“Dasar orang kaya pelit. Yang benar saja 90 Iro ditawar menjadi 40 Iro saja. Dia pikir bunga krisan tumbuh dan mekar hanya dalam waktu dua hari tanpa perawatan,” keluh Aimee setelah selesai melakukan transaksi.
Iro merupakan mata uang di sana.
“Mau berapapun, tetap saja namanya uang,” ujar Shinkai.
Itulah mengapa ketika mengantar pesanan, mereka harus melakukannya berdua. Shinkai berperan sebagai pembawa pesanan yang berat, dan Aimee yang melakukan transaksi. Karena pernah suatu hari, Shinkai menjual pesanan seorang diri. Alhasil, ia menjualnya dengan harga berapapun yang ditawar pelanggan.
“Jangan pura-pura kalau bu Dyn pernah rugi karena perbuatanmu sarang burung sialan!”
“Ya, ya. baiklah, kau ingin membahas masa lalu yang tidak akan muncul dalam kehidupan di masa sekarang itu lagi. Baiklah.”
Aimee mengembuskan napas berat.
“Ya, itu tampak sulit. Tapi kamu sangat professional hingga kita mendapatkan bayaran 80 Iro.”
“Kita beruntung karena suaminya yang tidak suka keributan itu datang tepat waktu,” ucap Aimee.
“Lalu, apa masalahnya sekarang? Semua sudah selesai. Kita dapat uang yang sesuai.”
“Tapi ibu-ibu pelanggan tadi sama galaknya dengan kak Aimee,” timpal Neptune.
“APA?”
Lima menit berlalu. Mereka bertiga telah sampai di kebun yang dipenuhi sarang lebah. Neptune bersembunyi di balik punggung Shinkai. Khawatir jika kawanan lebah keluar dan menyerang. Namun sebenarnya, itu adalah lebah yang terkendali. Asalkan tidak diganggu dan diawasi pemiliknya, maka semua lebah di kebun itu tidak akan menyerang.
Pepohonan di sana sudah seperti mempunya buah-buahan berupa sarang lebah. Ukurannya kecil-kecil, namun melimpaah ruah. Jika menggunakan bahasa buah, maka ranumlah sarang –sarang tersebut.
Aroma manis bertahta di mana-mana. Beberapa meter dari jarak kebun itu, sudah tercium dan memanjakan indera penciuman. Shinkai sudah mabuk akan kenikmatan duniawi. Hingga tanpa sadar ada sebuah batu berukuran sedang yang tertanam. Ia tersandung hingga terjatuh dan membuat Neptune yang bersembunyi di belakangnya turut terjatuh.
“Ya ampun. Kalian ngapain, sih?” tegas Aimee yang dilanjutkan dengan berjalan meninggalkan dua temannya yang hinggap di tanah.
Keduanya berusaha berdiri setelah melihat punggung Aimee yang mulai menjauh.
“Kak Shinkai. Kotoran ayam menempel pada pipiku!”
“Menyingkir bocah bau! Kau merusak aroma madu!”
Di balik langkah cepat Aimee, padahal gaids itu sedang menahan tawa dengan tingkah Shinkai dan Neptune. Namun enggan ia tampakkan sebagai sosok yang memiliki tingkatan gengsi setinggi gunung.
“SERANG!” seru Neptune sambil melompat ke punggung Shinkai hingga pemuda itu terjatuh untuk kedua kalinya.
“Huekkk. Menyingkir!” tegas Shinkai menahan jijik.
Anak lelaki nakal itu sengaja menempelkan pipinya pada punggung Shinkai dan menggunakan baju Shinkai untuk mengelap kotoran itu.
“AKAN KU LEMPAR KAU BOCAH MANJA!”
Sudah belasan meter Aimee dari tempat mereka. Neptune tertawa puas. Sedangkan Shinkai langsung membuka bajunya.
“Sedang bermain perang kotoran?”
Sosok lelaki berambut lurus dengan poni tipis yang agak panjang. Bermata sipit dengan warna keemasan terdampak sinar matahari.
“Taba?”
“Taza!” ucap pemuda itu dengan santai namun menusuk.
“Hei, ke mana saja kau selama dua tahun ini?”
“Dua bulan.”
“Apakah buah pir tetanggamu sudah berbuah.”
“Itu mahoni.”
Itu adalah Taza. Teman Shinkai yang tujuh tahun lalu membersamainya memberontak. Ya, mereka adalah pemuda yang tampak normal dan tumbuh dengan baik. Di balik semua itu, tersimpan masa lalu gelap yang penuh darah.
Tanpa ragu, Shinkai langsung melempar bajunya ke arah karung sampah di dekat pohon. Teman Shinkai bernama Taza itu melompat jauh hingga berhasil meraih baju Shinkai.
“Apa yang kau lakukan, heh?” tanya Taza.
“Entahlah. Semua orang akan mencium aroma tak sedap jika membawanya pulang,” jawab Shinkai.
Dengan ekspresi sok bijak, Taza melangkah perlahan dan menepuk pundak Shinkai. Ia menggelengkan kepala seperti sedang kecewa berat, “Bukankah ini benda yang sangat berharga di masa lalu?”
“Iya, berharga bagi santapan ayam sebelum diolah.”
“Bukan kotorannya, sialan. Bajumu. Bukankah ini pemberian dari—”
Secepat kilat, Shinkai menerjang Taza untuk menutup mulutnya rapat-rapat, sembari melirik ke arah Neptune.
“Huekkk. Tanganmu bau!” keluh Taza setelah berusaha melepaskan.
“Ah, kita bertiga sudah terkontaminasi kotoran ayam,” ujar Neptune, polos.
Sementara itu, Aimee sudah kembali dengan dua wadah sedang berisi madu yang dibelinya. Wajahnya tampak murka. Sampai seolah-olah, mata melototnya bulat sempurna. Tepatnya ke arah Shinkai. Tatapan yang hendak menerkam mangsa. Namun seketika menyipit, setelah beberapa langkah ia mendekat. Aroma itu tercium, membuat gadis itu benar-benar mual.
“Kau butuh bantuan? Maaf, kami sedikit ada masalah antara lelaki di sini,” ucap Shinkai dengan langkah mendekat. Tentunya untuk menjahili Aimee.
“TIDAK!”
Aimee berlari kencang membawa dua wadah sedang yang tidak ringan itu. Shinkai mengejar dengan ekspresi menyebalkan. Disusul Neptune yang ikut-ikutan.
“Mau ke mana, nona lebah madu?” seru Shinkai.
“Aku juga mau madu kakak yang cantik!” timpal Neptune.
“PERGI! MENJAUH DARIKU!”
Siang yang teduh di bawah pepohonan rindang. Menampakkan silau dari celah-celah dedaunan dan ranting. Beberapa kawanan lebah muncul. Terbang ke sana luar sejenak, lalu kembali menuju sarang yang nyaman. Beraroma madu yang manis.
Pakaian polos bewarna abu-abu pudar itu masih pada genggaman Taza. Pemuda itu memandangi punggung tanpa kain pada teman lamanya yang mulai menghilang terbawa jarak. Mata sipitnya sedikit berkaca-kaca. Sudah lama sekali. Sebelas tahun silam. Ingatan itu tak jua lumpuh. Justru merambat membentuk cabang yang menguak kisah lebih detail. Napas berat berembus.
“Seharusnya kau tidak pernah mengenalkanku pada Shinkai. Dasar, om-om sok baik hati. Seharusnya, sekarang kau melihat punggung Shinkai sekali lagi. Sebuah punggung yang tidak pernah berbalik. Sekalipun berkali-kali aku ingin mengulang waktu untuk tidak pernah merentang jarak padamu. Jika itu tidak terjadi, maka aku tidak akan pernah kehilangan diriku. Tidak akan pernah menghabiskan masa remaja hanya untuk memerhatikan pertumbuhan dan perkembangan pemuda tak jelas seperti Shinkai. Seharusnya aku melihat diriku sendiri. Padahal kau tak pernah memintaku. Lihatlah, aku tidak menyadari tubuhku yang sudah bertambah 10 cm sejak kau menemukanku.”
Suara serangga berderik terdengar nyaring. Beberapa pekerja kebun lebah berdatangan. Setelah beberapa saat yang lalu terlihat dari kejauhan memeriksa bagian lain. Semua tampak akrab satu sama lain. Pekerjaan yang tampak ringan dan bersahabat. Tanpa ada yang saling melukai. Hingga menghabisi nyawa satu sama lain. Taza tersenyum tipis menyapa satu persatu pekerja. Lantas berjalan menuju toko madu yang berjarak beberapa puluh meter dari tempatnya berada. Ia menghirup aroma manis dengan sepenuh hati. Seolah membiarkan aroma itu menguasai indera penciuman. Sampai pada titik di mana aroma tidak sedap dari benda yang ia bawa itu tercium. Wajah berseri-serinya terjeda.
Sesaat, Taza menyadari bahwa ada sesuatu di kerah baju milik Shinkai. Sebuah kelopak bunga soka.
“Bau banget! Awas kau, Shinkai!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments