Di sisi lain, Revan merasa terhimpit oleh rasa bersalah yang mendalam. Setiap kali ia memikirkan Aruna, hatinya dipenuhi penyesalan. Ia tahu, selama ini ia telah gagal menjadi seorang suami yang baik. Ketika pernikahan mereka dimulai, ia hanya berpikir tentang karir, tentang masa depan yang cerah, dan segala yang dapat ia capai.
Cinta tidak pernah menjadi prioritas, dan Aruna, meskipun ada di sisinya, selalu menjadi bayang-bayang. Kenangan akan wanita lain selalu menguasai pikirannya, dan ia tidak pernah memberi ruang untuk Aruna di dalam hatinya. Namun sekarang, setelah Aruna pergi, ia merasa hampa.
Revan kembali ke rumah besar yang kini terasa begitu sepi. Ruang tamu yang dulu sering diisi oleh tawa dan percakapan, kini hanya dipenuhi keheningan.
Aruna tidak ada di sana untuk menungguinya pulang, tidak ada di meja makan untuk menemaninya makan malam.
Semua terasa kosong. Ia berjalan perlahan ke ruang kerjanya, menatap deretan foto-foto keluarga yang terpajang di dinding.
Di antara foto itu, ada satu gambar Aruna dengan senyumnya yang hangat dan matanya yang penuh harapan. Itu adalah foto yang diambil beberapa bulan setelah pernikahan mereka.
Seperti segala yang terjadi dalam hidupnya, semuanya terasa begitu cepat berlalu, dan sekarang ia harus menghadapi kenyataan yang pahit. Aruna telah pergi, dan ia tidak tahu apakah ia bisa memperbaiki semuanya.
Hari demi hari, Revan mencoba menghubungi Aruna. Ia mengirim pesan, menelpon, bahkan datang ke apartemennya. Namun, Aruna selalu menghindar. Ia tahu bahwa ia harus memberi ruang bagi dirinya sendiri, waktu untuk merenung dan memutuskan apa yang benar-benar ia inginkan. Namun, setiap kali Revan datang, ia merasa gelisah. Apa yang sebenarnya ia harapkan? Apa yang bisa mereka lakukan sekarang setelah begitu banyak waktu yang terbuang?
Di tengah kebingungannya, Aruna berusaha menemukan kedamaian dalam dirinya. Ia mulai melibatkan diri lebih dalam dalam pekerjaannya, merancang desain-desain baru yang menarik. Perlahan, dunia yang semula terasa sempit dan sunyi mulai terasa sedikit lebih cerah.
Keputusan untuk melepaskan Revan dan segala yang berhubungan dengan pernikahan mereka, tidak pernah menjadi keputusan yang mudah. Namun, setiap langkah yang ia ambil untuk menyembuhkan dirinya membawa perasaan lega yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Suatu pagi, saat Aruna sedang bekerja di meja kerjanya, ponselnya berdering. Ada pesan dari seorang teman lama, Maya, yang sudah lama tidak ia hubungi.
"Aruna, aku dengar kamu baru saja pindah ke apartemen baru. Gimana kalau kita ketemu? Aku ingin mendengar ceritamu."
Aruna tersenyum kecil membaca pesan itu. Maya adalah teman yang mengenalnya sejak kecil, seseorang yang selalu ada untuknya, baik di saat-saat bahagia maupun sulit. Ia belum sempat menceritakan apapun tentang perceraiannya dengan Revan kepada Maya, tetapi ia tahu, Maya adalah orang yang akan mendengarkan tanpa menghakimi.
Setelah beberapa jam, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman. Maya melihat Aruna dengan tatapan penuh perhatian.
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan lembut, tidak terburu-buru.
Aruna menghela napas panjang, menatap secangkir kopi yang ada di depannya. “Aku pikir aku sudah cukup kuat, Maya. Aku pikir aku bisa bertahan, bahwa aku bisa membuatnya berubah, tapi... itu semua tidak terjadi. Aku merasa seperti aku telah menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk menjadi sesuatu yang aku bukan. Aku tidak tahu lagi siapa diriku.”
Maya menatapnya dengan empati. “Kamu tidak harus menjadi siapa-siapa selain dirimu sendiri, Aruna. Tidak ada yang salah dengan mengambil langkah mundur untuk menemukan kebahagiaanmu. Terkadang, kita harus melepaskan apa yang tidak membawa kita pada kebahagiaan sejati.”
Aruna mengangguk, merasa sedikit lega setelah mendengar kata-kata Maya. Meskipun masih ada keraguan dalam dirinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Kehidupan baru menantinya, dan meskipun itu tidak mudah, ia harus berani melangkah ke depan.
Pada akhirnya, pertemuan dengan Maya memberikan sedikit ketenangan dalam hati Aruna. Ia tahu, apapun yang terjadi, hidupnya harus dilanjutkan dan kali ini, ia akan melakukannya untuk dirinya sendiri.
Aruna tidak tahu apakah ada yang bisa mengembalikan kebahagiaan yang telah hilang, namun satu hal yang pasti, ia mulai belajar untuk menerima kenyataan dan menjalani hidupnya dengan cara yang baru.
Selama beberapa minggu terakhir, perasaan hampa itu perlahan memudar, digantikan dengan perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya perasaan diberdayakan.
Ia menyadari bahwa meskipun hidupnya penuh dengan kekecewaan dan rasa sakit, ia masih memiliki kontrol penuh atas dirinya. Ia tidak lagi terikat pada keputusan atau harapan orang lain, terutama Revan.
Setelah berbicara dengan Maya, Aruna merasa seolah-olah dunia membuka sedikit pintu untuknya. Maya, yang selalu mendukungnya sejak dulu, menjadi tempat pelarian yang aman. Ia merasa bisa berbagi cerita tanpa rasa takut akan dihakimi. Melalui pertemuan mereka, Aruna menemukan kekuatan baru yang membantunya melangkah lebih jauh dari bayang-bayang masa lalunya.
Hari-hari Aruna di apartemennya yang sederhana kini dipenuhi dengan rutinitas baru. Pekerjaan desain grafis yang ia jalani kini menjadi pengalih perhatian yang menyenangkan.
Setiap kali ia selesai mengerjakan sebuah proyek, ia merasa seperti telah meraih sesuatu yang berharga sesuatu yang lebih dari sekadar materi. Namun meskipun begitu, ada satu hal yang tak bisa ia lepaskan begitu saja: Revan.
Keberadaan Revan dalam hidupnya selalu membayangi, meskipun ia berusaha untuk tidak lagi memikirkannya. Revan bukan hanya seorang suami yang telah mengabaikannya, tetapi juga seseorang yang pernah menjadi bagian dari dirinya, dari mimpinya.
Beberapa malam, Aruna terbangun dari tiduran dengan perasaan sesak yang tiba-tiba datang tanpa peringatan. Revan ada di sana, dalam bayangannya, dan ia tidak bisa menghapusnya begitu saja.
Meskipun ia terus mencoba mengabaikan perasaan itu, satu hal yang tak bisa ia pungkiri: ia masih mencintainya. Atau lebih tepatnya, ia masih terikat pada masa lalu, pada kenangan-kenangan indah yang kini telah rusak. Namun, Aruna juga tahu bahwa ia harus memutuskan hubungan itu bukan karena ia tidak mencintai Revan, tetapi karena cinta itu telah menjadi sesuatu yang beracun, sesuatu yang tak bisa lagi memberi kehidupan padanya.
Satu malam, saat hujan turun dengan derasnya, Aruna duduk di dekat jendela, memandangi tetesan air yang menetes di kaca. Pikirannya melayang kembali ke pertemuan terakhirnya dengan Revan.
Ia bisa melihat wajah suaminya yang penuh penyesalan, dan meskipun hatinya ingin percaya bahwa perubahan itu mungkin terjadi, ia tahu bahwa terlalu banyak waktu yang telah terbuang untuk bisa kembali.
Ia memutuskan untuk menulis, menyalurkan perasaannya lewat kata-kata, berharap itu bisa meredakan kegelisahannya. Tapi, meskipun ia berusaha untuk melanjutkan hidupnya, perasaan itu tidak bisa hilang begitu saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments