BAB 2. PERMINTAAN MERTUA

Kepala Jakson tertunduk, ia baru saja pulang dari rumah sang ibu, membawa balik sang putri ke rumah utama. Alasan kenapa Jakson tidak tinggal di rumahnya selama tiga bulan terakhir, lantaran pedihnya terbayang-bayang kehadiran almarhumah istri tercinta. Apalagi Jakson menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja dan bekerja, mempercayai sang putri pada ibunya.

Nyatanya apa yang dilakukan ibunya pada putrinya, sangat tidak menyenangkan untuk Jakson dengar. Terlebih lagi yang mengetahui perlakuan tidak menyenangkan itu adalah mantan ibu mertuanya, yaitu ibu kandung dari almarhumah sang istri.

"Maaf, Ma," sesal Jakson, "aku nggak akan berdalih. Ini memang murni kesalahanku."

Anggap saja Jakson egois, hanya karena tersiksa rindu tak berujung. Jakson mengalihkan rasa rindu dan dukanya pada pekerjaan, ia lupa jika ada buah hatinya dan Kinanti yang harusnya diperjuangkan.

Susi menggeleng sekilas. "Kami tau, Nak Jakson pasti sangat sibuk. Kami nggak nyalahin, Nak Jakson. Kalo Nak Jakson kerepotan, biar Mentari kembali Mama aja yang asuh. Mama masih kuat, dan masih bisa membesarkan Mentari," sahut Susi tegas.

Kepala Jakson yang tertunduk sontak saja terangkat, dari raut wajahnya tampak jelas Jakson sangat panik.

"Nggak, Ma! Gimana bisa Mama ngomong begitu. Aku akui ini terjadi karena kelalaianku, sungguh. Jangan pisahkan aku dengan Mentari, Ma. Aku mohon," balas Jakson memelas.

Susi menghela napas berat, sementara sang suami yang berada di sampingnya tidak banyak omong. Lelaki paruh baya ini memilih diam, membiarkan sang istri untuk berbicara dengan Jakson.

"Mama nggak mau sampai Kinanti menangis liat putrinya nggak keurus, bahkan dibentak-bentak. Kami memang bukan berasal dari keluarga yang setara dengan Nak Jakson. Tapi, kami semua bisa menghidupi Mentari dan membahagiakannya," ujar Susi mengeluarkan apa yang ada di hatinya, "dengan kayak gini, Nak Jakson bisa bekerja tanpa beban. Bahkan bisa pula menikahi wanita mana pun yang Nak Jakson mau. Kami nggak akan menghalangi keinginan Nak Jakson sekeluarga tapi, Mentari harus kami yang besarkan."

Jakson tercekat, seakan ada beban berton-ton menghimpit dadanya. Membuat pilot berparas tampan satu ini kesulitan untuk menghirup udara, bibirnya bergetar. Jakson beringsut semakin ke depan, jari jemari panjangnya saling bertautan. Jakson tidak menyangka, kemarahan Susi sebesar ini hingga menginginkan putrinya untuk diasuh.

"Ma! Jangan kayak gini. Sedikit pun aku sama sekali nggak pernah terbesit buat nikah lagi dengan perempuan mana pun, aku janji ini pertama dan terakhir kalinya hal buruk kayak gini terjadi. Biarkan Mentari, aku yang besarkan, Ma," pinta Jakson, guratan wajahnya tampak begitu sedih.

"Lalu bagaimana sama pekerjaanmu? Untuk menghidupi putrimu bukannya kamu harus bekerja. Mau titipin Mentari ke baby sitter pun zaman sekarang susah. Nggak ada yang bisa di percaya, atau kamu mau berhenti bekerja. Terus mau gimana sama nafkah Mentari?"

Jakson mendadak panik, apa yang dikatakan oleh Susi benar. Apa yang akan dilakukan oleh Jakson, menitipkan Mentari pada keluarganya malah mengecewakan. Menyewa baby sitter pun tidak kalah sulitnya, berhenti dari pekerjaannya saat ini akan menyulitkan ekonomi kedepannya. Apalagi Mentari dalam waktu dekat putrinya akan segera memasuki sekolah taman kanak-kanak. Butuh biayanya besar untuk sekolah sang putri, dan menghidupi putrinya.

"Sementara kamu pun nggak mau kami yang besarkan Mentari, lantas jalan keluarnya, apa?" lanjut Susi, sedikit emosi.

Embusan napas berat dari Budi mengalun, ia dapat melihat kepanikan di wajah Jakson. Budi hanya menjadi pengamat dan pendengar, sudah saatnya ia ikut angkat bicara.

