Sekretaris Diantara Desah
Episode 03
[Pukul 18:12 - Kafe kecil di sudut kota, Manhattan.]
Suara denting cangkir dan wangi kopi hangat memenuhi udara. Alinea duduk sambil menggenggam ponselnya dengan ekspresi campur aduk—antara lega dan cemas. Di depannya, Briella, sahabatnya sejak SMA, menatap dengan senyum penasaran.
Briella VGA
(penasaran banget)
Briella VGA
“Gimana? Kamu serius ngelamar di tempat sadis itu? Kena mental, enggak?”
Aline Virellia
(mengangguk pelan, mata menerawang)
Aline Virellia
“Aku... ngga tahu kenapa. Tanganku udah terlanjur klik tombol kirim. Padahal otakku bilang jangan.”
Briella VGA
“Dan sekarang? Ada kabar?”
Aline Virellia
(menunjukkan ponselnya)
Aline Virellia
“Baru aja... dapet email. Aku diterima. Mulai besok.”
Briella VGA
(nyaris muncrat minumannya)
Briella VGA
“Apa?! Serius? Padahal kamu cuma... iseng doang?”
Aline Virellia
(membaca isi email perlahan)
Aline Virellia
“‘Selamat. Anda resmi diterima sebagai Personal Assistant CEO ARZA Group, Tuan Leon Arvenza.’
Aku harus datang sebelum CEO datang. Wajib pakai pakaian rapi, blus putih atau netral, rok selutut, rambut ditata, make up tipis.
Sebelum jam 08:00 aku harus siapin kopi latte tanpa gula di mejanya.
Lalu, aku harus nyusun jadwal kegiatan seharian, semua laporan, semua pertemuan...”
Briella VGA
“Kayak jadi tentara. Itu kerja atau perbudakan?”
Aline Virellia
“Tadi pas wawancara... dia tuh dingin banget. Kasar. Tajam. Tapi entah kenapa... aku malah makin penasaran.”
Briella VGA
(menyipitkan mata curiga)
Briella VGA
“Jangan bilang kamu ngerasa tertantang sama cowok galak begini? Awas jatuh cinta sama atasan.”
Aline Virellia
(tersenyum miris)
Aline Virellia
“Aku gak tahu. Tapi setiap kata-katanya itu... kayak nembus kulit. Dan tatapannya, Brie. Tatapannya kayak orang yang tahu segalanya tentang kamu bahkan sebelum kamu buka suara.”
Briella VGA
(menyeruput kopinya pelan)
Briella VGA
“Hati-hati, Nea. Orang kayak dia itu—membakar perlahan. Bikin candu.”
Aline Virellia
(menatap keluar jendela, gumam lirih)
Aline Virellia
“Kalau aku terbakar... semoga aku bisa tahan panasnya.”
[Pukul 05:47 - Kamar Alinea, pinggiran Manhattan.]
Jam alarm berbunyi tiga kali sebelum Alinea benar-benar bangun. Matanya masih berat, tapi pikirannya sudah dipenuhi satu hal: kopi latte tanpa gula dan CEO yang katanya iblis berdasi itu.
Dia menarik tubuhnya dari kasur, duduk sejenak. Jantungnya berdetak cepat. Di sisi meja kecil di dekat tempat tidur, secarik kertas berisi daftar aturan kerja dari email semalam menatapnya tajam.
Checklist pagi Alinea:
Pakaian: Blus putih gading, rok pensil hitam selutut, stocking transparan.
Rambut: Dicepol rapi ke atas, satu helai kecil dibiarkan jatuh ke pelipis.
Make up: Bedak natural, maskara tipis, dan bibir merah muda pucat.
Parfum: Satu semprot Vanille Cashmere.
Setelah mandi dan berdandan dalam diam, Alinea berdiri di depan cermin tinggi. Ia mematut dirinya sendiri. Blus putihnya cukup ketat di bagian dada, membentuk lekuk tubuhnya yang mungil. Kancing atas tak sengaja terbuka satu, tapi ia tak menutupnya. Entah kenapa, dadanya ikut sesak.
[Pukul 06:31 - Perjalanan ke ARZA Group.]
Langit masih samar. Jalanan kota mulai padat. Alinea naik subway, berdiri sambil menggenggam tas jinjing coklat gelap berisi: notes, pulpen, bedak tabur, dan satu botol kecil lotion.
Jantungnya makin kencang saat gedung pencakar langit dengan logo "ARZA" mulai terlihat dari kejauhan—gedung dengan kaca hitam mengilat dan dinding baja abu tua, tampak seperti markas rahasia mafia elite.
[Pukul 07:03 - Lobby ARZA Group.]
Lantai marmer hitam. Dinding kaca berbingkai baja mengkilap. Bau lilin aroma cendana tipis bercampur kopi mahal. Para karyawan wanita melintas cepat, semua dengan dandanan formal, wajah dingin, dan sepatu hak.
Seorang resepsionis wanita muda menyambut Alinea tanpa senyum.
Aline Virellia
“Alinea Virellia. Personal Assistant CEO.”
Resepsionis menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu menekan sesuatu di layar tablet.
Resepsionis
“Lantai 49. Gunakan lift A. Segera.”
[Pukul 07:10 - Lift ke lantai 49.]
Lift bergerak cepat dan senyap. Alinea berdiri sendiri, menatap bayangannya di cermin lift. Detik demi detik terasa lambat. Di dalam tasnya, termos stainless berisi kopi latte hangat tanpa gula terasa lebih berat dari seharusnya.
[Pukul 07:17 - Koridor lantai 49.]
Koridornya sepi dan panjang. Karpet abu muda, dinding dengan panel kayu gelap, dan lukisan abstrak hitam-merah menghiasi setiap sudut. Ia berjalan menuju ruang CEO. Di depannya, pintu kaca besar dengan tulisan emas mengilat:
Tangannya gemetar saat hendak mengetuk. Tapi ia belum mengetuk—karena tiba-tiba, dari dalam, terdengar suara pria berat dan dingin. Bukan berbicara, tapi memerintah.
Leon Arvenza
(dari dalam, dengan suara tajam)
Leon Arvenza
“Masuk. Jangan buatku menunggu.”
Alinea tercekat. Tangannya refleks membuka pintu.
[Di dalam ruang CEO.]
Ruangan luas dengan dominasi hitam dan abu. Meja kerja dari kayu jati hitam, kursi kulit yang tampak seperti singgasana. Di belakang meja, jendela besar memperlihatkan kota Manhattan yang mulai ramai.
Di balik jendela itu, berdiri seorang pria tinggi, mengenakan kemeja hitam pas badan, celana slim fit, dan jam tangan mahal berlapis titanium. Punggungnya tegap. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Suara langkah kakinya saat berbalik membuat udara seolah berhenti.
Tatapan mata tajamnya menampar pandangan Alinea. Dingin. Hitam. Mematikan.
Leon Arvenza
(datang mendekat, tanpa senyum)
Aline Virellia
(terbata)“Y-ya, Tuan…”
Ia membuka termos, menuang dengan hati-hati ke dalam cangkir hitam polos yang ia bawa dari rumah. Ia meletakkannya di meja dengan dua tangan.
Leon duduk. Mengangkat cangkir. Menghirup. Lalu menatap Alinea dari atas ke bawah.
Leon Arvenza
“Setidaknya kamu bisa buat kopi dengan benar. Sisanya… kita lihat nanti.”
Tatapannya turun ke kancing atas blus Alinea yang terbuka.
Leon Arvenza
(mendekatkan wajah)
Leon Arvenza
“Kamu datang tepat waktu. Tapi kamu tahu, wanita yang masuk ke ruanganku... harus siap dengan lebih dari sekadar kopi.”
Aline Virellia
(gemetar, tapi tak bisa memalingkan muka):
Aline Virellia
“Saya… saya akan belajar cepat, Tuan.”
Leon Arvenza
“Kita lihat seberapa cepat kamu bisa belajar… menjadi milikku.”
[Masih di ruang CEO - Pukul 07:26 pagi]
Alinea berdiri tegak di depan meja kerja. Matanya menunduk. Jemarinya menggenggam erat notes kecil yang seharusnya berisi agenda kegiatan Leon hari ini. Tapi pikirannya kosong. Kata-kata yang seharusnya dibacanya lenyap dalam gemuruh jantungnya sendiri.
Leon Arvenza
“Buka agendanya.”
Aline Virellia
(suara pelan, bergetar)
Aline Virellia
“Jam delapan, meeting dengan investor Singapura. Jam sepuluh, evaluasi laporan keuangan divisi Eropa. Siang nanti—”
Suara Alinea menghilang saat Leon tiba-tiba berdiri. Ia berjalan perlahan ke sisi meja, lalu berdiri tepat di belakang Alinea. Nafasnya terdengar di dekat telinga.
Leon Arvenza
“Kamu punya suara lembut. Tapi terlalu pelan untuk sekretarisku.”
Alinea tak berani bergerak. Napasnya tak beraturan.
Leon Arvenza
(merendahkan suaranya)
Alinea hanya diam. Ia ingin menjawab "tidak", tapi lidahnya kelu. Ketakutan menyelubungi dirinya. Jantungnya menjerit. Dan tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh bahunya. Lembut, tapi penuh kekuasaan.
Leon menarik satu helai rambut yang terjatuh di pelipis Alinea, lalu menyelipkannya kembali ke belakang telinga.
Leon Arvenza
“Rapikan. Aku tidak suka hal berantakan.”
Tangannya turun perlahan ke lengan Alinea, menyusuri kain blusnya, lalu berhenti di sisi paha kanan Alinea. Ia menekannya sedikit—tidak kasar, tapi cukup membuat Alinea terdiam seperti patung marmer yang membeku.
Leon Arvenza
(mendekat ke telinga)
Leon Arvenza
“Kalau kau ingin bertahan di sini, kamu harus tahan dengan... sentuhan kekuasaan.”
Aline Virellia
(gemetar, mata berkaca)
Aline Virellia
“Saya… hanya ingin bekerja, Tuan…”
Leon Arvenza
“Bagus. Maka bekerja dengan baik.”
Leon mundur, kembali ke kursinya. Tapi efek dari sentuhannya masih membekas di tubuh Alinea. Ia berdiri terpaku. Hatinya runtuh. Matanya panas. Setitik air mata jatuh diam-diam, membasahi pipinya, tanpa suara.
Leon Arvenza
(dingin, tanpa menoleh)
Leon Arvenza
“Laporkan aktivitasmu setiap dua jam. Pastikan ruanganku bersih, dan jangan pernah abaikan notifikasiku—baik email, maupun pesan pribadi.”
Alinea mengangguk kecil, lalu membungkuk pelan.
Leon Arvenza
(menatap jam tangannya)
Leon Arvenza
“Sekarang keluar. Kita lihat sejauh mana kamu bisa bertahan.”
[Alinea melangkah keluar...]
Pintu tertutup pelan di belakangnya. Di luar ruangan, Alinea berdiri menunduk. Ia menarik napas dalam-dalam. Jemarinya bergetar saat mencoba membuka ponsel dan menulis pesan kepada Briella.
Aline Virellia
"Bri… aku nggak tahu bisa tahan sampai kapan. Dia bukan manusia biasa. Dia… seperti monster yang tahu caranya menyentuh tanpa menyentuh." 📱
Comments