SIAPA DIA?

Pagi itu, Randa berangkat ke sekolah seperti biasa. Namun, ia merasa perutnya melilit karena tadi pagi ia buru-buru dan tidak sempat sarapan. Ia mencoba menahan rasa sakit itu selama pelajaran pertama, tapi semakin lama, rasa sakitnya membuatnya sulit berkonsentrasi. Guru di kelas pun memperhatikan wajah Randa yang pucat.

"Randa, kamu kenapa? kamu sakit? Kalau tidak kuat, silakan ke UKS," kata Bu Lila, guru Bahasa Inggris yang sedang mengajar.

Randa hanya mengangguk pelan sambil memegangi perutnya. Dengan langkah lemas, ia berjalan menuju UKS. Sampai di sana, ia langsung berbaring di salah satu tempat tidur yang tersedia. Ruangan itu sepi, hanya ada suara kipas angin yang berputar pelan di atas.

Sambil memejamkan mata, Randa berharap rasa sakit di perutnya mereda. Namun, beberapa menit kemudian, ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Entah kenapa, udara di dalam ruangan terasa dingin. Ia membuka matanya perlahan, mencoba melihat sekeliling.

Saat itulah ia menyadari sesuatu. Di tempat tidur sebelah, ada seorang siswi yang sedang tidur. Randa tidak mengenali siapa dia. Rambutnya panjang, wajahnya cantik, tapi pucat seperti tidak ada darah yang mengalir.

Dengan rasa penasaran, Randa perlahan menggeser tirai gorden pembatas yang memisahkan mereka. Jantungnya berdebar kencang saat wajah siswi itu terlihat lebih jelas. Wajah itu... mengingatkan Randa pada sosok yang ia lihat kemarin di belakang sekolah.

Namun, kali ini sosok itu tidak menyeramkan. Justru terlihat tenang. Randa ragu-ragu, tapi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Hei, kamu siapa?"

Siswi itu membuka matanya perlahan. Senyumnya tipis, tapi tetap membuat Randa merasakan sesuatu yang tidak biasa. "Aku?" katanya dengan suara lembut. "Hanya seseorang yang kebetulan ada di sini."

Randa bingung, tapi ia tidak ingin terlalu banyak bertanya. Ia mencoba untuk santai. "Eh, kenapa kamu di sini? Kamu sakit juga?"

Siswi itu tertawa kecil. "Mungkin, mungkin tidak," jawabnya singkat.

Obrolan mereka pun berlanjut. Meski aneh, Randa merasa nyaman berbicara dengannya. Siswi itu terlihat pintar, cerdas, dan punya cara berbicara yang membuat Randa ingin terus mendengar. Namun, ada sesuatu yang ganjil. Setiap kali Randa menanyakan namanya, siswi itu selalu mengalihkan pembicaraan.

Tidak terasa, bel istirahat pertama berbunyi. Randa merasa perutnya mulai membaik dan memutuskan untuk ke toilet sebentar sebelum kembali ke kelas. "Eh, aku ke toilet dulu ya, jangan ke mana-mana," kata Randa sambil tersenyum.

Namun, saat ia kembali ke UKS, siswi itu sudah tidak ada. Tempat tidurnya kosong, seperti tidak pernah digunakan sama sekali.

Randa mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. Ia memeriksa perawat UKS yang duduk di meja depan. "Bu, tadi di ruang UKS ada cewek yang bareng saya. Dia ke mana ya?"

Perawat itu menatap Randa dengan bingung. "Cewek? Cewek yang mana? Orang dari tadi kamu sendirian, Dek. Gak ada siapa-siapa selain kamu."

Jantung Randa berdegup kencang. Ia mencoba menenangkan pikirannya, tapi bayangan wajah siswi itu kembali muncul. Wajah cantik dengan senyum misterius yang terasa... dingin. Itu dia. Itu hantu yang kemarin aku lihat di belakang sekolah.

Randa tidak tahu harus berbuat apa. Namun, yang pasti, ada sesuatu yang akan segera terjadi. Sesuatu yang melibatkan siswi itu... dan dirinya.

-DI DESA SUKAMUNDUR-

Sore itu, Kendil dan Betok berjalan santai di jalan setapak menuju rumah mereka setelah pulang sekolah. Langit mulai memerah, menandakan senja segera tiba. Desa yang biasanya tenang sore itu terasa sedikit sunyi, hanya ada suara burung dan gemerisik daun.

"Eh, Dil, lu nyadar nggak? Sejak kejadian waktu itu, gue kayak sering ngerasa merinding tiap lewat tempat ini," ujar Betok sambil mengusap tengkuknya.

"Ah, lu kebanyakan mikir, Tok. Itu cuma bayangan lu aja," balas Kendil santai, tangannya dimasukkan ke saku celana.

Namun, langkah mereka mendadak terhenti ketika di depan mereka, berdiri seorang pria misterius mengenakan jubah hitam panjang yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Wajahnya tertutup bayangan dari tudung jubahnya, tapi tatapannya yang tajam terlihat jelas meskipun hari mulai gelap.

Betok langsung berhenti dan berbisik pelan, "Dil, ini orang siapa? Kok kayak penjahat di film-film horor gitu?"

"Diem lu, Tok. Jangan panik dulu," ujar Kendil sambil tetap menatap pria itu dengan hati-hati.

Pria itu melangkah mendekat, langkahnya pelan tapi terdengar tegas di jalanan berbatu. Ketika jaraknya hanya beberapa meter dari mereka, pria itu akhirnya berbicara dengan suara berat, "Hei, kalian berdua. Aku mau tanya sesuatu."

Kendil dan Betok saling pandang, sedikit ragu. "Tanya apa, Om?" ujar Kendil akhirnya.

"Saya denger denger di desa ini ada sebuah hutan yang disebut Hutan Larang Wana. Apa kalian tahu di mana letaknya?"

Betok langsung merinding. Ingatannya melayang ke kejadian waktu liburan saat ia dan Kendil masuk ke hutan itu. Betok mencoba menenangkan diri, tapi rasa takut membuatnya tanpa sadar melontarkan candaan, "Om, mending nggak usah tau deh tempat itu. Soalnya di sana adaa...aa haantuuu! Serem, Ihh!"

Kendil yang lebih tenang langsung memotong, "Om, maaf, kami nggak terlalu tau soal hutan itu. Cuma denger cerita-cerita orang aja. Kalau nggak ada apa-apa lagi, kami permisi dulu ya."

Kendil menarik lengan Betok, mengajaknya berjalan menjauh dari pria itu. Namun, baru beberapa langkah, pria itu memanggil mereka lagi dengan suara yang sedikit lebih keras, "Hei, tunggu dulu!"

Betok langsung pucat. "Dil, kita kabur aja yuk! Ini orang nggak bener, sumpah!" bisiknya panik.

Kendil tetap berjalan santai, tapi Betok semakin panik dan mulai setengah berlari. Pria itu memanggil lagi, kali ini dengan suara lebih tinggi, "Hei, berhenti dulu! Saya cuma mau bicara sebentar!"

Akhirnya, Kendil dan Betok berhenti, walau dengan rasa waspada. Kendil menoleh dengan wajah datar, sementara Betok masih terlihat ketakutan.

Akhirnya, Kendil dan Betok berhenti, walau dengan rasa waspada. Kendil menoleh dengan wajah datar, sementara Betok masih terlihat ketakutan.

"Ada apa lagi, Om?" tanya Kendil sambil melipat tangan di dada.

Pria itu menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada memelas, "Saya cuma mau minta uang. Udah tiga hari saya nggak makan. Saya minta 20 ribu aja buat beli makan."

Betok yang tadinya ketakutan langsung melongo. "Hah? Minta uang? Kirain mau apa tadi..."

Kendil langsung tertawa kecil, sedangkan Betok tertawa terbahak-bahak. "Whahaha, alamak om om, sumpah dah! Tadi saya kira mau nyulik kita atau apalah yang serem-serem. Eh, ujung-ujungnya cuma minta duit! Hahaha!"

"Om gini aja deh, duit sih kita punya, tapi mending kita ajak Om nya makan di warteg langganan kita aja, gimana? Murah meriah, enak pula," kata Betok sambil tersenyum lebar.

Pria itu tampak ragu sesaat, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, kalau kalian tidak keberatan."

Akhirnya mereka bertiga berjalan menuju warteg Bu Enok.

Sesampainya di warteg, suasana langsung berubah jadi lucu. Betok, dengan gayanya yang humoris, mulai bercanda.

"OM, kalau di sini makanannya dijamin bikin kenyang, tapi jangan banyak-banyak, nanti berat badan naik, terus jubah hitamnya jadi sempit," kata Betok sambil terkekeh.

Pria itu hanya memandang tanpa ekspresi, tapi matanya melirik ke daftar menu di dinding. "Nasi sama telur ceplok aja," katanya.

"Nggak usah malu-malu, Om! Kita traktir, pesan aja ayam goreng sekalian! Bu Enok, ayam goreng satu buat Om ganteng!" Betok berteriak ke arah dapur.

Kendil menepuk jidat. "Tok, elo yang traktir, tapi jangan boros, duit kita pas-pasan!"

"Lah, kan buat kebaikan, Dil. Nanti kan bisa ngutang lagi ke Bu Enok," jawab Betok santai.

Pria misterius itu akhirnya tertawa kecil untuk pertama kalinya, melihat tingkah mereka yang konyol. "Kalian ini anak-anak aneh, tapi... terima kasih."

Ketika makanan datang, Betok langsung berceloteh lagi, "Om, makan di sini harus habis, lho. Kalau nggak, Bu Enok bisa ngamuk. Saya pernah makanannya gak habis, besoknya dikasih nasi sisa!"

Pria misterius itu tampak kebingungan, tapi akhirnya tersenyum. "Kalian memang lucu. Saya jarang ketemu orang seperti kalian."

Makan Sore itu penuh dengan candaan Betok, dari mengomentari lauk pria itu sampai mengajaknya main tebak-tebakan konyol. "Om, tau gak, kenapa ayam goreng itu enak banget?"

"Kenapa?" tanya pria itu, penasaran.

"Soalnya dia nggak tau dirinya bakal dimakan!" jawab Betok sambil tertawa keras.

Kendil hanya menggeleng sambil mengunyah, sementara pria itu akhirnya tertawa lepas untuk pertama kalinya.

Setelah selesai makan, mereka bertiga keluar dari warteg dengan perut kenyang. Pria misterius itu berterima kasih sambil tersenyum hangat. "Kalian benar-benar baik. Kalau ada waktu, saya ingin traktir kalian suatu saat nanti."

Betok menepuk bahu pria itu. "Om, kalau mau traktir kita, pilih tempat yang ada diskonnya, ya!"

Mereka semua tertawa kecil, dan sore itu diakhiri dengan suasana yang jauh lebih hangat daripada sebelumnya.

Terpopuler

Comments

♥\†JOCY†/♥

♥\†JOCY†/♥

Terus terang ini adalah salah satu cerita terbaik yang pernah gue baca! 🌟

2025-05-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!