"Satu-satunya jalan adalah menikah lagi," kata Budi, membuat kedua mata Jakson terbelalak.

Kepala Jakson mengeleng menolak usulan mantan ayah mertuanya, bagaimana bisa itu menjadi jalan keluar. Jakson tidak ingin menikah dengan wanita mana pun, di saat hatinya hanya ada Kinanti—almarhumah istrinya.

"Iya, kamu harus nikah lagi. Pertama biar ada yang ngurusin Mentari, kedua ada yang ngurusin rumah dan kamu. Paling penting adalah wanita itu tulus sama Mentari dan tulus juga padamu," celetuk Susi.

Bibir Jakson terbuka tapi, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.

"Kami berdua sepakat, mengusulkan untuk kamu turun ranjang, Jakson. Menikahi Aruna, menjadikan Aruna sebagai Ibu Mentari serta menjadi istrimu. Dengan kayak gitu kita semua bisa tenang, dan nggak akan mengambil Mentari darimu. Mentari akan hidup bersamamu dan Aruna di sini," tutur Susi, atensi Susi terfokus pada wajah Jakson.

Jakson menahan napas untuk sesaat, Aruna adalah adik iparnya sendiri. Si bungsu yang disayangi oleh almarhumah istrinya, bagaimana bisa ia menikahi Aruna.

"Kami tidak terburu-buru, Papa dan Mama memberikan kamu waktu untuk berpikir. Ini solusi satu-satunya yang terbaik bisa kami berikan," ucap Budi, sebelum mendesah berat.

Kedua kelopak mata Jakson tertutup perlahan, kepalanya tertunduk. Rasanya kepalanya ingin pecah saja, semuanya semakin terasa berat dan begitu penuh tekanan.

...***...

"Sayang!"

Aruna terkejut ia membawa netra coklat bening itu ke arah lelaki dengan seragam basket, peluh menetes deras menuruni dahinya. Senyum lebar tercetak di bibir Raka—kekasihnya, Aruna menarik paksa kedua sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman.

"Gimana permainanku?" tanya Raka semangat.

"Bagus," sahut Aruna, "pertandingannya udah selesai 'kan?"

Mulut Raka terbuka, seruan memanggil nama Raka di tengah-tengah lapangan basket membuat Raka menoleh ke belakang. Tangannya terangkat dan kepalanya mengangguk, Raka memberikan kode untuk timnya pergi lebih dahulu.

Aruna diam-diam menghela napas berat, ibu dan ayahnya sudah berbicara dengan Jakson. Kata sang ibu Jakson tampak syok, mereka memberikan Jakson waktu untuk berpikir. Aruna tidak punya pilihan lain selain menyetujui permintaan ibunya, memutuskan untuk meninggalkan Raka.

'Aku harap Mas Jakson akan menolak pernikahan ini, mencari solusi lain. Agar kamu dan aku tetap bisa bersama, Raka.'

Jika Jakson menolak, bisa saja Mentari diasuh oleh keluarganya. Aruna akan mencari pekerjaan selepas menyelesaikan S1-nya, membiayai kehidupan Mentari. Aruna bisa membicarakan hal ini dengan Raka, di saat mereka menikah nanti Aruna akan membawa Mentari untuk ikut di keluarganya.

"Sayang! Aku harus ganti pakaian dulu. Kamu nggak apa-apa 'kan nunggu bentar," ucap Raka, ia melirik ke arah Aruna kembali.

Kepala Aruna mengangguk. "Ya, nggak apa-apa. Kalo gitu aku nungguin kamu di taman belakang ya, di tempat biasa."

Raka mengangkat tangan kanannya mengusap lembut puncak kepala Aruna, tersenyum ceria. Tangannya diturunkan, Raka membalikkan tubuhnya melangkah meninggalkan lapangan basket indoor. Ekspresi ceria Aruna perlahan-lahan berubah sedih, diembusnya napas kasar. Ringtone nyaring dari ponsel di tas selempang Aruna mengalihkan tatapan mata Aruna, dari punggung Raka—kekasihnya yang semakin menjauh ke arah tasnya berada. Tangan Aruna bergerak menarik resleting tas ke samping, mengeluarkan benda persegi panjang itu dari dalam sana.

Mas Jakson.

Nama itu yang tertera di layar ponsel, dahi Aruna mengerut. Ibu jarinya menggeser ikon ponsel ke samping, menempelkan smartphone ke daun telinganya. Suara bariton Jakson menyapa indera dengarnya, Aruna mengigit bibirnya. Perasan Aruna menjadi tidak enak, Jakson yang tidak pernah menghubungi dirinya tiba-tiba meneleponnya.

^^^Bersambung...^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!