Bab 3 Bertemu Lagi

Bu Daning menghela napas panjang usai keluarga Arya pulang.la lega karena pernikahan Lisna dan Arya sudah jelas akan terlaksana meski belum pasti tanggal berlangsungnya kapan. Namun, sontak ia menoleh ke arah Hanin yang berdiri di sampingnya.

"Puas kamu?" ucapnya dengan mata memicing.

"Maksud Ibu apa?" Hanin menatap dengan pandangan penuh tanya.

"Kamu udah buat kami malu, Hanin!" kata Bu Daning dengan penuh penekanan di kata 'malu' yang ia ucapkan. Lantas, ia berlalu begitu saja ke dalam rumah.

Hanin menatap Pak Abdul."Memangnya aku buat malu apa sih, Pak? Kenapa lagi- lagi aku yang disalahkan?" tanyanya.

"Ayo, masuk, Nak! Kita bicara didalam. Nggak enak dilihat sama tetangga." Pak Abdul merangkul pundak Hanin dan mengajak putrinya itu masuk. Tak enak bicara di depan rumah apalagi para tetangga sedang berkumpul sambil sesekali menatap mereka. Hanin mengangguk. la manut saat Pak Abdul menggiringnya masuk ke rumah.

Saat pintu ditutup, Lisna seketika mendorong tubuhnya hingga ia jatuh terduduk di sofa. "Dasar perawan tua! Makanya segera cari calon suami biar gak malu- maluin!"

"Lisna, jaga sikapmu! Hanin ini kakakmu! Hormati dia, Lisna," tegur Pak Abdul.

Entah untuk yang ke sekian kalinya. Lisna hanya mencebik mendengarnya. Hanin memejamkan mata.

"Kalian malu hanya karena mendengar ucapan ibunya Arya tadi?" tanyanya, ia membuang napas panjang.

"Sayang sekali, ya. Kamu mendapat calon suami dari keluarga terpandang dan kaya. Tapi, sayangnya mereka minim adab dan etika. Mereka tidak tahu cara menghargai orang lain bahkan, tak segan menghina oranglain," tambah Hanin yang kian membuat Lisna meradang.

"Halah sok- sokan kamu, Nin! Lagian yang mereka katakan bener, kok! Kamu kan memang cuma pekerja rendahan. Dah gitu gak laku- laku!" Lisna memang mudah tersulut emosi, ia menunjuk - nunjuk wajah Hanin dengan sangat tidak sopan.

"Kamu lupa dari mana uang kuliahmu berasal?" tekan Hanin, ia maju selangkah hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dari wajah Lisna.

"Uang kuliahmu itu didapat dari pegawai rendahan ini, Lis. Kamu harus ingat itu! Apa kamu tidak ingat semua itu?!" tukasnya.

Wajah Lisna nampak semakin menujukkan ketidak sukaan. Ia berdecih.

"Halah, berapa sih uang yang kamu berikan buat uang kuliahku? Bakalan tak balikin! Bilang aja kalau kamu gak ikhlas, Nin! Cuma uang kuliah aja

diungkit- ungkit!" la menghentakkan kaki, berjalan menuju kamarnya dan ...

Braaak!

Pintu ditutup dengan sangat keras. Begitulah Lisna. Hatinya sudah sekeras batu. la seolah lupa bagaimana perjuangan Hanin dalam membantu biaya kuliahnya.

Di saat semua temannya memajakan diri dengan skincare dan kebutuhan lain, Hanin malah sibuk membantu biaya kuliah Lisna.

Lisna kini sudah berhasil jadi bidan, meski hanya asisten saja. Wajahnya cantik dan glowing karena rajin pakai skincare, uang gajinya pun dipegang sendiri tanpa dibagi pada Ibu dan Bapak. Berbeda

dengan Hanin yang masih saja diwajibkan memberi sebagaian gaji untuk ibunya.

"Nanti kalau Lisna sudah jadi bidan, dia pasti bakalan gantiin tugas kamu menafkahi ibu, Hanin. Lisna akan mencarikan pekerjaan di klinik atau puskesmas agar bisa mengangkat derajatmu nanti. Juga sebagai balas budi karena kamu mau bantu kuliahnya," kata Bu Daning waktu Lisna hendak daftar kuliah, dulu.

Orang tuanya bahkan rela menjual sepetak sawah untuk membayar uang masuk kuliah

kebidanan yang tak murah. Semua mereka lakukan agar anak kesayangan mereka bisa menggapai cita- cita. Berbeda dengannya yang kini hanya hidup dalam kerasnya sendiri. Sebab, janji yang diberikan ibunya dulu, menguap begitu saja. Entah lupa atau sengaja terlupakan.

"Nak... kamu istirahat saja. Biar bapak yang membereskan semua ini," kata Pak Abdul seraya menyentuh bahu Hanin.

Lamunan Hanin seketika buyar. la menoleh ke arah pria yang sikapnya begitu lembut. Namun, juga takut pada sosok sang istri.

"Pak?" panggilnya.

"Iya, ada apa?" Pak Abdul menatap dengan wajah lelah. Hanin menoleh ke belakang. Melihat situasi di mana tak ada sosok Bu Daning di dekat mereka. Ibunya itu mungkin sedang beristirahat karena lelah. Atau mungkin juga marah padanya sama seperti Lisna.

"Kenapa Bapak selalu mengalah pada Ibu?"

Wajah Pak Abdul nampak kaget selama beberapa detik. Namun, seulas senyum ia berikan pada putrinya itu. "Ibu itu wanita yang sudah memberikan kehidupan sama kamu dan Lisna.

Pengorbanannya tidak main- main, Nak. Mana mungkin Bapak bersikap keras pada tulang rusuk Bapak sendiri? Yang ada tulang rusuk Bapak akan bengkok dan patah kalau diperlakukan kasar" jelasnya terdengar begitu bijak ditelinga Hanin.

Pak Abdul kembali menyentuh pundak Hanin. "Bapak selalu berdoa untukmu, Nak. Agar kamu diberikan jodoh yang baik, dan yang benar- benar mencintaimu.Tapi, jangan sampai kamu merendahkan harga diri suamimu nanti, semarah apa pun kamu," pesannya.

Hanin bergeming menatap sendu di kedua mata Pak Abdul.

"Maafin aku, ya, Pak. Aku selalu berpikir jelek tentang Ibu ataupun Bapak," ucapnya lirih.

"Iya, tidak masalah. Apa yang kamu rasakan itu manusiawi. Bapak paham, dan bapak yang seharusnya minta maaf sama kamu karena tidak bisa membelamu saat ibumu selalu memojokkan kamu. Maaf..."

Hanin tersenyum. Kedua matanya memanas mendengar ucapan tulus dari sang Ayah. la pun

memeluk Pak Abdul, cinta pertama saat ia lahir ke dunia sampai saatini.

"Aku bantuin beberes, Pak.Mana mungkin aku biarin Bapak beres- beres sendiri," kata Hanin usai melepas pelukannya.

"Sudah, tidak usah. Kamu istirahat saja. Bapak tahu kamu lelah karena sejak subuh sudah masak."

Hanin tak merespons. la bergerak ke kamar untuk berganti baju. Ia menggulung asal

rambutnya, lalu keluar lagi dan membereskan piring- piring kotor yang ada di ruang tamu.

Pak Abdul yang melihat, menatap Hanin dengan perasaan haru. Setiap langkah Hanin selalu terucap doa terbaik untuk putrinya itu. Tak apa lama menemukan jodoh, asal jodoh putrinya benar-benar bisa meratukan dan menerima dengan tulus.

...****************...

Pagi ini, Hanin izin tidak masuk kerja karena tubuhnya terasa remuk. Ia sangat lelah karena bekerja keras kemarin. Tak hanya lelah secara fisik, tapi juga secara batin.

"Loh, kamu gak kerja, Nin?" Bu Daning terkejut melihat Hanin baru keluar kamar. Dilihatnya jam dinding yang sudah menujukkan angka delapan.

"Enggak, Bu. Aku izin libur. Badanku pegel semua," sahut Hanin seraya duduk di kursi meja makan. Ia menuang air putih dalam gelas dan meneguknya hingga tandas. Bu Daning tak menanggapi. la ingin protes tapi paham bahwa Hanin memang kelelahan.

"Terus, ini kamu baru bangun?" Bu Daning hendak marah. Namun, urung setelah mendengar jawaban Hanin.

"Tadi aku bangun Subuh buat ngagetin semua lauk ini, Bu. Setelah itu tidur lagi."

"Ohh...." Bu Daning melanjutkan sarapannya.

Hanin mengambil piring menyendok nasi dan lauk, lalu ikut sarapan. "Bapak ke mana, Bu?"

"Katanya ke rumah Pak Faisal.

Dua minggu lagi anaknya mau nikah. Bapakmu disuruh rewang di sana," jawab Bu Daning.

"Ohh...."

"Kalau kamu nanti disuruh rewang, jangan ikut. Tolak saja ya Nin," pinta Bu Daning yang membuat kunyahan di mulut Hanin terhenti sesaat. Hanin menelan makanannya, lalu mendorongnya dengan meneguk air putih.

"Kenapa, Bu? Aku gak enak sama Bu Indah sama Pak Faisal. Mereka selama ini baik sama aku dan keluarga ini."

"Ibu nggak mau kalau kamu malah buat malu, Nin. Mereka nanti yang ada di sana pasti bakalan banding- bandingin kamu sama anak- anak mereka yang udah punya pasangan. Mending kamu alasan ke mana atau ke mana gitu."

Hanin membuang napas panjang. "Aku udah biasa denger semua itu, Bu. Ibu tenang saja. Aku gak bakalan buat Ibu atau Bapak malu."

Bu Daning mencebik. "Susah banget, sih kamu kalau dibilangin?"

"Bu, memangnya kenapa? Aku ini bukan pelaku zina, bukan maling, bukan penjahat. Aku cuma belum menikah. Kenapa Ibu harus malu. Lagian umurku juga masih dua puluh tiga. Kenapa seolah-olah aku ini lebih dari seorang penjahat?" cecar Hanin. "Apa karena yang nikah duluan Lisna?"tebaknya.

"Itu kamu tahu. Kamu jelas paham, kalau di kampung ini, dilangkahi adik saat nikah itu aib,

Hanin. Kamu bikin ibu malu karena setiap ibu keluar pasti para tetangga bakalan nanyain dan bilang kalau kamu itu perawan tua, kata Bu Daning.

"Biarin saja. Aku udah kebal. Nanti kalau anak Pak Faisal nikah aku bakalan datang meski cuma datang ngasih amplop doang."

Bu Daning mencebik. "Yasudah lah, terserah kamu. Aku udah ingetin kamu. kamu memang dasarnya bebal."

"Iya, makasih, Bu."

"Nanti, saya ke rumah Pak Abdul, ya. Mau minta tolong sama Bu Daning dan Hanin buat ikut

bantu- bantu di sini," kata Bu Indah pada Pak Abdul.

"Oh, iya, Bu Indah. Emm.. saya sampaikan saja gimana? Biar Bu Indah gak repot-repot ke rumah saya," tawar Pak Abdul, merasa tak enak hati.

"Kalau seperti itu malah saya yang sungkan."

"Benar, Pak Abdul. Nanti kalau waktu luang saya sama istri saya akan berkunjung ke rumah Pak Abdul," timpal Pak Faisal yang mendengar obrolan istrinya dan Pak Abdul.

"Beneran tidak usah, Bu, Pak. Nanti saya sampaikan saja. Pernikahan Amel kan sudah dekat. Kalian pasti repot," tolak Pak Abdul."Saya pastikan kalau istri dan anak saya pasti datang buat rewang disini," ucapnya meyakinkan.

Pak Faisal dan Bu Indah saling pandang. Bu Indah lantas mengambil dua kilo gula dan dua liter minyak dalam tas plastik. "Ini berikan pada Bu Daning, ya. Terimakasih banyak," ucapnya.

"MasyaAllah. Kalian baik sekali. Terima kasih, Pak, Bu." Pak Abdul mengangguk sungkan.

"Sama- sama. Oh, ya. Aku dengar kalau putrimu, siapa itu ...Lisna, katanya sudah dilamar ya?" tanya Pak Faisal. Kabar lamaran antara Lisna dan Arya memang sudah menyebar. Sebab, saat keluarga Arya datang dengan mobil saat itu para tetangga berkumpul didepan rumah Pak Abdul untuk melihat.

"Iya, Pak. Alhamdulillah, Lisna sudah dilamar."

"Oh, kapan pernikahannya digelar, Pak Abdul?" Kali ini Bu Indah bertanya.

"Emm... masih belum ditentukan, Bu Indah. Keluarga calon suami Lisna masih mau kalau

anaknya menyelesaikan kuliahnya dulu katanya."

"Wah, kok begitu? Padahal kan menikah itu tidak memberatkan kuliah. Bisa, kok, sudah menikah tapi kuliah. Kenapa Pak Abdul tidak menegaskan pada calon besan Pak Abdul? Bukan kenapa- napa, dan bukan mau ikut campur. Saya cuma cemas, karena zaman sekarang itu beda. Anak muda mudi jika dibiarkan menjalin hubungan tanpa kejelasan bisa menimbulkan halyang tidak diinginkan." Pak Abdul bergeming.

Wajahnya nampak bingung. Ia kemarin sempat ingin berkata demikian. Namun, tak sampai hati.

"Bu, sudahlah, jangan membuat Pak Abdul kepikiran. Kita doakan saja supaya Lisna dan calon suaminya bahagia," kata Pak Faisal. Ia merasa tak enak hati melihat ekspresi Pak Abdul.

"Saya juga doakan supaya Hanin segera dapat jodoh. Dia gadis yang baik dan rajin," imbuhnya.

Pak Abdul tersenyum. "Amiin,

terima kasih banyak, Pak. Kalau begitu, saya pamit pulang. Assalamu' alaikum," salamnya.

"Wa' alaikum salam," sahut Pak Faisal dan Bu Indah bersamaan.

"Jadi, kita semua disuruh rewang? Termasuk Hanin juga?" Bu Daning melempar tanya pada

suaminya saat mereka ada di dalam kamar.

"Iya, Bu. Kita bertiga."

"Bertiga?" Kening Bu Daning berkerut.

"Maksudnya Lisna enggak disuruh?"

"Iya. Pak Faisal dan Bu Indah tahu kalau Lisna pasti sibuk di puskesmas. Makanya mereka gak nyuruh Lisna."

"Ya bagus. Lisna mana mau rewang sama orang- orang," cibir Bu Daning. "Tapi, kalau Hanin yang

rewang, aku juga malas sebenernya."

"Jangan dengerin omongan orang, Bu. Berpura- pura tuli saja saat orang- orang menghina kita."

Bu Daning mendengkus. Sayangnya aku gak bisa, Pak! Aku bukan kamu yang bisa seenaknya diinjak- injak." Usai mengatakan hal itu, ia bangun dan keluar kamar mencari keberadaan Hanin.

Namun, setelah dipanggil beberapa kali, tak ada sahutan dari Hanin. "Ke mana, sih, anak itu!" gumamnya seraya berkacak pinggang.

"Dia masih keluar sama Santi,Bu. Katanya mau ke pasar," kata Pak Abdul.

Bu Daning hanya mendengkus kesal.

"Nin, kamu mau beli apa?" Santi melempar tanya seraya melihat- lihat aneka aksesoris yang terpajang di toko yang mereka datangi.

"Nggak beli apa- apa aku, San. Cuma lihat- lihat aja." Santi mencebik.

"Uangmu habis buat acara lamaran Lisna kemarin,kan?"

Hanin hanya tersenyum tipis. la ingin membeli sesuatu. Namun, rasanya sayang sekali, mengingat uangnya tinggal lima puluh ribu saja. Hanin memutuskan keluar dari toko dan melihat- lihat barang di toko yang lain. Ia menatap takjub pada sebuah gelang perak berhias bentuk love.

"Indahnya .."

Braaaak!

"Aaah!"

Hanin terkejut saat tiba- tiba ada orang yang menabraknya. Ia meringis memegang bahunya yang nyeri. Orang yang menabraknya itu sampai jatuh terjerembab.

"Kembalikan!" teriak seorang pria dengan ekspresi datar tapi terlihat menyeramkan.

Hanin yang masih syok, melihat pria bertubuh tinggi mengulurkan tangan seperti meminta sesuatu. Tapi, tunggu...

Hanin ingat wajah pria itu. Pria itu adalah pria yang sama yang ia temui di pasar tempo hari.

Episodes
1 Bab 1 Tidak Adil
2 Bab 2 Lamaran
3 Bab 3 Bertemu Lagi
4 Bab 4 Pria Aneh
5 Bab 5 Pria Menyebalkan
6 Bab 6 Rewang
7 Bab 7 Mendadak Lamaran
8 Bab 8 Digerebek
9 Bab 9 Sah!
10 Bab 10 Makan Siang
11 Bab 11 Paket
12 Bab 12 Gara-Gara Skincare!
13 Bab 13 Identitas Raffa
14 Bab 14 Kekhawatiran Seorang Ayah
15 Bab 15 Jadi Bidan Itu Cape
16 Bab 16 Jarak Yang Terbentang
17 Bab 17 Nafkah Pertama
18 Bab 18 Bertemu Bu Amira
19 Bab 19 Belanja
20 Bab 20 Iri Dengki
21 Bab 21 Kalung Dari Arya
22 Bab 22 Mulai Terbuka
23 Bab 23 Dua Garis Merah
24 Bab 24 Ancaman
25 Ba 25 Nikah Dadakan
26 Bab 26 Seatap
27 Bab 27 Persiapan Pembongkaran Identitas
28 Bab 28 Ternyata Imitasi
29 Bab 29 Black Card
30 Bab 30 Cerita Masa Lalu
31 Bab 31 Aku Imam dan Kamu Makmum!
32 Bab 32 Dipecat
33 Bab 33 Siapa Raffa Sebenarnya?
34 Bab 34 Arya Syok Berat
35 Bab 35 CEO Telah Muncul
36 Bab 36 Keluarga Hanin Syok
37 Bab 37 Bertemu Dengan Pak Brata
38 Bab 38 Penghasut
39 Bab 39 Rencana Menik
40 Bab 40 Malam Yang Tertunda
41 Bab 41 Resign
42 Bab 42 Lisna Akan Dipecat
43 Bab 43 Rahasia Yang Terungkap
44 Bab 44 Hancurnya Hati Lisna
45 Bab 45 Tak Puas
46 Bab 46 Kerinduan Pak Brata
47 Bab 47 Kecemburuan Lisna
48 Bab 48 Langkah Awal Pak Brata
49 Bab 49 Penggrebekkan
50 Bab 50 Sakit
51 Bab 51 Awal Kehancuran
52 Bab 52 Hancur
53 Bab 53 Kerja Paksa
54 Bab 54 Pergi
55 Bab 55 Permintaan Maaf
56 Bab 56 Diusir
57 Bab 57 Melahirkan
58 BAB 58 Viral
59 Bab 59 Sebuah Ancaman
60 Bab 60 Mulai Beraksi
61 Bab 61 Kebebasan Menik
62 Bab 62 Penyesalan Arya
63 Bab 63 Tertangkap
64 Bab 64 Obsesi Arya
65 Bab 65 Teman Lapas
66 Bab 66 Ular Kecil
67 Bab 67 Keputusan Nafha
68 Bab 68 Viral Lagi
69 Bab 69 Perubahan Arya
70 Bab 70 Kehidupan Lisna
71 Bab 71 Kejutan Untuk Bumil
72 Bab 72 Candra
73 Bab 73 Berdamai Dengan Masalalu
74 Bab 74 Keponakanku
75 Bab 75 Lisna Baru Tahu
76 Bab 76 Suka
77 Bab 77 Kunjungan
78 Bab 78 Hanin Pengusaha Sukses
79 Bab 79 Rasa Iri Yang Masih Ada
80 Bab 80 Kesempatan Kedua
81 Bab 81 Lamaram
82 Bab 82 Perjuangan Aris
83 Bab 83 Benteng Yang Mulai Runtuh
Episodes

Updated 83 Episodes

1
Bab 1 Tidak Adil
2
Bab 2 Lamaran
3
Bab 3 Bertemu Lagi
4
Bab 4 Pria Aneh
5
Bab 5 Pria Menyebalkan
6
Bab 6 Rewang
7
Bab 7 Mendadak Lamaran
8
Bab 8 Digerebek
9
Bab 9 Sah!
10
Bab 10 Makan Siang
11
Bab 11 Paket
12
Bab 12 Gara-Gara Skincare!
13
Bab 13 Identitas Raffa
14
Bab 14 Kekhawatiran Seorang Ayah
15
Bab 15 Jadi Bidan Itu Cape
16
Bab 16 Jarak Yang Terbentang
17
Bab 17 Nafkah Pertama
18
Bab 18 Bertemu Bu Amira
19
Bab 19 Belanja
20
Bab 20 Iri Dengki
21
Bab 21 Kalung Dari Arya
22
Bab 22 Mulai Terbuka
23
Bab 23 Dua Garis Merah
24
Bab 24 Ancaman
25
Ba 25 Nikah Dadakan
26
Bab 26 Seatap
27
Bab 27 Persiapan Pembongkaran Identitas
28
Bab 28 Ternyata Imitasi
29
Bab 29 Black Card
30
Bab 30 Cerita Masa Lalu
31
Bab 31 Aku Imam dan Kamu Makmum!
32
Bab 32 Dipecat
33
Bab 33 Siapa Raffa Sebenarnya?
34
Bab 34 Arya Syok Berat
35
Bab 35 CEO Telah Muncul
36
Bab 36 Keluarga Hanin Syok
37
Bab 37 Bertemu Dengan Pak Brata
38
Bab 38 Penghasut
39
Bab 39 Rencana Menik
40
Bab 40 Malam Yang Tertunda
41
Bab 41 Resign
42
Bab 42 Lisna Akan Dipecat
43
Bab 43 Rahasia Yang Terungkap
44
Bab 44 Hancurnya Hati Lisna
45
Bab 45 Tak Puas
46
Bab 46 Kerinduan Pak Brata
47
Bab 47 Kecemburuan Lisna
48
Bab 48 Langkah Awal Pak Brata
49
Bab 49 Penggrebekkan
50
Bab 50 Sakit
51
Bab 51 Awal Kehancuran
52
Bab 52 Hancur
53
Bab 53 Kerja Paksa
54
Bab 54 Pergi
55
Bab 55 Permintaan Maaf
56
Bab 56 Diusir
57
Bab 57 Melahirkan
58
BAB 58 Viral
59
Bab 59 Sebuah Ancaman
60
Bab 60 Mulai Beraksi
61
Bab 61 Kebebasan Menik
62
Bab 62 Penyesalan Arya
63
Bab 63 Tertangkap
64
Bab 64 Obsesi Arya
65
Bab 65 Teman Lapas
66
Bab 66 Ular Kecil
67
Bab 67 Keputusan Nafha
68
Bab 68 Viral Lagi
69
Bab 69 Perubahan Arya
70
Bab 70 Kehidupan Lisna
71
Bab 71 Kejutan Untuk Bumil
72
Bab 72 Candra
73
Bab 73 Berdamai Dengan Masalalu
74
Bab 74 Keponakanku
75
Bab 75 Lisna Baru Tahu
76
Bab 76 Suka
77
Bab 77 Kunjungan
78
Bab 78 Hanin Pengusaha Sukses
79
Bab 79 Rasa Iri Yang Masih Ada
80
Bab 80 Kesempatan Kedua
81
Bab 81 Lamaram
82
Bab 82 Perjuangan Aris
83
Bab 83 Benteng Yang Mulai Runtuh

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!