Andai saja saat itu Elena tidak bertemu— tidak, mungkin sejak awal Elena seharusnya tidak pergi.
...★----------------★...
Sesampainya mereka di kota, gerobak barang itu di parkirkan di dekat gerbang. Suasana kota begitu ramai walau ini hanya salah satu kota yang berada di pinggiran. Namun, kota di pinggiran saja sudah seramai ini. Bagaimana dengan kota di ibu kota? Memikirkannya saja membuat kepala Elena pusing.
"Kalian akan kemana?" tanya paman Geroge.
"Aku akan melihat-lihat di toko senjata!"
"Aku ingin membeli buku selagi uangku ada."
"Aku akan ke toko obat."
Berbagai tujuan di lontarkan dari tiga anak disana. Paman George hanya mengangguk dan kembali berkata, "Kembalilah ketika lonceng itu berbunyi." Sembari menunjuk ke arah lonceng yang tergantung di atas menara tinggi.
Setelah itu mereka semua berpencar. Paman George sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengekspor barang desa ke kota, mengangkut berbagai panen dari desa. Sedangkan Elena pergi bersama Mega terlebih dahulu.
"Buku apa yang ingin kau cari Mega?"
"Aku berencana membeli buku sejarah kekaisaran."
Mendengar hal itu Elena dibuat melongo. Padahal Mega lebih muda satu tahun dari Elena namun ia membaca buku seperti itu?
Sejak Mega belajar huruf dari Elena, dimulai dari buku cerita bergambar milik Elena. Mega mulai membaca apapun yang bertulisan, dan terkadang ketika ia memiliki uang yang cukup seperti saat ini, ia akan membeli buku untuk dibaca.
Mega pasti memiliki masa depan yang cerah. Umurnya pun ....
"...."
"Ada apa, Lena?"
Elena menggeleng dengan pelan. "Tidak apa. Ayo masuk ke dalam."
Sisa angka di atas kepala Mega masih banyak, dan alasan kematiannya pun karena faktor umur. Namun, mengetahui hal seperti itu membuat perasaan menjadi gelisah. Kebiasaan buruk selalu melihat ke arah atas tidak bisa di hilangkan walau sudah lima tahun berlalu.
Cring!
Suara bel berbunyi ketika pintu di buka, membuat pekerja disana menyambut siapapun yang masuk dengan perkataan yang ramah. "Selamat datang!"
Mega langsung mencari buku yang ia perlukan, sedangkan Elena pergi ke rak buku tentang obat-obatan.
Menelusuri rak penuh buku, ia melihat satu-persatu judul-judul buku yang sekiranya terlihat menarik di mata Elena.
'Obat Ajaib Sang Saintess
'Obat Mujarab Penghilang Rasa Sakit'
'Obat Pemuja Keabadian'
"...."
Melihat semua judul-judul aneh itu membuat Elena menghela napas panjang. Yang satu mungkin terdengar masuk akal, tapi yang lainnya itu pasti cerita fiksi!
Obat Pemuja Keabadian??? Obat Ajaib Sang Saintess??? Konyol sekali!
Elena tak habis pikir dengan judul-judul itu dan berniat untuk keluar saja. "Mega, sepertinya aku akan langsung pergi ke toko obat."
"Benarkah? Baiklah, hati-hati Lena. Kembali sesuai waktu, ya?"
Elena mengangguk dan langsung berjalan keluar dari toko buku. Ia melihat ke sekitar dimana banyak orang berlalu lalang dan juga beberapa penjual yang sedang menarik pembeli.
Tiba-tiba saja perut Elena berbunyi ketika mencium bau sate bakar yang di jual. Melihat uang yang dibawanya, Elena menghitung perkiraan uang yang akan ia pakai dan memutuskan untuk membeli beberapa tusuk sate.
"Terimakasih sudah membeli, nak!"
Elena membeli dua tusuk sate dan memakannya sembari mencari toko obat yang biasanya ia kunjungi. Namun, di tengah jalan perhatiannya teralihkan oleh seorang anak yang duduk terdiam di pojokan. Tidak ada siapapun yang mendekati anak itu.
Namun, saat mata mereka bertemu secara tidak sengaja, perasaan dingin menjalar ke tubuh Elena. Manik masa Elena dengan refleks melihat ke atas kepala anak itu dan menunjukkan sesuatu yang mengejutkan.
'13 Hari'
'Bunuh diri'
"Apa-apaan itu?!"
Elena benar-benar dibuat kaget oleh angkanya dan juga cara kematiannya menjemput.
Namun, fokus Elena disentak dengan tatapan lurus dari anak itu. Maniknya yang berwarna biru malam seperti permata safir itu seakan melihat hingga ke inti jiwa.
Elena menelan ludahnya dengan kasar lalu berjalan mendekat dengan perasaan ragu. Ia tahu perasaannya mengatakan jangan namun melihat angka yang sangat sedikit itu membuat Elena tidak tega.
"Hei, kau baik-baik saja? Dimana orang tuamu?" tanya Elena sembari berjongkok disana. Namun, anak laki-laki itu hanya menatap Elena dalam diam.
Krucuk~
Mata Elena berkedip beberapa kali, sedangkan wajah anak itu sudah tertunduk malu.
"Kamu lapar?" Elena pun memberikan satu tusuk sate yang ia beli sebelumya, dan hal itu diterima dengan ragu-ragu oleh anak laki-laki itu.
Saat anak itu memakannya, terlihat sebuah memar di pipi bagian kirinya. Elena yang melihat itu tanpa sadar mengulurkan tangannya ke arah memar itu, membuat anak laki-laki itu terkejut.
"Ah, maaf." Suasana berubah menjadi canggung. Elena bingung harus melakukan apa setelah ini.
Kembali melirik ke arah angka kematian itu, Elena dilanda kebingungan. Mengabaikan atau tidak.
"Hey, ayo ikut denganku!" Pada akhirnya Elena menarik tangan anak itu mengikutinya ke arah toko obat yang sedari tadi ia tuju.
Cring!
"Paman, apa paman menjual obat salep untuk luka memar?" tanyaku pada sang penjual.
"Tentu, tunggu sebentar nak." Sang penjual itu langsung bergegas ke bagian dalam untuk mengambilkan pesanan dari Elena.
"Ini, nak. Salep ini terkenal bisa menyembuhkan hingga bekas luka bakar loh!" bangganya. Elena hanya tertawa geli lalu membayar salep itu.
"Ini, pakailah di pipimu." Elena memberikannya tepat di depan sang anak. Namun, ia hanya menatap salep itu dan Elena secara bergantian.
Gemas dengan sikapnya, Elena langsung menurunkan tudung anak itu, menampilkan surai hitam legamnya seperti langit malam tanpa bintang namun masih terlihat berkilau dan halus.
Elena langsung membuka salep itu dan mengoleskannya detik itu juga ke arah memar di bagian pipi anak itu. Sensasi dingin dari salep dan sentuhan ringan dari Elena membuat anak itu terkejut hingga matanya melebar dengan lucu.
"Sudah selesai." Elena memberikan salep itu tepat di tangan sang anak.
"Nama ...."
"Eh?"
Suara anak laki-laki itu membuat Elena melongo. Suaranya begitu manis hingga membuat terdiam sejenak.
"Namamu ... Siapa?"
Kembali dari melamunnya, Elena pun ingin mengatakan namanya.
"Oh, namaku El—"
TENG! TONG! TENG! TONG!
Suara lonceng berbunyi begitu keras memenuhi seisi kota. Hal itu membuat Elena langsung bergegas pergi karena waktu telah habis.
"Ah, maaf. Aku pergi dulu!" ucap Elena yang samar-samar terdengar akibat suara lonceng yang begitu keras.
Seakan seperti Cinderella, orang asing itu meninggalkan begitu banyak tanda tanya setelah lonceng berbunyi. Namun, perasaan euforia seperti permen manis muncul memenuhi di tenggorokan anak laki-laki itu.
"El ...."
Ia melihat ke arah salep yang di berikan anak tadi, dan mendekapnya. Perasaan aneh apa yang memenuhi dirinya ini?
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments