Bab 4 Pria Aneh

"Kembalikan!"

Pria bertubuh tinggi tegap itu kembali berucap. Tangannya masih menengadah seolah meminta priayang jatuh terjerembab tadi mengembalikan sesuatu yang diambil paksa alias mencuri.

"Sial! Aku tak akan mengembalikannya padamu! Benda ini sudah jadi milikku!" Pria berjaket hitam itu lantas berdiri. Ia melirik Hanin dan menyandera wanita itu.

"Astagaaa! Haniiin!" Santi berteriak histeris saat preman itu mengunci pergerakan Hanin dengan melingkarkan lengan dileher Hanin. Ia hendak maju dan menolong, tapi gerakannya dicegah oleh pria yang terlihat seperti lawan dari pria yang menyandera Hanin.

"Tunggu di sini dan jangan gegabah. Jika tidak, temanmu akan celaka," kata pria itu.

"I- iya ...." Santi menjawab gugup. Antara cemas dan kagum pada wajah pria yang bicara itu.

'Ganteng banget, sih. Tapi, serem, batin Santi.

Hanin membelalak. Tubuhnya bergetar hebat karena takut. Pria yang menyanderanya itu meletakkan pisau tepat di lehernya, sekali gerakan, pisau itu akan mudah menancap di lehernya. la menatap pria di seberangnya dengan tatapan memohon.Meminta agar menolongnya.

Sementara itu, situasi pasar terasa tegang karena kejadian ini. Beberapa orang menghindar, tapi ada pula yang diam- diam merekam.

"Jangan ada yang merekam atau memotretku jika tidak ingin wanita ini mati!"

Seketika beberapa orang yang memegang ponsel memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berlalu

pergi. Mereka tidak ingin terlibatdalam masalah ini lagi. Hanin semakin takut.

Tubuhnya meremang, jantungnya berdegup kencang. Bulir- bulir keringat mulai membasahi

tubuhnya. Entah, kenapa ia selalu ditimpa kesialan? Padahal, niat hati ingin melepas penat karena sumpek di rumah, malah bertambah sumpek ada di pasar.

"Lepaskan aku .., " pinta Hanin dengan suara lirih.

Pria yang menyanderanya tertawa. "Aku akan melepaskan kamu, kalau pria itu juga melepaskan aku. Maka dari itu... mintalah pada pria di seberangmu itu untuk tidak mengejarku lagi," desisnya, semakin mendekatkan pisau ke leher Hanin.

"A- aku..." Hanin ingin menangis rasanya. Ia tidak tahu masalah di antara pria itu. Tapi, kenapa dirinya musti terlibat?

"Hei, lawanmu itu aku. Bukan wanita itu. Memang pada dasarnya, kamu itu banci, Sa."

"Tutup mulutmu, Raffa!" Preman yang dipanggil Sa, alias Reksa itu melotot tajam. "Kalau dia mati, maka ... itu salahmu!" ancamnya.

Raffa, pria itu berdecih. Ia lantas menatap Hanin yang semakin pucat. Rasanya kasihan melihat wanita itu. "Mbak?" panggilnya.

"Eh, i- iya?" Hanin tergagap. Menatap Raffa dengan penuh harap.

"Kamu suka apel?" Hanin ternganga. Heran, kenapa musti bertanya hal yangtidak penting di situasi segenting ini? batinnya.

"Jawab saja, tidak usah heran. Kamu suka apel, nggak?" Raffa kembali bertanya.

"I- iya, suka," jawab Hanin sembari menahan kesal. Apa pria dihadapannya itu tidak tahu kalau sejak tadi ia menahan kesal karena tak segera ditolong?

"Nah, kalau gitu bayangkan saja kalau kamu lagi makan apel," kata Raffa dengan santainya.

"Maksud kamu apa?!" Hanin mendesis lirih. Tatapannya mengiba. Begitu pula dengan Santi

yang gemas dengan sikap Raffa yang aneh.

"Makan apel sama respon saat melihat kecoa. Nanti setelah hitungan ketiga, siap?"

Hanin tersadar. Ia baru bisa menangkap maksud Raffa saat pria itu menatapnya tajam.

"Iya, aku paham!"

Reksa yang tidak paham maksud Raffa hanya mencibir."Bisa- bisanya di saat segenting ini kamu malah menyuruh gadis ini membayangkan makan apel agar tidak takut. Apa kamu sudah gila?"ejeknya dengan seringai tipis dibibirnya.

Raffa tersenyum tipis. Ia tak menanggapi ocehan Raksa, dan lebih fokus pada Hanin.

"Bagus, Mbak. Satu... dua ... tiga! Mulai!" teriaknya.

Hanin melotot. Gegas ia menggigit lengan Reksa sekuat-kuatnya sampai pria itu mengaduh kesakitan. Selanjutnya, ia menginjak kaki Reksa sekuat tenaga sampai pria itu mendorongnya.

"Wanita sialan!"

Reksa bersungut- sungut sambil menatap lengannya yang berdarah akibat gigitan Hanin.

Napas Hanin ngos- ngosan. la lega karena lepas dari sandera pria menakutkan itu. la bertambah lega karena Santi memeluk dan menangkannya.

Sementara itu, tak membuang kesempatan, Raffa menghajar Reksa habis- habisan. Ia memukul

wajah pria itu dengan kepalan tangan tanpa ampun.

"Hentikan, kamu bisa membuatnya mati!" Teriakan Hanin tak digubris oleh Raffa.

Pria itu sepertinya benar- benar mau menghilangkan nyawa Reksa.

"Kamu bisa di penjara! Hentikan!"

Kali ini teriakan Hanin berhasil menghentikan gerakan tangan Raffa. Pria itu menatap dingin wajah babak belur yang tergeletak di lantai. Lalu, kembali menengadahkan tangan meminta kembali apa yang menjadi miliknya.

Reksa meringis, merasakan nyeri, perih dan nyut- nyutan diwajahnya. la perlahan merogoh saku celana dan mengambalikan sebuah cincin kepada Raffa.Tenaganya sudah habis karena Raffa menghajarnya.

Raffa berdecih. "Jika sejak tadi kau berikan cincin ini, takakan wajahmu hancur seperti itu!" tegasnya. Lantas berdiri dan memutar badan, menghampir Hanin yang masih terlihat ketakutan.

"'Apa kamu baik- baik saja?" Hanin terbelalak.

"I- iya ... aku baik- baik saja. Terima kasih atas bantuanmu," sahutnya.

Raffa mengangguk. "Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu sudah membantuku menangkapnya. Kamu pasti merasa takut. Aku minta maaf.

Hanin menggeleng. "Tidak perlu begitu. Aku tadi, tidak sengaja terlibat."

Raffa menarik sudut bibirnya. la melihat ada sedikit goresan dileher Hanin. Namun, tidak menunjukkan luka serius.

"Ikut aku!" ucapnya dengan tatapan yang membuat Hanin merinding.

"Ke- ke mana? Aku mau pulang," jawab Hanin yang merasa gugup. la lantas menoleh ke arah Santi yang juga merasa takut.

"Ke suatu tempat. Ajak saja temanmu ini kalau kamu takut padaku." Suara Raffa terdengar begitu dingin.

Santi mengangguk, memberi isyarat kalau Hanin harus ikut. Melihat bagaimana beringasnya pria itu memukul lawannya, Santi takut kalau membuat pria itu marah. Bisa- bisa mereka yang akan menjadi lawan berikutnya. Hiih ...

Hanin akhirnya menurut. la berjalan bersama Santi mengikuti Raffa ke sebuah pos ronda yang adadi ujung jalan pasar. Entah apa yang mau dilakukan Raffa pada mereka.

Raffa membuka tas pinggangnya dan mencari sesuatu di dalam sana. Setelah menemukan,ia lantas mendekati Hanin dan menyondongkan tubuhnya ke arah wanita itu.

"Eh eh, mau ngapain?!" teriak Santi. Sementara Hanin seperti terpaku dan hanya bisa diam mematung.

Hanin merasakan ada sesuatu yang menempel di lehernya. Bulu kuduknya sempat meremang saat merasakan embusan napas Raffa menyapu kulit belakang kepalanya.Saat Raffa sudah menjauhkan wajahnya, ia meraba leher dan ternyata pria itu menempelkan hansaplast di sana.

"Ada goresan kecil di lehermu akibat pisau pria bajingan itu.Kamu mungkin tidak merasakan perih karena kalah sama rasa takutmu. Tapi, nanti setelah merasa aman, rasa perih di lehermu akan terasa," jelas Raffa tanpa menatap Hanin. Ia malah lebih fokus pada ponsel di genggamannya.

Hanin mengangguk. "Makasih, Mas," ucapnya.

"Hem." Raffa lantas berlalu pergi begitu saja. Tanpa salam atau pamit.

"Dih! Dia nyebelin banget, sih! Bilang salam atau dadah lah menimal kalau mau pergi. Malah main nyelonong pergi gitu aja."Santi ngomel- ngomel melihat sikap Raffa yang menurutnya cuek dan dingin. "Untung aja cakep!" tambahnya diringi oleh kekehan.

Hanin terkekeh pelan. la meraba lehernya lagi. Rasanya ada rasa hangat yang menjalar ke

hatinya. Pria itu memang terkesan cuek dan dingin. Namun, hatinyasangat baik. Bahkan, hal sekecil apapun tak luput dari pandangannya.

"Kita pulang yuk, San!" ajak Hanin.

"Oh, iya. Ayok! Aku takut ibumu marah- marah kalau kamu gak pulang pulang," kelakar Santi.

"Loh, bukannya itu Lisna, ya,Nin?" Santi menghentikan motornya di pinggir jalan. Matanya

memicing saat melihat dua orang berjalan usai turun dari mobil sambil saling merangkul.

"Iya, benar! Itu adikmu, Nin!Aku gak salah lihat!" pekik Santi.

la memakai helm dengan kaca hitam, begitu pula dengan Hanin. Sehingga siapa pun tak bisa meliha wajah mereka.

Hanin pun memicingkan mata. Ya, itu memang adiknya, Lisna.Terlihat dari seragam puskesmas yang dikenakannya. Tapi, kenapa adiknya itu ada di tempat itu? Bukankah ini masih jam kerja?

"Hei, adikmu ngapain masuk kesana? Itu kan penginapan? Hotel kecil lah, ya. He he he," kata Santi." Gak mungkin kan kalau Lisna mau indehoy di sana sama pacarnya,Nin? Aduhh ... pikiranku jadi travelling" kelakarnya.

Hanin bergeming. Ia menggigit bibir bawahnya. "Kita pulang saja, San. Aku mau bicara sama Bapak dan Ibu. Akan aku bicarakan semua ini sama mereka,' pintanya.

"Lah kenapa gak disamperin saja sekarang, Nin? Kita labrak mereka berdua. Gak mungkin kalau mereka gak ngapa- ngapain di dalam sana. Masa iya mau ngopi? Kan masih ada kafe atau warung

pinggir jakan, kan?"

Hanin menghela napas panjang. "Kita pulang saja, Santi," ucapnya lagi.

"Hemm ... baiklah baiklah!"Santi kembali mengemudikan motornya.

Meski sebenarnya ia gemas sekali ingin menemui Lisna dan menggrebek wanita itu. Sikap Lisna yang semena- mena dan mulutnya yang tak bisa dijaga, membuatnya kesal.

"'Aku yakin kalau mereka pasti lagi bercocok tanam, Nin!" Santi masih meracau. "Pria dan wanita kalau udah berduan ketemu ranjang sama bantal dan guling. Udah pasti itu! Yakin aku!" Santi bukannya diam malah menambah-nambahi.

Sementara Hanin yang mendengarnya hanya tersenyum tipis. la merasa lucu mendengar ucapan Santi, namun jujur saja ada rasa cemas yang menyelinap kedalam hati. Jika saja benar ucapan Santi, maka pernikahan Lisna dan Arya harus segera dilaksanakan.

Setibanya di rumah, Hanin bergegas menemui orang tuanya. "Pak, Bu?!" panggilnya. Ternyata, kedua orang tuanya itu sedang ada di halaman belakang, memanen singkong.

"Baru pulang, Nin? Seneng nihh abis jalan- jalan? Udah dapat apa aja?" tanya Bu Daning dengan ketus.

Hanin menghela napas. "Aku gak beli apa- apa, Bu. Niatnya cuman nganterin Santi," jawabnya.

"Pak,Bu, tadi aku lihat Lisna sama pacarnya," ucapnya kemudian.

Kening Bu Daning berkerut dalam. "Lisna sama Arya? Paling mereka ketemuan buat makan siang. Biasanya Arya memang suka jemput Lisna saat siang begini untuk diajak makan di luar," jawabnya.

"Setiap hari?" tanya Hanin, memastikan.

"Iya. Kenapa? Kamu iri sama adikmu?" tebak Bu Daning.

"Enggak sama sekali. Untuk apa aku iri sama Lisna yang mengobral tubuhnya demi bisa menikahi pria kaya, Bu?"

Bu Daning melotot tajam. "Apa maksud ucapanmu itu, Hanin?!" la mulai tersulut emosi.

Pak Abdul mendekat. Penampilannya begitu kotor karena banyaknya tanah yang melekat ditubuhnya.

"Ada apa toh, Nak? Kenapa kamu bilang gitu soal

adikmu? Memangnya kamu ketemu Lisna di mana?" Suaranya lebih lembut dan sikapnya lebih tenang ketimbang istrinya.

"Aku ketemu Lisna dan Arya mau masuk ke hotel, Pak, Bu. Mereka masuk kesana," kata Hanin.

Bu Daning berdiri dan ...

PLAAAK!

Episodes
1 Bab 1 Tidak Adil
2 Bab 2 Lamaran
3 Bab 3 Bertemu Lagi
4 Bab 4 Pria Aneh
5 Bab 5 Pria Menyebalkan
6 Bab 6 Rewang
7 Bab 7 Mendadak Lamaran
8 Bab 8 Digerebek
9 Bab 9 Sah!
10 Bab 10 Makan Siang
11 Bab 11 Paket
12 Bab 12 Gara-Gara Skincare!
13 Bab 13 Identitas Raffa
14 Bab 14 Kekhawatiran Seorang Ayah
15 Bab 15 Jadi Bidan Itu Cape
16 Bab 16 Jarak Yang Terbentang
17 Bab 17 Nafkah Pertama
18 Bab 18 Bertemu Bu Amira
19 Bab 19 Belanja
20 Bab 20 Iri Dengki
21 Bab 21 Kalung Dari Arya
22 Bab 22 Mulai Terbuka
23 Bab 23 Dua Garis Merah
24 Bab 24 Ancaman
25 Ba 25 Nikah Dadakan
26 Bab 26 Seatap
27 Bab 27 Persiapan Pembongkaran Identitas
28 Bab 28 Ternyata Imitasi
29 Bab 29 Black Card
30 Bab 30 Cerita Masa Lalu
31 Bab 31 Aku Imam dan Kamu Makmum!
32 Bab 32 Dipecat
33 Bab 33 Siapa Raffa Sebenarnya?
34 Bab 34 Arya Syok Berat
35 Bab 35 CEO Telah Muncul
36 Bab 36 Keluarga Hanin Syok
37 Bab 37 Bertemu Dengan Pak Brata
38 Bab 38 Penghasut
39 Bab 39 Rencana Menik
40 Bab 40 Malam Yang Tertunda
41 Bab 41 Resign
42 Bab 42 Lisna Akan Dipecat
43 Bab 43 Rahasia Yang Terungkap
44 Bab 44 Hancurnya Hati Lisna
45 Bab 45 Tak Puas
46 Bab 46 Kerinduan Pak Brata
47 Bab 47 Kecemburuan Lisna
48 Bab 48 Langkah Awal Pak Brata
49 Bab 49 Penggrebekkan
50 Bab 50 Sakit
51 Bab 51 Awal Kehancuran
52 Bab 52 Hancur
53 Bab 53 Kerja Paksa
54 Bab 54 Pergi
55 Bab 55 Permintaan Maaf
56 Bab 56 Diusir
57 Bab 57 Melahirkan
58 BAB 58 Viral
59 Bab 59 Sebuah Ancaman
60 Bab 60 Mulai Beraksi
61 Bab 61 Kebebasan Menik
62 Bab 62 Penyesalan Arya
63 Bab 63 Tertangkap
64 Bab 64 Obsesi Arya
65 Bab 65 Teman Lapas
66 Bab 66 Ular Kecil
67 Bab 67 Keputusan Nafha
68 Bab 68 Viral Lagi
69 Bab 69 Perubahan Arya
70 Bab 70 Kehidupan Lisna
71 Bab 71 Kejutan Untuk Bumil
72 Bab 72 Candra
73 Bab 73 Berdamai Dengan Masalalu
74 Bab 74 Keponakanku
75 Bab 75 Lisna Baru Tahu
76 Bab 76 Suka
77 Bab 77 Kunjungan
78 Bab 78 Hanin Pengusaha Sukses
79 Bab 79 Rasa Iri Yang Masih Ada
80 Bab 80 Kesempatan Kedua
81 Bab 81 Lamaram
82 Bab 82 Perjuangan Aris
83 Bab 83 Benteng Yang Mulai Runtuh
Episodes

Updated 83 Episodes

1
Bab 1 Tidak Adil
2
Bab 2 Lamaran
3
Bab 3 Bertemu Lagi
4
Bab 4 Pria Aneh
5
Bab 5 Pria Menyebalkan
6
Bab 6 Rewang
7
Bab 7 Mendadak Lamaran
8
Bab 8 Digerebek
9
Bab 9 Sah!
10
Bab 10 Makan Siang
11
Bab 11 Paket
12
Bab 12 Gara-Gara Skincare!
13
Bab 13 Identitas Raffa
14
Bab 14 Kekhawatiran Seorang Ayah
15
Bab 15 Jadi Bidan Itu Cape
16
Bab 16 Jarak Yang Terbentang
17
Bab 17 Nafkah Pertama
18
Bab 18 Bertemu Bu Amira
19
Bab 19 Belanja
20
Bab 20 Iri Dengki
21
Bab 21 Kalung Dari Arya
22
Bab 22 Mulai Terbuka
23
Bab 23 Dua Garis Merah
24
Bab 24 Ancaman
25
Ba 25 Nikah Dadakan
26
Bab 26 Seatap
27
Bab 27 Persiapan Pembongkaran Identitas
28
Bab 28 Ternyata Imitasi
29
Bab 29 Black Card
30
Bab 30 Cerita Masa Lalu
31
Bab 31 Aku Imam dan Kamu Makmum!
32
Bab 32 Dipecat
33
Bab 33 Siapa Raffa Sebenarnya?
34
Bab 34 Arya Syok Berat
35
Bab 35 CEO Telah Muncul
36
Bab 36 Keluarga Hanin Syok
37
Bab 37 Bertemu Dengan Pak Brata
38
Bab 38 Penghasut
39
Bab 39 Rencana Menik
40
Bab 40 Malam Yang Tertunda
41
Bab 41 Resign
42
Bab 42 Lisna Akan Dipecat
43
Bab 43 Rahasia Yang Terungkap
44
Bab 44 Hancurnya Hati Lisna
45
Bab 45 Tak Puas
46
Bab 46 Kerinduan Pak Brata
47
Bab 47 Kecemburuan Lisna
48
Bab 48 Langkah Awal Pak Brata
49
Bab 49 Penggrebekkan
50
Bab 50 Sakit
51
Bab 51 Awal Kehancuran
52
Bab 52 Hancur
53
Bab 53 Kerja Paksa
54
Bab 54 Pergi
55
Bab 55 Permintaan Maaf
56
Bab 56 Diusir
57
Bab 57 Melahirkan
58
BAB 58 Viral
59
Bab 59 Sebuah Ancaman
60
Bab 60 Mulai Beraksi
61
Bab 61 Kebebasan Menik
62
Bab 62 Penyesalan Arya
63
Bab 63 Tertangkap
64
Bab 64 Obsesi Arya
65
Bab 65 Teman Lapas
66
Bab 66 Ular Kecil
67
Bab 67 Keputusan Nafha
68
Bab 68 Viral Lagi
69
Bab 69 Perubahan Arya
70
Bab 70 Kehidupan Lisna
71
Bab 71 Kejutan Untuk Bumil
72
Bab 72 Candra
73
Bab 73 Berdamai Dengan Masalalu
74
Bab 74 Keponakanku
75
Bab 75 Lisna Baru Tahu
76
Bab 76 Suka
77
Bab 77 Kunjungan
78
Bab 78 Hanin Pengusaha Sukses
79
Bab 79 Rasa Iri Yang Masih Ada
80
Bab 80 Kesempatan Kedua
81
Bab 81 Lamaram
82
Bab 82 Perjuangan Aris
83
Bab 83 Benteng Yang Mulai Runtuh

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!