Liburan kenaikan kelas sudah berlalu. Matahari pagi bersinar cerah di atas atap sekolah SMA Cipta Karsa, memberikan kesan baru di awal semester baru. Para siswa terlihat bersemangat kembali ke sekolah setelah sebulan penuh menikmati liburan. Di antara keramaian pagi itu, tampak tiga sosok yang sudah tidak asing lagi yaitu Randa, Kobel, dan Calung.
Ketiganya baru saja turun dari angkot yang mereka tumpangi bersama. Randa berjalan dengan gaya santai khasnya, tangan dimasukkan ke dalam saku celana seragam abu-abunya. Kobel, dengan style rambut 60/40 ala oppa oppa Korea yang di potong sehari sebelum masuk sekolah, membawa ransel kecil yang terlihat hampir kosong. Di sisi lain, Calung berjalan sambil bersiul riang, sesekali melemparkan candaan kepada teman-temannya.
"Eh cuyy, beneran nih kita sekelas?" tanya Calung sambil melirik kedua sahabatnya.
"Iyaa bener. Gue udah cek daftar kelas di website sekolah tadi pagi. Kita bertiga di kelas 12C," jawab Kobel sambil melirik kearah cewe cewe karena style rambut barunya yang kece.
"Wah, gokil! Berarti kita bakal satu tahun bareng lagi, nih," kata Calung sambil tersenyum lebar.
Namun, Randa hanya mendengus pelan. "Tapi ingat, jangan bikin malu. Gue gak mau gara-gara kalian gue dapet nama buruk di kelas."
Kobel tertawa kecil. "Santai, Ndra. Kan lo udah terkenal duluan, si 'sombong tapi jago.' Kita mah cuma pelengkap doang, hahaha!"
Randa hanya meliriknya dengan pandangan sinis tapi enggan membalas. Mereka pun berjalan menuju ruang kelas XII-C, yang terletak di lantai dua.
Kesan Pertama di Kelas XII-C
Begitu masuk ke dalam kelas, suasana riuh langsung menyambut mereka. Siswa-siswi lainnya sudah mulai mengambil tempat duduk, beberapa terlihat saling sapa dengan teman lama, sementara yang lain sibuk mencari posisi strategis dekat kipas angin atau jendela.
Randa, Kobel, dan Calung segera mencari meja kosong di bagian kanan kelas. Seperti biasa, Randa duduk dengan tenang di kursi dekat jendela, sedangkan Kobel mengambil tempat di sebelahnya.
"Eh, kita duduk di sini aja ya, Ndra. Biar gampang ngeliat cewek-cewek cantik lewat, hehe" ujar Calung sambil menyengir, matanya sudah mulai memindai satu per satu wajah teman sekelas mereka.
Randa hanya menggeleng pelan. "Lo tuh gak pernah berubah ya, Lung. Fokus lah, ini kelas 12, masa depan kita ditentuin di sini."
"Ah, sok serius lo. Hidup tuh jangan tegang-tegang amat," sahut Calung sambil menepuk pundak Randa.
Sementara itu, Kobel sibuk mengeluarkan buku catatan dan alat tulis dari tasnya. "Gue heran, kenapa lo berdua gak pernah mau bawa perlengkapan sekolah yang bener? Masa gue doang yang siap begini."
Calung tertawa. "Lo tuh anak baik-baik banget, Bel. Gue sama Randa mah tipe orang yang lebih suka improvisasi."
Beberapa menit kemudian, suasana kelas mulai tenang saat seorang guru masuk. Beliau adalah Pak Adi, guru matematika yang sekaligus menjadi wali kelas XII-C. Dengan badan tinggi tegap dan suara lantang, beliau segera menarik perhatian seluruh siswa.
"Selamat pagi, anak-anak!" sapa Pak Adi dengan senyum tegas.
"Pagi, Pak!" balas seluruh siswa serempak.
Pak Adi meletakkan buku catatannya di meja guru, lalu mulai berbicara. "Pertama-tama, selamat datang di kelas XII-C. Kalian sekarang adalah siswa kelas akhir, jadi saya harap kalian semua bisa lebih dewasa dan bertanggung jawab. Ingat, ini adalah tahun penentuan untuk masa depan kalian."
Randa mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun wajahnya tetap datar. Di sisi lain, Kobel mencatat beberapa poin penting yang disebutkan Pak Adi, sementara Calung justru sibuk menggaruk-garuk kepalanya sambil mencoba tetap terlihat serius.
Setelah beberapa pengantar dari Pak Adi, beliau mulai membagi jadwal piket dan aturan kelas. Randa, Kobel, dan Calung kebetulan mendapat giliran piket di hari yang sama, yaitu hari Jumat.
"Lihat aja, Ndra," bisik Calung sambil terkikik. "Hari piket kita bakal jadi hari bersantai gue."
Randa hanya mendesah pelan. "Lo tuh gak pernah serius, Lung."
Perkenalan Siswa Baru
Setelah sesi aturan kelas selesai, Pak Adi meminta setiap siswa untuk memperkenalkan diri satu per satu. Suasana kelas jadi lebih santai saat beberapa siswa mulai memperkenalkan diri dengan gaya unik mereka.
Ketika giliran Calung tiba, ia berdiri dengan percaya diri. "Hallo guys, perkenalkan nama gue Calung. Hobi gue makan, tidur, sama bikin masalah kecil biar hidup gak ngebosenin, hehe" ujarnya sambil menyengir lebar, membuat seluruh kelas tertawa.
Kobel, yang giliran setelah Calung, memperkenalkan diri dengan lebih sederhana. "Nama gue Kobel. Gue suka main gitar sama nulis lagu. Kalo ada yang mau bikin band, boleh ngajak gue."
Randa, seperti biasa, memperkenalkan diri dengan singkat dan langsung to the point. "Nama gue Randa. Hobi gue basket. Udah, itu aja."
Meskipun singkat, cara Randa berbicara yang penuh percaya diri membuat beberapa siswa berbisik-bisik, mungkin terkesan dengan aura cool-nya.
Setelah jam pelajaran pertama usai, ketiganya berkumpul di kantin untuk mengisi energi. Calung segera memesan bakso favoritnya, sementara Kobel memilih teh manis hangat. Randa hanya duduk sambil meminum es teh dengan tenang.
"Gimana, Ndra? Kelas baru, teman baru. Lo betah gak?" tanya Kobel sambil menyeruput tehnya.
"Liat aja nanti. Yang penting kita bertiga gak berubah. Jangan sampai ada yang ninggalin," jawab Randa dengan nada serius.
Calung tersenyum. "Santai, bro. Gue mah selalu di sini, siap bikin hidup lo makin seru."
Mereka bertiga tertawa kecil, menikmati momen kebersamaan itu. Meskipun awal kelas 12 ini penuh tantangan, mereka yakin selama tetap bersama, segala rintangan pasti bisa dilewati.
Setelah istirahat pertama selesai, kelas XII-C kedatangan seorang guru baru. Pak Radit, guru Bahasa Indonesia, memperkenalkan dirinya dengan suara berat dan tatapan tajam. Sosoknya tinggi dengan rambut sedikit beruban di bagian pelipis, membuatnya terlihat serius.
"Halo, anak-anak. Nama saya Radit. Mulai semester ini, saya akan mengajar Bahasa Indonesia di kelas kalian," katanya sambil berjalan perlahan ke depan kelas.
Seketika, suasana kelas menjadi sunyi. Aura Pak Radit yang tegas membuat semua siswa merasa segan.
"Pelajaran ini bukan hanya tentang membaca atau menulis. Saya ingin kalian belajar memahami makna di balik setiap kata. Bahasa adalah cerminan dari siapa diri kita," lanjutnya.
Calung yang biasanya suka berbisik-bisik dengan Kobel, kali ini diam seribu kata. Bahkan, ketika Pak Radit mulai membahas tugas pertama mereka, Calung terlihat lebih serius daripada biasanya.
"Lung, kenapa lo diem aja?" bisik Randa.
Calung menggeleng pelan. "Entah kenapa, gue agak takut sama guru baru ini, Ndra. Rasanya kayak dia bisa baca pikiran gue."
"Ah, lo aja yang parno," balas Randa sambil mengangkat bahu.
Namun, jauh di dalam hati, Randa juga merasa ada yang aneh dengan Pak Radit. Cara dia menatap setiap siswa seolah-olah sedang mengamati sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain.
Bell berbunyi, menandakan jam istirahat kedua sudah tiba, para murid keluar dari kelas mereka.
sekitar pukul 12 siang, suasana di sekolah sudah mulai lengang. Kebanyakan siswa memilih beristirahat di kantin atau duduk santai di kelas. Namun, Randa dan teman temannya punya agenda lain.
Randa, Kobel, dan Calung memutuskan untuk bermain basket di lapangan sekolah. Mereka membawa bola yang sudah agak usang dan agak kempes.
Di tengah-tengah mereka yang sedang bermain basket, tiba-tiba Kobel bertanya tentang sikap guru baru tadi yang terlihat aneh.
