[S1] LILAC DI JENDELA | Jirosé (END)
Bab 2 – Ruang yang Tak Lagi Sepi
Sudah tiga hari sejak Rose pertama kali masuk ke ruang latihan itu. Tiga hari pula ia menyaksikan sisi Park Jimin yang tak pernah ia bayangkan. Ia tak hanya mendengar suaranya—ia melihat keraguan, kelelahan, dan… kesepian di balik setiap nada yang keluar dari piano tua itu.
Setiap pagi, ia datang lebih awal dari seharusnya. Bukan karena diminta, tapi karena ia mulai menyukai keheningan sebelum musik dimulai. Dan hari ini, seperti biasa, ia berdiri di dekat jendela, merapikan kelopak lilac yang mulai layu.
Pintu terbuka. Langkah yang familiar masuk. Jimin.
Rose menoleh, tersenyum pelan. Jimin membalas dengan anggukan kecil, lalu meletakkan tasnya di sofa.
Park Jimin
Pagi ini kamu datang lebih cepat dari matahari.
Roseanne Park
(tidak langsung menoleh)
Matahari kadang terlambat. Lilac nggak bisa nunggu.
Park Jimin
(tersenyum tipis)
Kamu selalu punya alasan puitis untuk bunga.
Roseanne Park
(berbalik, pelan)
Bunga nggak bisa bicara, tapi mereka tetap bisa mengungkapkan sesuatu. Sama seperti musik.
Park Jimin
(terdiam sejenak, lalu menatapnya)
Kamu selalu bisa menemukan analogi yang tepat.
Roseanne Park
(tersipu, lalu mengganti topik) Kamu mau teh seperti kemarin?
Park Jimin
Kalau kamu yang buat, iya.
Rose tertawa pelan, lalu berjalan ke termos kecil yang ia bawa dari rumah.
Sementara Rose menyiapkan teh, Jimin duduk di depan piano. Tangannya menyentuh tuts, tapi tidak langsung bermain. Pandangannya jatuh pada lilac yang sekarang ada di vas kristal kecil—ia perhatikan, Rose selalu mengganti bunga tiap hari.
Nada pertama akhirnya terdengar. Lembut. Melodi yang belum selesai, seolah masih mencari arah.
Rose menghampiri, meletakkan cangkir di atas meja kecil dekat piano. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk di karpet, memperhatikan dengan tenang.
Dan entah kenapa, kehadirannya justru membuat ruangan itu tidak lagi terasa hampa.
Park Jimin
(kepalanya masih menghadap piano)
Kamu tahu? Studio ini dulu paling aku benci.
Roseanne Park
(terkejut)
Padahal ruangan ini tenang sekali.
Park Jimin
Itu dia masalahnya. Terlalu tenang. Sunyi itu kadang bisa bikin orang merasa kosong.
Roseanne Park
(suara lembut)
Tapi kalau sunyinya dibagi berdua…mungkin jadi nggak terlalu kosong.
Park Jimin
(berhenti bermain. Menoleh perlahan.)
Kamu... selalu tahu harus bilang apa ya?
Roseanne Park
(tersenyum pelan, lalu menunduk)
Kadang nggak harus tahu. Cuma ikut ngerasain aja.
Jimin tidak menjawab. Tapi senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya cukup untuk membuat Rose tahu: dia tidak sendiri lagi di ruang sunyi itu.
Namun, di luar ruangan itu, ada langkah lain yang terus mengawasi. Langkah yang mengenal Jimin lebih lama dari siapa pun. Dan langkah itu kini berhenti di balik pintu studio, tangan sudah menggenggam gagangnya.
Minji.
---
Bersambung
Comments