Tok tok tok.
Ketokan palu mengiringi pagi hari nan cerah di akhir pekan. Satu-dua burung kecil hinggap di kepala dan bahu Shinkai. Juga silau jingga yang menghangatkan. Sebuah atap kayu yang beberapa sudah kropos yang harus diganti. Pemuda itu sedang berada di atas atap. Guna memperbaiki kebocoran pada beberapa bagian.
“SHINKAI!” Sebuah panggilan nyaring terdengar. Jauh lebih mengganggu dari beberapa ekor burung yang berkicau tadi.
“Kenapa?”
“Kau mau minuman dingin atau panas?” tanya seorang gadis dengan sunggingan senyum abadi, ia akan terus seperti itu setiap kali melihat Shinkai.
“Panas.”
“Coklat panas atau Teh panas?” tanyanya lagi dengan mata berbinar. Namun tak dapat dipungkiri, gadis itu memiliki senyuman yang manis sekali dengan lesung pipi juga bibir tipis yang merah muda alami.
“Teh.” Sedangkan Shinkai, sama sekali tidak melihat lawan bicaranya karena sedang fokus melakukan pekerjaan. Lebih tepatnya karena tahu bahwa gadis itu akan semakin histeris jiwa balas ditatap.
“Baiklah. Pastikan kau sudah di bawah saat minumannya sudah siap.”
“Sial memangnya kau istriku?” ujar Shinkai dengan suara kecil.
“Apa? Kita sudah menikah.”
“Pendengaran macam apa yang kau punya, heh?”
Sebenarnya, gadis itu melihat gerakan mulut Shinkai. Bukan karena ia mendengar ucapan Shinkai. Bagaimana tidak. ia terpantau tak bekedip jika sudah berjumpa dengan pemuda pujaannya itu. Benar, itu adalah sosok gadis yang ugal-ugalan menyukai Shinkai.
“Tapi, waktu tradisi Jatah Berlian Gadis Cantik sudah selesai tahun ini. Tenang saja, satu tahun itu tidaklah lama.”
“Terserah saja. Ingatan jangka pendekmu akan membuatmu amnesia.”
Awalnya, Shinkai akan turun setelah semua pekerjaannya selesai. Namun, ia tidak tahan dengan panggilan gadis itu yang menyebut bahwa minumannya akan segera dingin. Ditambah ibu dari si gadis kelua dengan membawa wadah berisi buah pir. Ayah dari gadis itu memiliki kebun buah pir. Itu adalah alasan mengapa Shinkai tidak pernah menolak tiap kali ia diminta tolong di rumah itu. Sekalipun harus mengorbankan pendengarannya dengan suara cerewet si gadis penggila dirinya. apapun rintangannya. Shinkai akan menghadapi semuanya. Selagi mendapatkan buah pir hijau. Buah yang sangat disukainya sejak dulu.
“Kau lapar? Aku akan membuatkanmu makanan berat.” Si gadis menawarkan.
“Aku sudah sarapan sebelum ke sini.”
“Baiklah. Apa lagi yang kau butuhkan?”
“Tidak ada.”
“Bagaimana dengan teh panas kedua?”
“Tidak perlu, Helai.”
Gadis bernama Helai itu menepuk-nepuk pipinya. Seolah menyadarkan dirinya bahwa itu bukanlah mimpi. Kedua orang tuanya pun sudah memaklumi kelakuan putrinya yang tampak memalukan itu. Selagi ia tidak berbuat jahat. Biarkan saja. kurang lebih, demikian tanggapan orang tua Helai.
Menit-menit berlalu dengan Shinkai yang menyantap buah pir serta teh panas. Juga si gadis yang menemaninya seperti patung yang tidak bisa berpindah. Bahkan mungkin segala macam bencana tidak akan membuatnya beranjak. Shinkai mulai risih dipandangi mengunyah terus-menerus.
“Kenapa kau tidak ikut memakan buah ini?”
“Benarkah? aku bisa memakannya bersamamu?”
Shinkai mengangguk ragu.
Bukannya mengambil buah yang utuh, Helai justru merebut buah pir yang ada pada genggaman Shinkai.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Kau bilang kita boleh makan bersama.”
Shinkai menepuk kening. Dia benar-benar sudah tidak tertolong. Ia juga tidak enak hati melihat pemilik rumah memakan bekas gigitannya.
“Kembalikan!” pinta Shinkai sebelum buah itu masuk ke dalam mulut Helai.