"Ndra, lo sadar gak? Guru baru itu kayak punya sesuatu yang dia sembunyiin deh," kata Kobel sambil memantulkan bola ke lantai.
Randa mengangguk. "Gue juga ngerasa gitu. Tapi, kita gak punya bukti apa-apa."
"Buset bukti ga tuh. Emang kita mau ngapain bahas bahas bukti segala? Kita kan bukan detektif!" Calung memotong sambil berusaha merebut bola dari Kobel.
Kobel tertawa kecil. "Yah, gue cuma penasaran aja. Guru kayak dia biasanya punya cerita menarik."
Mereka pun melanjutkan permainan dengan santai, Tetapi ketika mereka asik bermain basket Randa pun mulai menyadari pantulan bola nya yang sudah tidak enak untuk di dribble karena bola itu sudah usang dan kempes.
"Gaiss, Gue mau ambil bola basket baru dari gudang belakang dulu ya, Bola yang ini ga enak di dribble nya, udah kempes parah ni," kata Randa sambil mengelap keringatnya.
"Ngapain repot? Bola ini aja cukup kok," balas Kobel.
Pada akhirnya Randa tetap memutuskan untuk pergi ke gudang belakang sekolah sendirian. Kobel dan Calung tetap lanjut bermain dengan menggunakan bola yang kempes itu.
Gudang utama tempat penyimpanan peralatan olahraga terkunci, jadi satu-satunya pilihan Randa adalah mencari bola basket di gudang tua yang ada di belakang sekolah. Tempat itu tidak terawat, penuh dengan debu, dan dihiasi semak-semak liar di sekelilingnya.
Di perjalanan menuju gudang belakang, Randa melihat seorang siswi berjalan di area gudang belakang, mengenakan seragam putih abu-abu. Rambutnya panjang dan tergerai, tampak sedikit berantakan karena angin. Randa tidak mengenal siswi itu, tapi ia merasa aneh karena tidak pernah melihatnya di sekolah sebelumnya.
"Eh, lo anak kelas mana?" tanya Randa.
Siswi itu tidak menjawab, hanya terus berjalan ke arah gudang tua.
Randa mempercepat langkahnya, tapi ketika ia sampai di depan gudang, siswi itu sudah menghilang. Tidak ada siapa pun di sana.
"Hah? Kemana dia?" gumam Randa sambil menggaruk kepala.
Ia memeriksa sekitar, tapi tidak menemukan jejak apa pun. Namun, di dekat pintu gudang, ia melihat sesuatu yang membuatnya merinding. Sebuah kalung dengan gantungan berbentuk hati tergeletak di tanah, sebagian terkubur oleh debu dan daun kering.
Randa mengambil kalung itu, dan saat ia memegangnya, perasaan dingin menjalari tubuhnya. Ada bercak merah gelap di gantungan kalung itu, terlihat seperti darah yang mengering.
"Hah? Apaan ni?"
Sebelum Randa sempat memeriksa lebih lanjut, suara langkah kaki membuatnya menoleh. Kobel dan Calung datang menghampirinya dengan wajah penasaran.
"Woyy,, Ndra, lama amat ambil bola nya?" tanya Kobel.
Randa buru-buru memasukkan kalung itu ke dalam saku celananya. "Sabar ngapa. Gue kesusahan buka pintu nya ni."
Kobel mengerutkan kening. "Yang benerrr, tapi kok muka lo pucet banget kaya abis liat setan."
"Ah, banyak omong lu, sini bantuin Gue buka pintunya" jawab Randa yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
Pada akhirnya mereka menemukan bola basket yang cocok dan lanjut bermain basket lagi.
Di Malam Yang Sunyi
Malam harinya, di kamar Randa, ia mengambil kalung itu dari saku celananya dan memeriksanya lebih dekat. Bercak darah di gantungan berbentuk hati itu masih jelas terlihat, meskipun sudah mengering. Gantungan itu terbuat dari logam berat, dan ada ukiran kecil di permukaannya.
Tiba-tiba, Randa merasa seperti ada seseorang yang mengawasinya. Ia menoleh ke arah jendela, tapi tidak ada apa-apa di luar. Namun, bulu kuduknya berdiri. Suasana kamar yang biasanya nyaman mendadak terasa dingin dan menekan.
"Gilaaa, gue terlalu mikirin ni kalung, sampe merinding gini." gumamnya, mencoba menenangkan diri. Ia memasukkan kalung itu ke dalam laci meja dan memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi malam itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments