Bu Daning menghela napas."Kalau kamu bukan anakku. Lalu anak siapa? Kenapa harus menanyakan hal yang tidak masuk akal? Sudahlah, jangan kayak anak kecil kamu itu!"
Hanin terdiam. "Aku hanya penasaran saja. Kenapa sikap Ibu beda sama aku," tukasnya.
Bu Daning menatap Hanin."Sudah, kamu pergi ke kamarmu. Istirahatlah dulu, nanti sore kembali bantuin."
"Aku cuci piring dan perkakas kotornya dulu."
"Terserah. Yang penting aku udah nyuruh kamu istirahat! Jadi, jangan merasa seperti si paling tersakiti kalau ngadu sama bapakmu!" kata Bu Daning dengan ketus.
"Iya, Bu..."
Lisna keluar dari kamar mandi yang memang bersebelahan dengan dapur. Diliriknya sang Kakak yang duduk di kursi jongkok sedang menggosok wajan dan perkakas masak kotor lainnya.
"Mirip banget kayak babu kamu, Nin, tukasnya.
Hanin tersenyum tipis mendengar hinaan Lisna. Jika ditanggapi, adiknya itu akan semakin bersemangat untuk menghinanya. Jadi, lebih baik ia diamkan saja. Sementara Lisna merasa kesal karena Hanin tak menanggapi ucapannya.
"Kamu budeg, ya?" Hanin masih diam, dan terus menggosok pantat panci yang hitam. Ibunya akan marah jika pantat panci itu masih hitam. Merasa diabaikan, Lisna pun muntab. la menendang wadah sabun yang digunakan untuk
mencuci piring sampai tumpah dan isinya habis.
"APA MAUMU, LIS!" Hanin sontak berteriak dan berdiri. Melotot tajam ke arah Lisna.
Seketika, nyali Lisna menciut melihat tatapan yang tak pernah ditunjukkan Hanin.
"Aku mencoba mengalah karena kamu adikku. Aku diam karena aku tidak mau bertengkar denganmu. Tapi, kenapa kamu selalu mencari gara-gara denganku, hah? Maumu itu apa!"
Hanin merasa sangat lelah, sejak subuh sudah berkutat didapur sampai sesiang ini. Bukannya
membantu atau setidaknya diam, Lisna malah mencari gara- gara terus menerus.
Lisna melotot. "Berani kamu sekarang?" sahutnya dengan bibir bergetar. la menoleh ke arah sang
Ibu yang seperti tak mau membelanya.
"Aku ini kakakmu! Sudah seharusnya kamu yang hormat sama aku!" teriak Hanin.
Lisna menggigit bibirnya. "Ibu, lihat si Hanin!" adunya pada ibunya. Hanin tersenyum sinis. Selalu saja jika kalah berdebat Lisna akan mengadu dan merengek pada ibunya. Dan pada akhirnya, ia yang harus mengalah.
"Bela saja anak kesayangan Ibu ini. Seperti biasa, aku akan mengalah jika Ibu yang minta,"tukas Hanin.
Bu Daning membuang napas panjang. "Lisna, hentikan. Jangan membuat Hanin kesal. Kamu harus ingat, kalau tidak ada Hanin, semua masakan ini tidak akan jadi," katanya.
Hanin menatap ibunya, heran.'Hah? Ibu belain aku?' batinnya. Lisna sendiri menghentakkan kaki. "Ibu mulai membela si dekil ini, ya?!" teriaknya.
Bu Daning mencengkeram pisau di tangannya. "Lisna! Sudah!"teriaknya. Lisna terlonjak, tak menyangka bahwa ibunya membentaknya didepan Hanin.
"Ibu ...." Lisna melengos, lalu menghentakkan kakinya layaknya anak kecil yang marah karena permintaannya tak dituruti. la masuk ke dalam kamar, membanting pintu dengan keras sampai terdengar hingga keluar rumah.
"Ada apa, sih, Bu? Kenapa Lisna marah-marah begitu? Pintu sampek dibanting- banting,"
kata Pak Abdul yang seketika ke dapur setelah mendengar pintu yang ditutup keras.
"Biasa, Lisna lagi marah," sahut Bu Daning. Ia kembali menyelesaikan pekerjaannya.
"Habis bertengkar sama Hanin?" tebak Pak Abdul sambil menatap Hanin yang sudah kembali mencuci piring.
"Iya ...," jawab Bu Daning.
"Gitu kalau anak selalu kamu manja, Bu. Dia pasti merasa aman karena kamu selalu membelanya."
"Kalau Bapak nggak tahu apa-apa, mending diam saja deh! Jangan bikin aku tambah capek!"
Ucapan Bu Daning membuat Pak Abdul meneguk ludahnya. "Bapak kan ngomong baik-baik, Bu."
"Udahlah, mending Bapak pergi saja, jangan di sini. Aku muak!"
Hanin mencengkeram spons yang ada di genggamannya. la membuang napas panjang. Setiap hari, setiap waktu selalu saja ia mendengar perdebatan antara Bapak dan ibunya. Dan perdebatan itu selalu dimenangkan oleh Bu Daning karena Pak Abdul akan lebih memilih untuk mengalah.
Lisna berdiri di depan cermin kamarnya yang besar. Bibir mungilnya dilapisi lipstik merah muda, serasi dengan gaun kebaya modern yang melekat sempurna ditubuh rampingnya. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi aksen melati kecil di sisi kanan. Sudah dua jam ia berkutat dengan penampilan, memastikan semuanya
sempurna. Lantas, setelah memastikan penampilannya sempurna, ia keluar kamar melewati ruang keluarga yang sudah ditata rapi.
Dipojok ruangan, Hanin duduk dengan gamis sederhana berwarna pastel. Ia tidak memakai make-up tebal seperti adiknya, hanya bedak tipis yang membuat wajahnya terlihat berseri alami. Namun, meskipun sederhana, aura lembut Hanin tetap memikat, sesuatu yang sering kali tidak disadari Lisna.
"Bagaimana? Aku terlihat lebih cantik dari biasanya, kan, Nin?" tanya Lisna dengan nada menyindir sambil mematut diri. Ia melirik Hanin dengan tatapan sinis dan meremehkan. Rasa kesalnya belum hilang. Namun, karena sebentar lagi calon suaminya akan datang,maka ia harus bisa mengontrol diri.
"Tentu saja. Tidak semua orang seberuntung aku. Sudah cantik, punya calon suami kaya raya pula."Lisna mengajukan pertanyaan, tapi ia pula yang menjawabnya.
Hanin mengangguk pelan. Ia tidak menggubris sindiran itu, sudah terlalu sering mendengarnya. Baginya, hari iniadalah hari bahagia untuk adiknya, bukan ajang untuk membalas perkataan. Ia sendiri sudah lelah karena seharian bekerja di dapur.
"Bagaimana penampilanku? Apakah terlihat seperti calon menantu dari keluarga terpandang?" Lisna berbalik, memamerkan gaun merah yang begitu indah.
"Iya, Lis. Kamu cantik," jawab Hanin datar.
Lisna mendengkus. Ia ingin mendengar lebih dari itu, mungkin sedikit pujian yang lebih tulus. Namun, respons datar Hanin membuatnya yakin kakaknya itu hanya iri.
Setelah beberapa saat, suara klakson mobil mewah terdengar dari depan rumah. Lisna bergegas menuju jendela, membuka tirai sedikit untuk mengintip. Sebuah sedan hitam berkilauan berhenti dihalaman, diikuti oleh SUV besar.
"Mereka datang!" seru Lisna, wajahnya berseri- seri. Di balik sikap Lisna itu, Hanin hanya tersenyum kecil. Ia senang melihat kebahagiaan adiknya. Namun, iajuga tidak bisa mengabaikan rasa kesal yang selalu muncul setiap kali Lisna meremehkannya.
"Jangan berdiri saja di situ, Mbak. Ini bukan acara kamu," sindir Lisna sambil melangkah keluar untuk menyambut calon suaminya.
Hanin menghela napas panjang. Sambil menunduk, ia melangkah ke ruang tamu, mempersiapkan diri untuk menyambut tamu yang akan datang.
Bu Daning sudah berdiri didepan pintu dengan senyum lebar.la mengenakan batik coklat yang seragam dengan Pak Abdul. Wajahnya berbinar penuh semangat. Hari ini, calon besan yang ia banggakan mengunjungi rumahnya untuk pertama kalinya.
"Pak, kamu jangan sampai bicara ngawur loh, ya. Jaga harkat dan martabat kita," bisik Bu Daning
pada suaminya.
"Iya, Bu. Lagian siapa juga yang mau ngomong ngawur? Ada -ada saja kamu ini."
"Lisna, cepat ke sini!" panggil Bu Daning, melirik putrinya yang berdiri gugup di dekat tangga.Lisna bergegas ke arah ibunya. la melangkah dengan penuh percaya diri, walaupun hatinya sedikit berdebar.
Di luar, pintu mobil sudah terbuka, dan seorang pria paruh baya turun dengan setelan jas rapi. Di belakangnya, seorang wanita anggun dengan tas tangan yang terlihat mahal mengikutinya, diringi seorang pria muda yang tinggi dan tampan.
"Selamat datang, Pak Herman, Bu Lila," sapa Bu Daning sambil menjabat tangan mereka dengan hangat.
"Terima kasih, Bu Daning dan Pak Abdul," balas Pak Herman sambil tersenyum. la memandang
rumah sederhana itu dengan pandangan penuh pemahaman.
Lisna berdiri di samping ibunya, menundukkan kepala dengan sopan. Matanya melirik kearah pria muda di belakang, calon suaminya, Arya. Jantungnya berdegup kencang saat pria itu tersenyum tipis ke arahnya.
"Kami sudah mendengar banyak tentang keluarga Anda," ujar Bu Lila. "Lisna memang gadis yang beruntung." Lisna tersipu.
Pujian itu membuatnya merasa melambung. Namun, di sisi lain, Hanin yang berdiri di belakang mereka hanya diam. la mengamati setiap gerak-gerik dengan mata yang sendu meski bibirnya tersenyum.
Makan siang berlangsung meriah. Bu Daning memimpin pembicaraan dengan semangat,
membicarakan betapa bangganya ia pada Lisna.
"Lisna ini anak yang rajin, pintar, dan tentu saja cantik. Arya pasti tidak salah memilih. Apalagi, Lisna ini kan bidan," ucap Bu Daning membanggakan putrinya, sesekali melirik calon menantunya.
"Ya, kami sangat terkesan dengan Lisna. Semoga hubungan ini membawa berkah untuk kedua keluarga," timpal Pak Herman.Namun, di balik pembicaraan itu,Bu Lila terus memperhatikan Hanin. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuat Hanin merasa tidak nyaman.
"Anda punya anak lain, ya? Siapa namanya?" tanya Bu Lila tiba-tiba. "Saya tidak pernah tahu kalau Lisna punya saudara."
"Oh, ini Hanin, anak pertama saya," jawab Bu Daning. Wajahnya sedikit kaku saat menyebut nama Hanin, seolah ingin memperjelas bahwa peran Hanin dalam acara ini hanyalah pelengkap.
Hanin tersenyum sopan. la mengangguk pelan sambil memperkenalkan diri. Namun, Bu Lila tidak melanjutkan percakapan. Matanya kembali tertuju pada Lisna. Meskipun acara berjalan lancar, Hanin merasakan kejanggalan yang tidak bisa diabaikan. Sesekali, ia melihat Lisna melemparkan tatapan penuh kemenangan ke arahnya, seolah ingin menunjukkan bahwa ia telah memenangkan perlombaan yang sebenarnya tidak pernah Hanin ikuti.
Di dalam hati Hanin, ia hanya berdoa semoga kebahagiaan Lisna benar- benar tulus dan bertahan lama. Karena ia tahu, dunia tidak selalu seindah gaun yang bersolek.
"Jadi, kita sudah bisa menentukan tanggal pernikahan, kan?" tanya Bu Daning.
"Iya. Tapi, kita bisa melangsungkan pernikahan setelah Arya menyelesaikan kuliahnya.Nanggung, kan kalau kuliahnya harus tertunda?" kata Bu Lila seraya menyomot sepotong buah semangka.
Bu Daning mengangguk. "Iya, tentu saja. Jangan sampai Nak Arya putus kuliah. Iya, kan, Pak?" tanyanya pada Pak Abdul yang lebih banyak diam.
"Iya, Bu. Nanti soal pernikahan bisa dilaksanakan setelah Nak Arya wisuda. Yang penting anak- anak kita ini sudah diikat dalam lamaran," kata Pak Abdul.
Pak Herman manggut-manggut. "Oh, ya. Lalu, itu anak sulung kalian? Apa belum menikah?"
Hanin semakin tetunduk. Jari-jemarinya mencengkeram lutut untuk mengeyahkan rasa gugupnya.
"Emmmn... iya, Pak. Hanin ini belum menikah. Belum ketemu sama jodohnya," sahut Bu Daning seraya tersenyum sungkan.
"Wah, sayang sekali. Ngomong-ngomong kalau nikahnya keduluan sama adiknya, bisa jadi perawan tua, loh. Susah ketemu jodoh," tukas Bu Lila. Suaranya lembut tapi entah mengapa terdengar seperti hinaan yang menyakitkan bagi
Hanin.
"Maaf, Bu. Tapi, soal jodoh saya tidak terlalu risau, karena saya percaya kalau Allah akan mempertemukan saya sama calon saya di saat yang tepat," ujar Hanin dengan senyum di bibirnya.
Bu Lila berdecih, lantas tertawa pelan. "Kalau cuma pasrah ya mana ketemu? Oh, ya, kamu kerja apa?Apa sama kayak Lisna, seorang bidan?"
Hanin menggigit bibir bawahnya. "Saya cuma penjaga toko kelontong milik Ko Yusuf," jawabnya dengan suara pelan.
Kedua mata Bu Lila membelalak. "Hah, benarkah? Kok, bisa? Memangnya kamu nggak kuliah dulu? Atau kamu memangtidak mau punya kerjaan mapan?"
Hanin menghela napas. "Saya."
"Ehm! Bu Lila, Hanin dulu tidak kuliah karena dia memilih bekerjauntuk membantu ekonomi keluarga," sela Pak Abdul. "Kami sudah meminta dia kuliah tapi, dia menolak. Katanya, dia ingin agar Lisna sukses, makanya dia bantu buat nambah biaya kuliah Lisna," paparnya.
Bu Daning dan Lisna menatap Pak Abdul dengan tatapan marah. Bisa -bisanya lelaki paruh baya itu
menjawab begitu.
"Oh... begitu." Bu Lila manggut- manggut. "Sayang sekali, ya. Kamu berkorban buat adikmu tapi hidupmu kini menderita. Palingan nanti kamu ketemu jodoh juga gak jauh- jauh dari kerjaanmu
sekarang,' sahutnya.
"Bu, sudah. Hentikan! Kita disini buat membahas hubungan Arya dan Lisna. Bukan untuk membahas jodoh Hanin," tegur Pak Herman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments