"Wa'alaikumsalam," kata Syifa pelan. Buru-buru dia menundukkan kepalanya dan perlahan menggeser tempat duduknya, menciptakan jarak antara mereka.
Sadewa mengulurkan tangannya ke arah Syifa untuk memperkenalkan dirinya. "Namaku Sadewa. Nama kamu Syifa kan?"
Syifa menatap tangan yang terulur itu selama beberapa detik, lalu kembali menundukkan pandangannya tanpa sedikit pun berniat membalas uluran tangan itu.
Sadewa menarik kembali tangannya perlahan, namun senyumnya tidak luntur. Dia tahu, pasti akan sulit mendekati Syifa selain dengan ikatan yang halal.
Sadewa akhirnya duduk di samping Syifa, meski tetap menjaga jarak yang cukup jauh di antara mereka.
“Jika kamu tidak ingin melakukan keinginan mereka, kamu berhak menentangnya," kata Sadewa.
Syifa tetap diam, tangannya menggenggam erat ujung kerudungnya. Matanya menatap ke arah langit yang mulai berubah jingga. Akhirnya, dia berbisik pelan tanpa menoleh sedikitpun pada Sadewa. “Saya tidak punya hak apa pun untuk menentang. Saya harus taat pada Paman dan Bibi.”
Sadewa menatapnya dalam diam. Sekarang dia mengerti, Syifa tinggal bersama paman dan bibinya. Orang-orang yang menganggapnya sebagai beban dan merasa berhak menentukan masa depannya.
“Apa kamu rela melakukan semuanya?” tanya Sadewa, mencoba mencari celah dalam pertahanannya.
Syifa menutup matanya sejenak, seolah sedang menahan sesuatu di dalam hatinya. “Saya tidak punya pilihan lain.”
Sadewa mengepalkan tangannya di atas lututnya. Dia tahu rasanya tidak memiliki pilihan. Dia tahu rasanya dipaksa menjalani hidup yang tidak diinginkan. Tapi, dia juga tahu bahwa selalu ada jalan lain, hanya saja, tidak semua orang berani mengambilnya.
“Selalu ada pilihan. Kamu harus mengatakannya, bahwa kamu tidak menginginkannya."
Syifa menggeleng pelan. “Tidak semua orang sekuat itu. Mengapa Anda bertanya seperti itu? Apa Anda tahu sesuatu?”
Sadewa menatapnya lebih lama. Dia semakin merasa bersalah. Apa yang dialami Syifa saat ini pasti dampak dari kecelakaan 12 tahun yang lalu. Dia ingin sekali mengubah hidup Syifa. Tapi, dia tidak bisa jika tidak membawa Syifa pergi dari tempat itu.
“Iya, aku tahu sesuatu jadi menikahlah denganku," kata Sadewa tiba-tiba.
Syifa tersentak. Dia menoleh dengan mata membulat, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Apa?”
Sadewa tetap tenang, menatapnya dengan penuh keyakinan. “Menikahlah denganku, Syifa."
Syifa mengerjap beberapa kali, berusaha mencari tanda-tanda bahwa pria di depannya hanya sedang bercanda. Tapi tatapan Sadewa tidak menunjukkan keraguan.
“Tapi … kita bahkan tidak saling mengenal," kata Syifa dengan ragu.
Sadewa menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. Wajah Sadewa masih terlihat tampan meskipun sudah berumur 30 tahun. Badan tegak tinggi dan berotot, membuat wanita manapun pasti jatuh hati padanya. Tapi entah dengan Syifa. Apa dia lolos dari pesona mantan mafia itu. “Ya, kita belum saling mengenal. Tapi aku tidak ingin melihatmu terjebak dalam pernikahan yang tidak kamu inginkan.”
Syifa menatap Sadewa lebih lama, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik tawarannya. “Anda tahu darimana?"
"Aku mendengarnya barusan."
"Lalu Anda tersentuh dengan kisah hidup saya?” tanyanya, masih tidak percaya. “Apa maksud Anda tiba-tiba mengajak menikah? Apa Anda seorang pria hidung belang?"
Sadewa tertawa mendengar tuduhan Syifa. "Selama 30 tahun aku hidup, aku tidak punya kekasih. Setelah melihat kamu, aku merasa yakin jika kamulah jodohku. Aku juga ingin memberimu kebebasan. Dengan menikah denganku, kamu tidak perlu menerima pernikahan yang dipaksakan. Aku tidak akan mengekangmu dan aku juga tidak akan mengatur hidupmu. Aku hanya ingin kamu punya pilihan yang bisa membuatmu bahagia. Kamu bisa mendapat semua yang kamu inginkan jika bersamaku.”
Syifa terdiam. Kata-kata itu menampar sesuatu dalam dirinya dan membuat hatinya bergetar. Dia tidak pernah berpikir ada seseorang yang peduli padanya, apalagi seseorang yang tidak dikenalnya.
“Tapi ini tidak masuk akal. Kita baru saja saling kenal," gumam Syifa.
Sadewa tersenyum kecil. "Siapa tahu, akulah jawaban dari setiap doamu."
Syifa menundukkan kepala, menggenggam jemarinya sendiri dengan erat. Hatinya bergetar, tak percaya dengan apa yang baru saja Sadewa katakan. Tawaran menikah darinya saja sudah cukup mengejutkan, tapi lagi-lagi dia merasa minder dengan keadaannya.
"Tapi, saya cacat," ucap Syifa pelan, nyaris seperti bisikan. "Saya tidak pantas untuk siapa pun, apalagi untuk Anda."
Sadewa menatapnya dengan lekat, tak sedikit pun terguncang oleh pengakuan itu. Alih-alih menunjukkan rasa kasihan, bibirnya justru melengkung dalam senyuman kecil yang sulit diartikan.
"Lalu kenapa?" katanya tenang. "Kalau kamu merasa tidak sempurna, maka aku akan menyempurnakanmu. Justru, aku yang merasa buruk di samping kamu. Aku tidak ahli agama seperti kamu. Kelak, jika kamu menjadi istriku, aku ingin kamu membawaku ke jalan yang lebih terang."
Syifa mengangkat wajah, matanya yang bening menatap Sadewa. "Anda pasti hanya bercanda."
Sadewa menyandarkan tubuhnya sedikit ke belakang, mengamati Syifa dengan tatapan penuh arti. "Tidak. Aku serius. Syifa, aku punya segalanya, tapi satu yang belum kumiliki..." Dia berhenti sejenak, menatap lurus ke mata Syifa sebelum melanjutkan dengan nada menggoda, "...seorang istri."
Buru-buru Syifa mengalihkan pandangannya, tak ingin pria di sampingnya melihat rona malu yang merayap di pipinya.
"Anda sangat pandai bercanda..."
"Aku tidak bercanda," balas Sadewa cepat. "Aku serius, Syifa. Jika kamu menikah denganku, kamu tak perlu merasa tak pantas untuk siapa pun. Kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri, dan aku akan selalu ada di sisimu."
Syifa hanya terdiam. "Sudah saya bilang, saya cacat. Saya tidak bisa mendengar apapun tanpa bantuan alat. Saya tidak mau Anda menyesal di kemudian hari karena telah menikahi saya."
Sadewa mendengar semua perkataan Syifa dengan tenang. Dia tahu, selalu ada peluang baginya dalam hal apapun. "Kapan hari pernikahan kamu?"
Syifa terdiam sesaat. "Satu minggu lagi."
Sadewa mengangguk. "Baik, satu minggu lagi. Jika kamu setuju, aku akan menunggumu di taman ini dan menggantikan mempelai pria itu."
Syifa tersentak, menatapnya penuh keterkejutan. "Apa?"
"Aku tidak main-main, Syifa," kata Sadewa lagi. "Jika kamu benar-benar ingin bebas, aku akan memberimu kebebasan itu. Aku akan menikahimu, dan aku tidak takut pada siapa pun. Termasuk pamanmu atau pria yang akan menikahimu."
"Anda tidak tahu siapa mereka. Mereka bukan orang biasa. Mereka bisa melakukan apa saja untuk mempertahankan keinginan mereka."
"Tidak masalah," Sadewa tersenyum tipis. "Aku juga bukan orang biasa, Syifa. Aku tahu apa yang aku inginkan, dan aku tahu bagaimana mendapatkannya."
Syifa terdiam. Hatinya berkecamuk antara ragu dan harapan yang entah sejak kapan mulai tumbuh. Dia merasa, Sadewa benar-benar aneh. Tiba-tiba datang dan mengajaknya menikah. Tapi entah mengapa, saat berada di dekatnya, Syifa merasa aman. Rasa aman yang sudah lama tidak dia rasakan.
"Kamu ingat, aku akan menunggumu di sini," ulang Sadewa. "Satu minggu lagi. Aku yakin, kamu akan menemuiku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Maulana ya_Rohman
mampir di sini thor....
2025-04-14
0
Maulana ya_Rohman
mampir di sini thor....
2025-04-14
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar🦉
betul 👍
2025-04-14
0