu terus terperangkap dalam ketidakpastian.”
Aruna menundukkan kepala, berpikir sejenak. Maya benar. Ia sudah cukup lama menghindar dari perasaan yang sejatinya ada dalam dirinya.
Jika ia terus berlari, ia tidak akan pernah tahu apakah ia akan menyesal atau tidak. Ia harus menghadapi perasaannya dan membuat keputusan yang akan membawanya menuju kedamaian, entah itu bersama Revan atau sendirian.
Beberapa hari kemudian, Aruna akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Revan. Ia tahu bahwa ini adalah langkah besar, sebuah langkah yang mungkin akan mengubah segala sesuatu dalam hidupnya.
Tetapi kali ini, ia tidak akan hanya mendengarkan penyesalan Revan. Ia akan mendengarkan dirinya sendiri apa yang ia inginkan, apa yang ia butuhkan, dan apakah masih ada ruang bagi cinta yang telah lama terluka.
Revan menunggu di sebuah kafe yang mereka kunjungi beberapa kali saat masih bersama. Suasana di dalam kafe itu tetap sama, namun semuanya terasa berbeda.
Aruna duduk di hadapannya, melihatnya dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Revan terlihat lebih tenang dari sebelumnya, namun ia tahu bahwa wajah itu menyimpan banyak cerita yang belum terungkap.
“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Revan?” Aruna memulai, suaranya tenang namun penuh makna.
Revan menghela napas panjang. “Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku tahu aku telah salah. Aku tahu aku telah mengabaikanmu, dan aku tidak bisa mengubah itu. Tapi, aku ingin kamu tahu, Aruna, bahwa aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu, hanya saja aku terlalu bodoh untuk melihatnya.”
Aruna menatapnya, perasaan campur aduk di dalam hatinya. Ia ingin percaya, ia benar-benar ingin percaya bahwa perubahan itu mungkin terjadi. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa ini mungkin hanya kata-kata kosong.
Ia sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu, hanya untuk menyadari bahwa di belakangnya, ada rasa sakit yang lebih besar lagi.
“Aku... aku tidak tahu, Revan,” ucap Aruna, suaranya mulai terdengar sedikit lebih rapuh. “Aku ingin percaya padamu, tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa aku telah terluka terlalu dalam. Aku telah memberikan segalanya, tapi aku merasa kamu tidak pernah melihatku.”
Revan menunduk, wajahnya dipenuhi penyesalan yang mendalam. “Aku tahu, Aruna. Aku tahu aku telah membuatmu merasa tidak dihargai. Tetapi aku bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali.”
Aruna menatapnya, mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Revan. Namun, hatinya yang terluka memberontak. Apakah ini benar-benar kesempatan kedua? Ataukah ia hanya akan kembali terjebak dalam perasaan yang sama?
Aruna menghela napas, lalu berkata dengan pelan, “Aku tidak bisa menjanjikan apapun, Revan. Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu. Tapi aku tahu satu hal—aku harus memprioritaskan diriku sendiri sekarang.”
Revan menatapnya dengan mata penuh harap. “Apapun keputusanmu, aku akan menghormatinya, Aruna. Aku hanya ingin kamu tahu, aku tidak akan berhenti berusaha.”
Aruna mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Ia harus memberi waktu pada dirinya sendiri untuk memutuskan, apakah ia akan memberi kesempatan lagi pada Revan, ataukah ia akan melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang masa lalu.
Tetapi satu hal yang pasti ia tidak akan lagi membiarkan perasaan dan harapan orang lain mengatur hidupnya. Keputusan itu berada di tangannya, dan ia berhak untuk memilih jalannya sendiri.
Beberapa minggu telah berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Revan. Waktu tidak pernah benar-benar memberi jawaban yang Aruna harapkan, namun ia tahu satu hal yang pasti hidupnya tidak bisa lagi tergantung pada masa lalu.
Ia tidak bisa terus berada dalam lingkaran harapan yang tak berujung, yang membawa lebih banyak luka daripada kebahagiaan.
Sementara Revan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya, Aruna merasa semakin yakin bahwa ia harus membuat pilihan yang tegas tentang jalan hidupnya.
Setiap hari, Aruna berusaha untuk tetap kuat. Ia tetap menjalani rutinitasnya di apartemen, bekerja, menulis, dan mencoba menemukan kedamaian dalam kebisingan dunia luar. Namun, di balik semua itu, ada ketidakpastian yang selalu mengganggu pikirannya.
Aruna tidak tahu harus mulai dari mana apakah ia harus memberi kesempatan pada Revan sekali lagi, ataukah ia harus terus berjalan sendirian dan meninggalkan semua yang berhubungan dengannya?
Pertanyaan itu terus menghantui Aruna, namun kali ini ia memutuskan untuk berhenti mencari jawaban di luar dirinya. Ia tahu bahwa untuk menemukan kedamaian, ia harus terlebih dahulu menenangkan hatinya sendiri. Tidak ada yang bisa memutuskan untuknya kecuali dirinya sendiri.
Suatu malam, Aruna duduk di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang yang tampak begitu jauh.
Hujan baru saja berhenti, meninggalkan udara yang segar dan dingin. Ia merasakan angin yang berhembus lembut di wajahnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aruna merasa seolah-olah ia bisa bernapas dengan lega.
Hatinya, yang selama ini terasa berat, mulai merasakan sedikit ketenangan. Mungkin, ini adalah waktu yang tepat untuk memutuskan langkah selanjutnya.
Ia membuka ponselnya dan melihat pesan dari Revan. “Aruna, aku ingin berbicara. Aku akan menghormati apapun keputusanmu, tapi aku benar-benar ingin kita bisa duduk bersama dan mendiskusikan apa yang terjadi.”
Aruna menghela napas, membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Revan, meskipun telah menyakitinya, tampaknya benar-benar berusaha berubah.
Tetapi, apakah perubahan itu cukup untuk menebus semua yang telah terjadi? Dan apakah perubahan itu adalah apa yang benar-benar ia butuhkan?
Pikiran Aruna kembali terfokus pada dirinya sendiri. Apa yang ia inginkan? Apa yang akan membuatnya bahagia? Ia merasa seolah-olah selama ini ia telah hidup untuk orang lain untuk memenuhi harapan orang tuanya, untuk menjadi istri yang sempurna bagi Revan, untuk memenuhi ekspektasi dunia. Tetapi sekarang, ia ingin hidup untuk dirinya sendiri. Ia ingin menemukan kebahagiaan yang tidak bergantung pada orang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments