Empat tahun berlalu sejak malam itu, ketika ayahnya menghembuskan napas terakhir dan memberinya kebebasan dari dunia gelap.
Kini, Sadewa bukan lagi pria yang namanya ditakuti di dunia hitam. Dia adalah CEO Radema Foods, perusahaan makanan instan yang berkembang pesat dalam waktu singkat. Produk-produknya mulai merajai pasar, dikenal karena kualitas dan inovasi yang terus dikembangkan.
Namun, perjalanan menuju titik ini tidaklah mudah. Dia melepas semua yang pernah melekat padanya—kekuasaan, kekayaan dari bisnis gelap, dan pengaruh yang diwariskan ayahnya. Banyak yang menertawakannya, termasuk para mantan sekutunya yang menganggapnya bodoh karena meninggalkan dunia yang memberi kemewahan tanpa batas.
Yang paling menentangnya adalah Nayara, kakak perempuannya dari istri sah Martin.
“Kamu pikir bisa hidup tanpa semua ini?” kata Nayara dengan tatapan tajam saat mereka bertemu di rumah keluarga. “Kamu menyerahkan hampir seluruh warisan ayah kepadaku, lalu memilih jalan yang penuh kesulitan. Kamu hanya buang-buang waktu.”
Sadewa hanya tersenyum tipis. “Aku hanya ingin menjalani kehidupanku sendiri.”
“Apa kamu pikir dunia akan membiarkanmu begitu saja?” Nayara tertawa sinis. “Orang-orang di dunia hitam tidak akan berhenti sampai kamu kembali. Mereka tidak akan membiarkan ‘pewaris Martin’ keluar begitu saja.”
“Terserah mereka.” Sadewa berdiri, menatap kakaknya dengan tenang. “Aku sudah memilih jalanku. Jika ada yang ingin menghancurkanku, mereka harus berhadapan denganku … tapi kali ini, bukan sebagai anak mafia, melainkan sebagai seorang pebisnis dan aku akan terus mencari uang yang halal.”
Nayara mendengus. “Kita lihat saja sejauh mana kamu bisa bertahan. Jangan sampai kamu kembali dan memohon pertolonganku."
Namun, bertahun-tahun setelahnya, Sadewa membuktikan dirinya.
Perusahaannya berkembang pesat, membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang, termasuk beberapa anak buah ayahnya yang memilih bertobat dan mengubah hidup mereka.
Dunia gelap yang dulu membelenggunya mungkin masih mengintai dari kejauhan, tapi tak akan pernah kembali. Dia telah menemukan jalannya sendiri. Jalan yang memang tidak mudah tapi jauh lebih berarti.
Sadewa kini duduk di kursi kebesarannya, menghadap jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di bawah sana dengan arus kendaraan yang padat di hari yang hampir sore itu. Tapi, semua itu tak mampu mengalihkan pikirannya dari satu kenangan yang terus menghantuinya selama 12 tahun terakhir. Ya, sebuah kecelakaan yang terjadi saat dia dikejar anak buah ayahnya.
Dia mengangkat secangkir kopi yang mulai mendingin, namun tak juga menyesapnya. Dia mengingatnya lagi, masih ingat jelas bagaimana tubuhnya gemetar saat melihat mobil itu terguling, bagaimana dia terpaku menatap seorang gadis berkerudung bunga dengan wajah penuh darah yang menatapnya sesaat sebelum kedua matanya terpejam. Sejak malam itu, rasa bersalah menjadi bayangan kelam yang selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi.
Selama bertahun-tahun, dia berusaha mengubur ingatan itu. Namun, semakin dia mencoba melupakan, semakin kenangan itu menghantui. Hingga akhirnya, satu tahun lalu, dia memerintahkan Hendri, asisten sekaligus orang kepercayaannya untuk mencari tahu apa yang terjadi pada gadis itu.
"Tuan, saya akhirnya mendapatkan informasi tentang gadis itu," ujar Hendri saat memasuki ruangan sambil membawa sebuah map cokelat yang tampak sudah lecek karena sering dibuka.
Sadewa menatap map itu dengan perasaan bercampur aduk. Kemudian dia membukanya. Beberapa lembar dokumen dan foto ada di dalamnya. Salah satu foto menunjukkan seorang wanita berkerudung tersenyum lembut di tengah anak-anak kecil yang mengerumuninya.
"Namanya Syifa," kata Hendri. "Dia kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan itu. Sekarang dia tinggal di dekat Pondok Pesantren Hidayah. Sejak kecelakaan itu, dia kehilangan pendengarannya sehingga harus selalu menggunakan alat bantu."
Sadewa terdiam. Dia membaca berulang kali kalimat terakhir itu. Kehilangan pendengaran? Dia menutup mata, merasakan sakit yang menusuk dadanya. Jika saja dia tidak berada di jalan malam itu, jika saja mobil itu tidak harus menghindarinya, mungkin Syifa tidak akan kehilangan begitu banyak hal dalam hidupnya.
"Bagaimana kehidupannya sekarang?" tanya Sadewa.
"Dari informasi yang saya dapat, dia mengabdikan hidupnya untuk mengajar anak-anak di pondok pesantren. Dia tampak bahagia, meskipun dia sering disiksa oleh paman dan bibinya karena mereka ingin menguasai harta Syifa."
Sadewa mencengkeram map itu erat. Perasaan bersalah semakin menghimpitnya. Selama ini, dia hidup dengan limpahan harta, membangun bisnis dari kegelapan menuju terang, sementara Syifa kehilangan segalanya. Bagaimana mungkin dia bisa berdamai dengan dirinya sendiri jika gadis itu terus hidup dalam kesulitan akibat kesalahannya?
"Siapkan mobil. Kita pergi ke pondok pesantren itu," kata Sadewa akhirnya.
Hendri tampak terkejut. "Tuan ingin menemui Syifa?"
"Iya, aku harus memastikan hidupnya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar🦉
good job 👍
2025-04-14
0