BAB 3. BUAH SIMALAKAMA

Kepala Aruna menunduk dalam, jari jemari tangannya saling bertautan. Sementara Jakson—mantan suami sang kakak tidak kunjung membuka pembicaraan di antara mereka berdua, sepuluh menit waktu dihabiskan tenggelam pada pikiran masing-masing.

"Mas!"

"Aruna, aku...."

Secara serentak keduanya angkat bicara, mencoba memecahkan keheningan yang melanda. Aruna menoleh ke samping kanannya, keduanya bertemu di mobil Jakson yang terparkir di parkiran universitas tempat Aruna melanjutkan pendidikannya.

"Mas duluan," kata Aruna, meneguk kasar air liur di kerongkongannya.

Tarikan pelan dan embusan napas kasar dari bibir Jakson, lelaki dewasa satu ini jarang sekali berbicara dengan Aruna—mantan adik iparnya. Ia hanya mendengarkan celotehan Aruna via telepon saat sang almarhumah istrinya masih hidup, atau mungkin terkadang Aruna yang berdomisili di Jakarta menginap di rumahnya.

'Apa yang harus aku katakan, semua terasa berat untuk diutarakan.'

Jakson membuang muka, memilih membawa atensinya ke arah lapangan besar milik kampus.

"Kamu sudah tau dengan keinginan Mama Susi dan Papa Budi?" tanya Jakson, tanpa harus menatap Aruna.

Kepala Aruna sontak saja mengangguk sekilas, embusan napas berat mengalun. Gadis berparas ayu satu ini seakan paham, rasa enggan Jakson untuk menerima usulan dari kedua orang tuanya.

"Ya, Mas. Aku tau."

"Lalu kamu mau menjadi istriku?"

Aruna mengigit bibirnya, senyap sontak saja melanda. Aruna tentu saja tidak ingin menikah dengan Jakson, meskipun Jakson merupakan sosok lelaki yang sangat ideal untuk menjadi seorang suami. Ada lelaki lain yang telah lebih dahulu mengisi hati Aruna, ada Saka—kekasihnya yang tak kalah tampan dari Jakson.

Merasa tak kunjung dijawab, Jakson menoleh ke samping kirinya. "Kamu punya pacar, bukan?"

Kepala Aruna mengangguk, "Ya, Mas. Aku punya."

"Kamu cinta sama dia?"

"Tentu aja, Mas. Gimana aku nggak cinta sama dia. Kami berdua udah 3 tahun bersama," sahut Aruna jujur, "lalu gimana sama Mas Jakson sendiri, Mas Jakson nggak ada niatan buat nikahin aku, 'kan?"

Pertanyaan yang dilontarkan balik padanya membuat Jakson tercekat, jawabannya sesungguhnya sudah sangat jelas. Jakson tidak menginginkan turun ranjang, ia tidak bisa menerima wanita mana pun. Namun, bagaimana dengan sang putri.

"..., Mentari biar keluarga kami yang besarkan, Mas. Mentari akan bahagia tinggal bersama Papa dan Mama di kampung, Mas Jakson bisa bekerja tanpa harus khawatir. Bisa balik setiap ada kesempatan libur kerja, keluarga kami nggak akan melarang. Ini jauh lebih baik, menurutku, Mas."

Jakson melirik Aruna tajam, Mentari itu putri Jakson. Ia sudah kehilangan Kinanti, lantas kenapa Jakson pun harus kehilangan Mentari juga.

"Kamu ingin aku menyerahkan Mentari pada Mama dan papamu," tutur Jakson mengerut dahinya.

"Hm, iya, Mas. Mas tenang aja, aku pun akan merawat Mentari dengan baik. Sekarang aku lagi ngurusin skripsi, otomatis selesai kuliah. Aku bakalan ngambil alih Mentari, jadi Ibu buat Mentari tanpa harus menik—oh." Aruna menutup mulutnya saat tatapan pria dengan potongan rambut low fade itu melototi Aruna.

Jakson menggeleng, "Mentari itu putriku dan Kinanti, dia itu semangatku untuk tetap hidup. Gimana bisa kamu ingin putriku hidup tanpa, aku?"

Urat leher Jakson mencuat, kulit putih Jakson sontak saja memerah. Intonasi nada suara bariton itu naik tinggi, membuat degup jantung Aruna berdebar keras. Bukan debaran sebab tertembak panah asmara, gadis cantik berambut sepinggan itu ketakutan. Lantaran Jakson jarang berbicara dengan Aruna, hingga tak pernah melihatnya marah.

Aruna merasa ujung jari jemarinya terasa dingin, ia mengeleng pelan.

"Bukan begitu maksudku, Mas. Aku ..., hanya saja," tutur Aruna terjeda, lantaran lawan bicaranya langsung membuang muka.

Suasana di dalam mobil langsung terasa tak enak, Jakson tidak bermaksud untuk membentak Aruna. Ia kalut, tidak tahu harus bagaimana. Ditambah Aruna mengatakan secara tidak langsung untuk Jakson merelakan Mentari untuk diasuh oleh keluarga dari pihak almarhumah istrinya, itu menyulut emosi Jakson yang tidak terkontrol.

Dering ponsel memecahkan keheningan, Aruna merogoh tasnya. Nama sang kekasih tertera di layar ponsel, Aruna meringis. Ia lupa ada janji dengan Raka, tampaknya sang pacar telah selesai berganti pakaian.

"Angkatlah," titah Jakson, mengalun.

Aruna mengangguk kaku, jari tangannya menggeser layar ke samping. Menempelkan smartphonenya ke daun telinga, membelakangi Jakson.

"Hm, iya. Aku lagi di parkiran mobil, tunggu bentar ya, di sana. Aku segera ke sana," sahut Aruna dengan intonasi nada pelan sekali.

Sambungan telepon terputus sepihak, Aruna mematikan telepon dan menoleh ke samping kanan.

"Anu ..., Mas. Aku harus segera kembali ke kampus," kata Aruna memberitahu.

Kepala Jakson mengangguk, "Pergilah."

Aruna dengan cepat membuka pintu mobil, keluar dari sana. Ketika tangannya bergerak akan menutup kembali pintu mobil deheman Jakson mengalun, Aruna melirik Jakson.

"Nanti malam datanglah ke rumah, kita bicarakan ini sampai tuntas," ucap Jakson.

"Baik, Mas. Hati-hati di jalan kalo gitu, Mas." Aruna menutup pintu mobil.

Gadis itupun bergerak terburu-buru menjauhi mobil Jakson, sementara ayah satu orang anak itu mengerang rendah menyugar kasar surainya.

'Rasanya seperti makan buah simalakama.'

Semua pilihan terasa sulit, paling sulit adalah berpisah dengan Mentari. Bisa saja putrinya tidak akan lagi mengenal Jakson nantinya, Jakson mengusap kasar wajahnya.

...***...

Hampir saja Aruna tersedak air minumnya, ia menoleh ke depan. Senyum lebar Raka terlihat begitu lepas, kedua mata pria berkulit tan itu bahkan berbinar-binar.

"Gak apa-apa 'kan, Sayang? Cuma 3 bulan doang. Kamu nggak berkeberatan, bukan."

Raka melirik ke arah Aruna takut-takut, ia akan keluar negeri dalam waktu dekat. Raka merupakan sosok pria yang berprestasi, ada banyak gadis yang mengangumi Raka.

"Kapan berangkatnya?" tanya Aruna, melirik lurus ke depan.

"Empat hari lagi."

Aruna mendengus, "Dan kamu baru ngomong sekarang, Ka? Kamu ngangep aku ini pacarmu atau nggak sih, Ka?"

Raka kelimpungan, ia meraih tangan Aruna. Meringis kecil, Aruna sontak saja menarik tangannya. Raka berdiri dari posisi duduknya, berpindah tempat dari kursinya ke arah kursi kosong di samping Aruna.

"Sayang, aduh. Bukan gitu loh, maksudnya aku. Beberapa bulan ini kamu sibuk, aku pun sibuk. Makanya pas ada waktu kosong kayak sekarang, aku omongin sama kamu." Raka mencoba meraih tangan Aruna.

Gadis cantik itu menepis, ia membuang muka. Aruna begitu mencintai Raka tapi, sayangnya dunia Raka begitu luas. Tidak hanya diisi oleh Aruna seorang, ada banyak yang menyibukkan Raka.

"Pergi aja sana, nanti pulang-pulang aku dah dinikahi sama pria lain," ketus Aruna kesal.

Rafa mengulum senyum, sang pacar merajuk. Raka tidak mengatakan apapun pada Aruna, lantaran merasa belum ada waktu yang tepat.

"Ya, udah deh. Aku nggak jadi pergilah, biar Pak Edwin aja yang nangganin anak basket. Kalo pacarku yang ngambek aku takut diputusin tapi, kalo Pak Edwin yang marah palingan aku cuma ditendang dari tim basket kampus," celetuk Raka, dengan memasang ekspresi sedih.

Ia tahu betul Aruna tidak akan membiarkan itu terjadi, sebab impian pria satu ini adalah menjadi pemain basket profesional. Embusan napas berat mengalun, Aruna mengigit bibirnya.

"Suka-suka kamu ajalah, Ka!" Aruna langsung bangkit dari posisi duduknya.

Ia melangkah terburu-buru keluar dari kafe, beberapa kali Raka memanggil Aruna. Gadis itu terus melangkah keluar, air matanya berhamburan jatuh berderai. Emosi yang ada di dirinya tidak terbendung, ia frustrasi anehnya sang kekasih menambah bebannya.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!