Helai mundur beberapa langkah sambil tertawa puas. Benar saja renungan Shinkai setiap hari. Mengapa ia dikelilingi para wanita barbar?
“Ambil saja kalau bisa.”
Shinkai menarik napas panjang, “Biarkan saja. Ia hanya memakan bekas gigitan manusia. Bukan makhluk menjijikkan.”
Sebuah pir yang telah digigit tampak di depan wajah Shinkai saat ia hendak mengambil buah pir baru yang masih utuh. Tampak Helai mengembalikan dengan wajah suka cita. Tidak hanya bibir merah mudanya, bahkan kedua matanya pun turut tersenyum.
“Aku hanya bercanda. Ini aku kembalikan.”
“Ke mana telingamu, heh. Aku sudah memanggilmu ratusan kali!” tegas ibu Helai, dengan sebuah pisau dapur pada tangannya.
Segera saja gadis itu ditarik paksa ke dalam rumah. walaupun demikian, ia masih memandang ke arah Shinkai sambil menahan sakit. Entah terbuat dari apa gadis aneh itu.
Kini tinggal Shinkai sendiri di teras rumah itu. dipikir-pikir, terasa kurang mengenakkan jika ia hanya duduk manis sambil memakan buah dan meminum teh dari tuan rumah. sedangkan ia ditinggal sendiri. Padahal, tugasnya adalah untuk memperbaiki atap.
“Wah, tumben sekali gadis penggila dirimu tidak menemani. Ke mana dia?” Lontaran pertanyaan yang sedikit membuat Shinkai terkejut. Sama sekali tidak terdengar langkah kaki. Itu adalah sosok ayah Helai yang baru pulang dari hutan dengan membawa seekor kelinci.
“PANAS!” jerit Helai dari dalam.
Pria itu mendapatkan jawaban dari pertanyaan tanpa mendengarnya dari Shinkai.
“Dia mengganggumu?”
“Ah, tidak. Dia hanya sedang membantu ibunya.”
“Begitu, ya. kukira dia dihukum,” ujar ayah Helai dan langsung menuju dalam rumah.
Sudah berkali-kali Shinkai datang ke rumah Helai untuk memperbaiki atau membantu banyak hal. Namun sampai saat itu, ia masih tidak dapat memahami ayah Helai. Hanya dengan melihatnya, sudah membuat Shinkai seolah terbius. Dalam artian, seperti harus tunduk kepada pria tersebut. Padahal, ia hanya pria yang hobi berburu demi membawakan santapan lezat untuk anak dan istrinya. Wajah dan senyumannya mirip dengan Helai. Meskipun demikian, tetap saja apa yang dihadirkan antara ayah dan anak itu sangat berbeda.
Sebelum ayah maupun anak itu keluar lagi, Shinkai bergegas menaiki tangga menuju atap rumah lagi. Tanpa disadari, keringat tangannya keluar. Juga sedikit gemetar.
Sebenarnya, Shinkai jarang sekali bertemu dengan ayah Helai. Selama ini, mungkin ia hanya pernah bertemu sebanyak tiga kali. Lalu ini adalah yang keempat.
“Padahal dia bukan hantu. Atau mungkin dia setengah hantu? Ah, pengorbanan untuk membawa banyak buah pir kenapa harus sesulit ini? Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini dan pulang,” gumam Shinkai.
Kawanan burung kembali menemani pekerjaan Shinkai. Mentari mulai meninggi. Warna jingga memudar. Bergantikan kuning yang lebih terang.
“Siapa sebenarnya pria itu?”
Tiba-tiba, sesuatu mengenai kepala Shinkai. Ia mengadah.
“Gerimis?” Sejenak, ia terdiam dan menunggu rintik berikutnya, “Sial, ternyata tai burung!”
Shinkai tak peduli lagi. Ia mengabaikan benda putih pada rambutnya. Ia tidak mau menumpang untuk membersihkannya di rumah Helai. Sebab memakan lebih banyak waktu dan ia akan melihat ayah Helai yang bisa jadi akan mengajaknya mengobrol lebih lama.
“Hai, Shin! Kukira kau sudah pulang. Semangat! Aku mendukungmu.” Sebuah wadah sedang yang penuh dengan buah pir tampak dibawanya.
“Iya, iya.” Shinkai menjawab malas. Sebentar lagi pekerjaannya akan selesai.
“Hei, benda apa di atas kepalamu?” Helai bertanya sambil menyipitkan mata.
“Cairan keberuntunganku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments