Pertemuan yang Tertunda

"Jadi, bagaimana? Lamaran anak saya diterima, ya?"

Aku termangu. Benarkah aku sedang dilamar saat ini?

Aku yang terpaku di antara mama dan papa. Aku hanya bisa menatap nanar kebingungan. Mama mengejutkanku saat beliau mencubit pahaku pelan, lalu aku menatap beliau sebagai pertimbangan jawaban apa yang akan aku berikan. Tatapan menghujam dari mama membuatku pada akhirnya pun mengangguk.

Ya, benar. Aku menerima lamaran itu.

Di ruang guru, aku duduk dengan hati yang bimbang. Mataku tertuju pada jemariku yang sedang memutar-mutarkan benda berkilau di jari manis sebagai pengikat yang menjadi penanda bahwa aku menjadi kandidat resmi calon menantu bu Galih.

Entah mengapa aku merasa semua ini berjalan seperti mimpi dan begitu cepat kejadiannya terjadi begitu saja.

Apakah sudah tepat atau belum keputusan yang kuambil saat ini, aku tidak tahu. Tapi pada kenyataannya, cincin emas berkilau permata ini benar-benar sudah melingkar di jari manisku setelah bu Galih memasangkannya kemarin.

Secepat itu Allah mendatangkan seseorang untuk melamarku. Kemarin masih ditanya, sekarang sudah dilamar.

"Bu Dita?"

"Bu? ... Bu?" terasa sesuatu menggoyangkan lenganku, lalu menepuk-nepuk bahuku.

"Eh, iya, Vik?"

Vika melongo di sisiku entah sejak kapan dia datang, alisnya berkerut menatapku intens. Dia ikut terkejut saat melihatku terkejut sebab ia menepuk bahuku yang semula sedang berpikir keras bagaimana bisa aku menjadi seorang tunangan dalam sekelebetan waktu. Aku buru-buru menyimpan tanganku di bawah meja.

"Bu Dita sedang melamun?" tanyanya.

Aku meraup wajahku. "Ouh, gak. Kenapa, Vik?"

"Bu, tahu tidak? Kemarin saat ibu buru-buru pulang, beberapa orang datang kemari. Mereka dari perusahaan yang menawarkan menjadi donatur sekolah kita," ujar Vika.

"Benarkah? Mau apa?"

"Iya, mau survei katanya. Benar atau tidak sekolah kita ada. Dua orang pria. Mereka bertanya soal ibu, maksudnya, mereka bertanya dimana pimpinannya? Mereka ingin bertemu dengan ibu, tapi aku jawab jika ibu sudah pulang karena sedang ada urusan penting."

"Lalu, bagaimana Vik?"

"Ya, saya katakan jika kita mau ke kantor menerima undangan presentasi program dan karena bu Dita punya pertanyaan lebih lanjut sebelum deal dengan penawaran itu," terang Dita membuatku lega.

"Oh, ya benar begitu saja. Terima kasih, ya, kamu sudah banyak membantu."

Vika juga mengingatkan, ia menerima pesan reminding dari perusahaan yang akan menjadi donatur. Aku bahkan hampir terlupa, agenda pertemuannya besok pagi, tetapi seharusnya sore ini kita sudah harus berangkat karena perjalanannya cukup jauh di luar kota sehingga membutuhkan banyak waktu untuk sampai di sana tepat waktu.

"Hampir, Lupa, Vik. Sore ini kita berangkat, ya?"

Untunglah, Vika bersedia meski aku mengajaknya secara dadakan. Rencana menggunakan transport darat, yakni bus. Aku memesan tiket untuk dua orang sekaligus, sekalian untuk perjalanan pulang pergi. Keperluan berkas dan media presentasi program disiapkan secara mendadak juga. Kami hectic hari ini.

Semua beres di waktu 4 sore, aku kembali ke rumah untuk mengemas beberapa helai pakaian yang pantas untuk berpresentasi besok.

Aku yang sudah menggendong tas ransel keluar dari kamar. Menemui mama yang kebetulan ada di ruang tengah. Hanya ada mama di rumah, mama menatapku heran dan kebingungan saat aku terlihat gelisah, berlarian kecil, dan buru-buru sementara membawa tas punggung dan berkas yang kucangking di tangan.

"Mau kemana, Dit?"

"Ma, Dita mau ke kota sore ini juga."

"Ehhh. Mau ngapain?"

"Besok ada pertemuan sama donatur," jawabku.

"Eh, tapi tadi bu Galih bilang anaknya mau ketemuan sama kamu sore ini."

Aku menggaruk kepalaku. "Aduuuh, belum bisa, Ma. Ini Dita udah mendesak banget, nih. Busnya berangkat sebentar lagi, besok pagi udah harus presentasi. Udah ada janji, maaf gak bisa."

"Yah, gimana dong. Mama gak enak, anaknya bu Galih udah...."

"Iya, nanti Dita atur waktu lagi setelah beres sama urusan ini. Udah ya Ma, Dita berangkat dulu. Nanti tolong bilangan papa, Dita lagi ke kota. Assalamualaikum, Ma." Aku mencium mama, lalu pergi begitu saja. Ojek pesananku telah menunggu di halaman rumah untuk mengantarkanku ke terminal bus AKAP.

Vika memberi kabar jika dirinya sudah sampai di lokasi, bahkan dia sudah berada di dalam bus dan bus akan segera berangkat. Semau apapun aku meminta pada pengemudi ojek untuk melaju lebih cepat, tetapi waktu pun terus berjalan. Rasa-rasanya aku akan tertinggal bus karena masih setengah perjalanan untuk tiba di terminal.

Sesampainya di terminal yang besar itu, aku berkeliling mencari Vika yang tidak tahu lokasi pastinya di berada di dalam bus yang mana.

"Bu Dita!" Di tengah pencarianku, ia berteriak kencang seraya melambaikan tangan dari dalam bus ketika bus sudah berada di pintu keluar terminal.

"Bu, di sini!"

"Pak, pak, berhenti sebentar, Pak!" teriakku sembari berlari mengejak bus, membuat bus terpaksa berhenti dan mempersilakanku masuk.

"Alhamdulillah. Untung kamu melihatku."

"Syukurlah, Bu. Saya kira ibu sudah berangkat duluan," balas Vika.

Akhirnya aku bisa duduk dengan tenang dengan bus yang sesuai. Kuhela napas berulang kali setelah lelah berlari kesana kemari memutari terminal yang baru pertama kali aku sambangi untuk bepergian ke luar kota ini.

Mataku terpejam, tubuhku bersandar pada kursi empuk bus ekonomi patas ini.

Ting. Notifikasi sebuah pesan masuk dari nomor seseorang yang tidak dikenal.

"Sore, saya Elham. Bisa kita bertemu malam ini?"

Jantungku seakan mencelos membaca pesan tersebut. Elham, bukankah itu nama yang bu Galih sebut kemarin?

Cukup lama aku mendikte satu per satu huruf untuk menjawab pesan darinya. Sejam berlalu setelah pesan terbaca, aku membalasnya.

"Sore. Maaf, Mas Elham. Saya sedang ada di luar kota saat ini, bisa direncakan lain hari?"

Beberapa menit kemudian, dia kembali membalas. "Kapan kamu kembali?"

"Besok sore sampai rumah."

"Maaf, besok siang saya sudah harus flight ke USA."

Aku mendengus. Harusnya ini akan menjadi pertemuan pertama kami karena sejak aku dilamar, belum pernah sekali pun aku tahu bagaimana wajahnya. Bahkan saat menjadi tetangganya pun, aku jarang melihat yang mana dari anaknya bu Galih yang bernama Elham itu. Mereka jarang berinteraksi dengan tetangga sekitar karena rumahnya yang berpagar sangat tinggi dan besar menjadi sekat pembatas antara mereka dengan orang-orang kompleks, kecuali bu Galih yang aktif mengikuti acara sosialita arisan ibu-ibu kompleks karena beliaulah yang paling disegani di lingkungan ibu-ibu kompleks.

"Baiklah, kalau begitu di lain waktu saja, Mas. Maaf, saya tidak bisa hari ini."

Episodes
1 Perawan Tua
2 Benar Dijodohkan
3 Pertemuan yang Tertunda
4 Bertemu Kakak Kelas
5 Rencana Pernikahan
6 Pertemuan Pertama
7 Pedekate
8 Curhat ke Moon
9 Perpisahan Tak Terduga
10 Menikah
11 Menjadi Keluarga Bu Galih
12 Prioritas
13 Bareng Devy
14 Perbincangan Singkat
15 Pertemuan Terakhir
16 Rencana Lain
17 Aroma Kopi
18 Sekian Purnama
19 Pesan Mama
20 Kebohongan Kecil
21 Beda Kasta
22 Menemukan Sesuatu
23 Camping
24 Ketahuan
25 Dua Pilihan
26 Pameran Seni
27 Claire
28 Postingan Viral
29 Anastasia
30 Sebuah Pertanyaan
31 Bagaikan Bunga
32 Sebuah Lukisan Bermakna
33 CIIS
34 Dia Lebih Baik
35 Bercerai
36 Masalah Baru
37 Sisa Rasa
38 Nasib Siswa CIIS
39 Kedatangan Mama Galih
40 Semua Orang Tahu
41 Tragedi
42 Pasca Kecelakaan
43 Sang Pawang
44 Kedatangan
45 Kabar Berita
46 Kenyataan
47 Hampir Gila
48 Ikut Claire
49 Pulang
50 Tujuh Bulanan
51 Permintaan Maaf
52 Yang Tak Kumengerti
53 Mekka Medina
54 Alasan Resign
55 Rumah Baru
56 Perkara
57 Mereka Saling Mengenal
58 Tak Berharap Lebih
59 Quince
60 Baby Blues
61 Tak Memaksa Tinggal
62 Welcoming Party
63 Welcoming Party 2
64 Proposal Pameran Seni
65 Disetujui
66 Tampil Berbeda
67 Disulap Make-Up
68 Kabar Buruk
69 Akhir Cerita
70 Permintaan Pertama dan Terakhir
71 Lalai
72 Komunikasi Tanpa Emosi
73 Setelah Berpisah
74 Pertunjukan
75 Golden Art Fair
76 Di Bawah Menara Eiffel
77 Bertemu Magda
78 Pertimbangan
79 Mengundurkan Diri
80 Sebulan Setelah Resign
81 Melepaskan Diri
82 Persidangan
83 Kesaksian di Meja Hijau
84 Terungkap
85 Kabar Duka
86 Disekap
87 Akhir Pertarungan
88 Akhirnya
89 Pertemuan kembali
90 Pengisi Acara Seminar (Bonus Chapter)
Episodes

Updated 90 Episodes

1
Perawan Tua
2
Benar Dijodohkan
3
Pertemuan yang Tertunda
4
Bertemu Kakak Kelas
5
Rencana Pernikahan
6
Pertemuan Pertama
7
Pedekate
8
Curhat ke Moon
9
Perpisahan Tak Terduga
10
Menikah
11
Menjadi Keluarga Bu Galih
12
Prioritas
13
Bareng Devy
14
Perbincangan Singkat
15
Pertemuan Terakhir
16
Rencana Lain
17
Aroma Kopi
18
Sekian Purnama
19
Pesan Mama
20
Kebohongan Kecil
21
Beda Kasta
22
Menemukan Sesuatu
23
Camping
24
Ketahuan
25
Dua Pilihan
26
Pameran Seni
27
Claire
28
Postingan Viral
29
Anastasia
30
Sebuah Pertanyaan
31
Bagaikan Bunga
32
Sebuah Lukisan Bermakna
33
CIIS
34
Dia Lebih Baik
35
Bercerai
36
Masalah Baru
37
Sisa Rasa
38
Nasib Siswa CIIS
39
Kedatangan Mama Galih
40
Semua Orang Tahu
41
Tragedi
42
Pasca Kecelakaan
43
Sang Pawang
44
Kedatangan
45
Kabar Berita
46
Kenyataan
47
Hampir Gila
48
Ikut Claire
49
Pulang
50
Tujuh Bulanan
51
Permintaan Maaf
52
Yang Tak Kumengerti
53
Mekka Medina
54
Alasan Resign
55
Rumah Baru
56
Perkara
57
Mereka Saling Mengenal
58
Tak Berharap Lebih
59
Quince
60
Baby Blues
61
Tak Memaksa Tinggal
62
Welcoming Party
63
Welcoming Party 2
64
Proposal Pameran Seni
65
Disetujui
66
Tampil Berbeda
67
Disulap Make-Up
68
Kabar Buruk
69
Akhir Cerita
70
Permintaan Pertama dan Terakhir
71
Lalai
72
Komunikasi Tanpa Emosi
73
Setelah Berpisah
74
Pertunjukan
75
Golden Art Fair
76
Di Bawah Menara Eiffel
77
Bertemu Magda
78
Pertimbangan
79
Mengundurkan Diri
80
Sebulan Setelah Resign
81
Melepaskan Diri
82
Persidangan
83
Kesaksian di Meja Hijau
84
Terungkap
85
Kabar Duka
86
Disekap
87
Akhir Pertarungan
88
Akhirnya
89
Pertemuan kembali
90
Pengisi Acara Seminar (Bonus Chapter)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!