JEJAK KENDIL DAN BETOK

Di sebuah desa kecil bernama Sukamundur, yang dikelilingi sawah hijau dan udara segar yang jarang ditemukan di kota besar seperti Jakarta, seorang remaja bernama Kendil tengah menikmati masa liburannya setelah selesai ujian kenaikan kelas. Kendil adalah anak tunggal yang dikenal di desanya sebagai sosok cerdas tapi santai. Meski begitu, dia bukan tipe yang gemar belajar; dia lebih suka menghabiskan waktu bersama sahabat karibnya, Betok.

...******...

Kendil dan Betok adalah dua remaja sebaya yang tinggal di Desa Sukamundur, Meski usianya sama, sifat mereka bertolak belakang. Kendil dikenal sebagai sosok yang pendiam dan cenderung serius, sementara Betok adalah kebalikannya: humoris, ceroboh, dan kerap membuat orang tertawa dengan tingkah bodohnya.

Betok, yang kepalanya botak sejak kecil, sering menjadi bahan ejekan anak-anak di desa. Tapi ia justru menanggapi ejekan itu dengan bercanda, membuat suasana selalu riang. Kendil, di sisi lain, adalah sosok yang tidak banyak bicara. Meski begitu, ia punya pesona tersendiri-bukan hanya karena kemampuannya dalam bela diri, tetapi juga sikapnya yang tampak angkuh namun tidak berlebihan. Kendil sering merasa dirinya lebih kuat daripada orang lain, dan hal itu membuatnya terkesan cuek serta sok jago di mata teman-temannya. Tapi di balik itu, ia sebenarnya sangat sederhana.

Pagi itu, mereka duduk di tepi sungai, seperti biasanya. Kendil bersandar di batang pohon dengan tangan terlipat di dada, memandangi aliran air tanpa ekspresi. Sementara Betok sibuk mencoba menangkap capung dengan tangannya yang besar.

"Dil, lu tau gak kenapa gue botak?" tanya Betok tiba-tiba, menyeringai lebar.

Kendil menghela napas panjang, malas meladeni. "Karna lu kebanyakan mikir, otaknya panas, terus rambut lu gosong?"

Betok tertawa keras. "Hampir bener! Tapi sebenernya, rambut gue tuh kabur gara-gara dia gak tahan sama kejeniusan gue."

Kendil melirik Betok dengan tatapan datar. "Lucu banget, gue sampe pengen ketawa sambil salto."

Betok pura-pura cemberut. "Ah, lu emang gak ngerti humor, Dil. Hidup lu serius banget. Lu tuh harus belajar santai kayak gue."

Kendil mengangkat bahu. "Santai itu buat orang yang gak punya tujuan, Tok. Gue gak kayak lu."

Mendengar itu, Betok hanya tersenyum kecil. Meski sering bercanda, ia tahu Kendil adalah teman terbaiknya, meski kadang terlalu angkuh dan keras kepala. Tapi itulah yang membuat mereka saling melengkapi.

Hari itu, Betok mendengar cerita dari seorang warga desa tentang sebuah batu besar di tengah hutan yang konon menjadi tempat tinggal makhluk gaib. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengajak Kendil untuk pergi ke sana.

"Dil, gue mau ajak lu ke suatu tempat, tempat itu adalah hutan kramat, gue denger dari warga kalo di hutan itu katanya ada batu segede gaban terus, nah pas banget gue tau jalan nya ni, kita jalan jalan ke sono yu, Dill!"

"Tok, seriusan lu mau jalan jalan ke hutan itu? Orang-orang bilang itu tempat angker," kata Kendil dengan nada skeptis.

"Justru itu yang seru, Dil! Siapa tau kita ketemu sesuatu yang keren. Lagian, kalo ada apa-apa, kan ada lu. Sang jagoan bela diri kebanggaan Sukamundur!" jawab Betok sambil tertawa.

Kendil memutar mata, malas meladeni. "Yaudeh gue ikut cuma buat ngawasin lu aja. Jangan sampe lu nyasar atau bikin masalah."

Mereka berjalan memasuki hutan, suasana berubah semakin sunyi. Betok, seperti biasanya, mencoba mencairkan suasana dengan lelucon.

"Dil, lu tau gak? Kalo gue ketemu setan, gue bakal kasih dia hadiah."

Kendil mengernyit. "Hah, Hadiah? Hadiah apaan?"

"Cermin! Biar dia sadar kalo mukanya serem banget. Hahaha!"

Kendil tertawa. "Hahaha, bisa aja lu, tapi tok, lu gak takut apa ngomong kayak gitu?"

Betok menggaruk kepala botaknya. "Takut? Gue mah gak pernah takut! Lagian, setan juga pasti ketawa denger gue ngomong. Gue kan lucu."

Mereka akhirnya tiba di sebuah lapangan kecil di tengah hutan. Di sana, sebuah batu besar berdiri dengan ukiran aneh di permukaannya. Kendil langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Tok, gue gak yakin ini ide bagus. Kita harus balik," kata Kendil dengan nada serius.

Betok, seperti biasa, tidak mendengarkan. Ia malah mendekati batu itu, menyentuh ukirannya dengan penasaran. "Wah, ini keren banget! Kayak ukiran kuno di film-film."

Namun tiba-tiba, udara di sekitar mereka menjadi dingin. Angin berhembus kencang, membuat dedaunan berdesir. Kendil langsung siaga, tubuhnya tegang.

"Tok, mundur!" seru Kendil.

Tapi terlambat. Dari balik pepohonan, muncul sosok tinggi dengan tubuh kurus dan mata merah menyala. Makhluk itu menatap mereka dengan senyum menyeramkan.

"Anak-anak muda... Apa yang kalian cari di tempatku?"

Betok yang biasanya humoris, kini terlihat gugup. "Eee... Kita cuma jalan-jalan, kok. Gak ada maksud ganggu."

Makhluk itu mendekat, tatapannya tertuju pada Kendil. "Kamu... aku melihat sesuatu yang berbeda dalam dirimu."

Kendil tidak mundur. Ia menatap balik dengan penuh percaya diri. "Apa maumu wahai mahluk jelek?"

Makhluk itu tersenyum tipis. "Kamu sombong, ya? Tapi aku suka. Kamu punya potensi besar. Ingat kata-kataku: ketika waktunya tiba, kamu akan kembali ke sini. Dan aku akan menunjukkan kekuatan yang selama ini kamu cari."

Sebelum Kendil sempat menjawab, makhluk itu menyentuh dahi Betok. Dalam sekejap, Betok pingsan.

"Betok!" Kendil berlutut, mengguncang tubuh sahabatnya. Ia mengangkat kepalan tangannya, bersiap melawan makhluk itu.

Namun makhluk itu tertawa pelan, lalu menghilang dalam kabut. Kendil menatap kosong ke arah tempat makhluk itu berdiri, merasa marah dan tak berdaya.

Lalu Betok akhirnya tersadar, ia terlihat bingung. Betok mengerjap pelan, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya lemas, tetapi pikirannya mulai mengingat kejadian sebelumnya, makhluk tinggi bermata merah, dinginnya udara, dan sentuhan di dahinya. Dalam sekejap, Betok melonjak bangun.

"Ngapa lu tok!" seru Kendil, terkejut melihat Betok yang tiba-tiba berdiri dengan wajah panik.

Namun, alih-alih menjawab, Betok langsung berlari terbirit-birit ke luar hutan, tanpa peduli jalan di depannya. "KABUURRR! GUE GAK MAU MATI MUDA!" teriaknya dengan suara gemetar, tetapi tetap terdengar konyol.

Kendil yang masih berlutut di samping batu besar hanya terdiam sesaat, lalu tiba-tiba tertawa kecil. Tingkah sahabatnya itu memang selalu berhasil membuatnya terhibur, meski situasinya genting. "Dasar Betok PeA," gumam Kendil, mencoba menahan senyumnya.

Dengan cepat, Kendil berdiri dan mulai mengejar Betok. Ia berteriak sambil setengah tertawa, "WOY BETOK! TUNGUIN GUE, WOY! JANGAN TINGGALIN GUE SENDIRI DI HUTAN INI!"

Betok, tanpa menoleh, terus berlari sambil menjerit, "LO URUS DIRI LO SENDIRI, GUE MAU HIDUP TENANG!"

Kendil akhirnya berhasil menyusulnya ketika mereka hampir mencapai tepi hutan. Napas keduanya terengah-engah, tetapi Betok masih memasang wajah ketakutan yang berlebihan. Ia langsung duduk di atas batu besar dekat sungai yang tadi pagi mereka datangi.

Kendil menyandarkan tubuhnya di pohon, mencoba mengatur napas. "Tok, lo tuh bener-bener yaa, ninggalin gue sendirian, tadi?" katanya sambil terkekeh.

Betok melotot sambil tertawa, napasnya masih ngos-ngosan. "Hahaha, lu kan pemberani Dil, Eh tapi lu gak liat tadi ada apaan? Itu setan, Dil! Setan beneran! Mata merah, badan tinggi, suara serem... AAAAA gue gak mau inget-inget lagi!"

Kendil menahan senyum sambil melipat tangannya di dada. "Iyee, gue tauu. Tapi lo gak usah lebay gitu kali. Lu kan tadi bilang gak takut sama setan, malah mau kasih hadiah cermin buat mereka?"

Betok terdiam sejenak, lalu wajahnya berubah kecut. "Eh, itu kan gue ngomong sebelum gue tau setannya segitu serem, Dil. Lagian, cermin gak cukup buat dia. Dia butuh salon buat benerin mukanya!"

Kendil tertawa lepas. "Hahaha Goblok, lu emang gak pernah gagal bikin gue ketawa, Tok."

Betok ikut terkekeh kecil, meskipun tubuhnya masih gemetaran. Setelah beberapa saat, suasana di antara mereka mulai tenang. Namun, tatapan Kendil kembali serius. Ia menatap ke arah hutan yang baru saja mereka tinggalkan.

"Tok," kata Kendil, suaranya pelan namun tegas. "Lu sadar gak, setan tadi ngomong sesuatu ke gue?"

Betok mengangkat alis. "Ngomong apaan? Minta Gorengan kali"

Kendil menoleh, tatapannya tajam. "Eee,, bukan blokk, Dia bilang gue bakal balik ke sana. Katanya, dia punya sesuatu buat gue. Bingung gue jadinya ni."

Betok terdiam, mencoba mencerna kata-kata Kendil. "Lo mau balik lagi ke hutan itu? Dil, lo gila apa gimana? Lu masih waras kan? Baru aja kita kabur nyawa-nyawaan!"

Kendil tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Siapa makhluk itu? Kenapa dia tertarik pada Kendil? Dan yang paling penting, apa yang akan terjadi selanjutnya?

Sementara itu, Betok, yang kembali ke sifat aslinya, berusaha mencairkan suasana. Ia mengambil batu kecil dan melemparkannya ke sungai. "Dil, gue punya ide."

Kendil meliriknya malas. "Ide apaan lagi, Tok?"

"Kita pindah desa aja. Tinggal di kota. Buka usaha angkringan. Hidup tenang, tanpa gangguan setan," kata Betok dengan nada bercanda.

Kendil menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Lu tuh emang gak pernah serius, ya?"

"Serius, dong. Tapi serius sambil lucu, biar hidup gak berat-berat amat," jawab Betok sambil terkikik.

Meski ucapan Betok terdengar konyol, Kendil tidak bisa menyangkal bahwa keberadaan sahabatnya itu membuat segala ketegangan terasa lebih ringan. Namun jauh di dalam hatinya, Kendil tahu perjalanan mereka baru saja dimulai. Sesuatu di dalam hutan itu memanggilnya, dan cepat atau lambat, ia harus kembali.

Setelah pagi yang penuh drama, Betok dan Kendil akhirnya memutuskan untuk mengisi perut mereka di warung Bu Enok, tempat favorit mereka. Warung kecil di pinggir jalan itu terkenal dengan masakan sederhana tapi rasanya juara. Betok sudah membayangkan sepiring nasi dengan lauk ayam goreng dan sambal terasi yang pedasnya menggigit.

Mereka duduk di bangku kayu panjang sambil menunggu pesanan datang. Kendil bersandar santai, sementara Betok masih berusaha mengatur napas setelah pelarian tadi.

"Dil, makan kali ini gue yang traktir" ujar Betok tiba-tiba sambil menyengir lebar. "Anggep aja ini hadiah dari gue karena lu berhasil kabur dari setan pagi tadi."

Kendil menatapnya sambil tersenyum kecil. "Wah, tumben banget lu mau traktir. Jangan-jangan lu lagi banyak rejeki, nih?"

Betok membusungkan dada dengan bangga. "Oiyaa lah. Gue tuh orangnya perhatian sama sahabat. Apalagi gue kemaren dapet bonus dari Kang Jaja buat bantuin angkat karung beras nya. Duit gue masih ada dua puluh ribu. Cukup lah buat makan kita berdua."

Kendil terkekeh kecil. "Ya udah, gue terima traktiran lu. Tapi jangan pelit sambelnya, ya."

Saat makanan datang, suasana berubah jadi penuh canda tawa. Betok, seperti biasa, melontarkan lelucon-lelucon receh yang entah kenapa selalu berhasil membuat Kendil tertawa.

"Dil, lu tau gak kenapa setan tadi lari pas liat muka gue?" tanya Betok sambil nyengir.

"Hah kenapa tuu?" Kendil menatapnya penasaran.

"Karena dia mikir, 'Wah, saingan gue dateng!'" jawab Betok sambil tertawa ngakak, merasa leluconnya sangat lucu.

Kendil menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Hahaha,, Lu tuh emang gak ada obat, Tok."

Mereka makan dengan lahap, menikmati setiap suapan sambil terus bercanda. Namun, suasana berubah saat Betok selesai makan dan merogoh kantong celananya untuk membayar. Wajahnya langsung berubah pucat.

"Eh... Wait the minit, Dil..." gumam Betok sambil meraba-raba kantongnya dengan panik.

Kendil, yang sedang menikmati sisa nasi di piringnya, mengangkat alis. "Kenapa lagi, Tok?"

"Duit gue ilang jirr!" seru Betok, suaranya terdengar panik.

"Hah? ilang gimana?" Kendil menatapnya heran.

"Gue yakin tadi duit dua puluh ribu gue ada di kantong. Tapi sekarang gak ada!" Betok mulai merogoh semua kantong di celananya, bahkan sampai membalikkan saku-saku itu. Tetap kosong.

Kendil langsung tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, paok paok, jangan-jangan duit lu jatoh pas lu lari terbirit-birit tadi di hutan!"

Betok menepuk dahinya keras. "Alamakkk, iya kali ya! Aduh, gimana nih, Dil? Gue udah makan, lu juga udah makan. Kita gak punya duit buat bayar!"

Kendil masih tertawa sambil memegang perutnya. "Hahaha! Lu tuh emang apes banget, Tok. Baru kali ini gue ditraktir tapi ujung-ujungnya ngutang!"

Betok, yang merasa malu tapi tetap ingin terlihat santai, mencoba mencari solusi. Ia menoleh ke arah Bu Enok, yang sedang berdiri di balik meja kasir. "Bu Enok cantikkk, boleh gak kita bayarnya besok? Duit saya ilang gara-gara kejar-kejaran sama setan tadi."

Bu Enok, yang sudah terbiasa dengan tingkah konyol Betok, hanya menggeleng sambil tersenyum. "Betok, Betok...sudah bu enok duga, ya udah, tapi jangan lupa bayar besok, ya! Kalau enggak, ayam gorengnya saya hitung dobel."

Betok tersenyum lebar. "Siap Laksanakan, Bu! Besok saya bayar, sumpah demi dewa Neptunus!"

Setelah keluar dari warung, Kendil masih belum berhenti menertawakan Betok. "Tok, lo tuh udah lucu, nasib lo juga selalu sial. Gue gak tau gimana hidup lo kalo gue gak ada."

Betok hanya meringis sambil menggaruk-garuk kepala botaknya. "Ah, lo mah ketawa mulu. Harusnya lo bantuin gue cari duit, bukan malah ngetawain nasib sahabat lo ini."

Kendil tersenyum kecil, menepuk bahu Betok. "Tenang, Tok. Kita cari duit bareng, tapi habis ini lo traktir lagi. Dan pastiin duit lo gak jatuh, ya."

Mereka pun berjalan pulang sambil terus bercanda, meskipun Betok masih sesekali meratapi nasibnya. Namun, bagi Kendil, momen seperti ini adalah salah satu alasan kenapa ia betah berteman dengan Betok, selalu ada tawa di tengah kesialan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!