Bab 5

Setelah meneguk segelas air putih, Mia masih saja menangis.

"Apa yang kamu rasakan?"

"Badanku panas! Aku tidak kuat, Kak!" jawab Mia semakin terisak.

"Tenang, jangan menangis! Coba mandi dulu, agar gejalanya berkurang."

Rafa menuntun gadis itu ke kamar mandi dan memilih menunggu di ambang pintu kamar. Ia bersandar di pintu, berusaha menahan diri.

Alam bawah sadarnya masih menguasai akal sehatnya, bahwa tidak boleh melakukan hal buruk pada Mia.

Sekalipun dirinya sedang sangat ingin dan tak dapat mengendalikan.

Rasa itu terlalu menggebu.

Tetapi, sebisa mungkin harus menahan agar terhindar dari hal yang mungkin akan ia sesali seumur hidupnya.

Lamunan Rafa membuyar saat Mia keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk dengan rambutnya basah.

Sejenak ia memandang dari ujung kaki ke ujung kepala, namun kemudian membuang pandangan ke arah lain agar tak melihat aurat gadis itu.

Mia yang sudah tampak lemas itu luruh ke lantai.

Berpegang pada dinding pembatas kamar mandi.

Rafa hanya menatap.

Teringat ia pernah membaca sebuah artikel yang menyatakan bahwa meminum obat perangsang dalam dosis yang tinggi bisa menyebabkan terjadinya serangan jantung mendadak, penyempitan pembuluh darah hingga menyebabkan pecah pembuluh darah dan hal itu beresiko kematian.

"Apa aku bawa Mia ke rumah sakit saja?" gumam Rafa dalam hati.

Akan tetapi, rumah sakit di kota itu cukup jauh. Kendaraan umum pun terbatas di jam seperti ini.

Rafa benar-benar bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Di sisi lain, ia juga tak bisa lagi menahan diri.

Sepertinya obat yang dimasukkan ke dalam minuman dalam dosis yang sangat tinggi.

Mau tak mau Rafa langsung mendekat dan berjongkok di hadapannya.

"Bagaimana kalau kita ke rumah sakit saja. Terlalu lama di sini bisa berbahaya. Cepat pakai baju!"

Mia hanya memeluk handuk di dadanya, seakan tenaga yang tersisa tak cukup lagi untuk sekedar berdiri.

Dalam keadaan terpaksa, Rafa segera menuntun gadis itu berdiri agar segera mengenakan pakaian, namun keduanya tiba-tiba oleng dan kehilangan keseimbangan.

Jatuh terhempas ke tempat tidur dengan posisi Rafa yang di atas.

Selama beberapa saat keduanya diam dan saling pandang.

Jantung Mia berdegub semakin cepat ketika Rafa memandangnya dengan begitu dalam.

Ia bahkan diam saja ketika jemari lelaki itu menyusup di antara lekukan leher.

Memberikan sentuhan yang begitu lembut dan menghanyutkan.

"Kak Rafa ...." panggil Mia lirih.

Rafa tak menyahut.

Matanya terpejam menahan gejolak yang semakin mendekati puncak.

Menghela napas dan menautkan kening mereka berdua hingga ujung hidung saling bertemu.

"Aku tidak kuat, Mia," bisik Rafa sangat pelan dengan napas tertahan.

Membuka mata, Rafa memandang wujud sempurna di bawahnya.

Mata indah itu seakan meminta lebih, bibirnya yang merah muda seperti sedang menggoda, rona merah di wajah membuatnya terlihat semakin cantik. Menantang.

"Maafkan aku, semoga kamu tidak membenciku." Suara Rafa yang parau membuat napas Mia tertahan di rongga dada.

Ingin menghindar, tapi naluri dalam diri seakan menuntun untuk meminta lebih.

Aneh, ia justru merasa nyaman dengan setiap sentuhan lelaki itu.

Rafa mengikis jarak di antara keduanya, hingga Mia dapat merasakan betul hangat dan lembut embusan napasnya.

Matanya terpejam, kehangatan kembali menjalar menghilangkan nalar ketika dua bibir saling bertemu.

Saling berpangut, menyesap, memburu, dan ... menuntut lebih.

**

**

"Ini ya tempatnya?"

Mobil milik Brayn berhenti di depan sebuah balai desa sederhana.

Beberapa kali Brayn melirik ponsel yang memuat alamat lokasi kegiatan demi memastikan tidak mendatangi tempat yang salah.

Pandangannya berkeliling ke sekitar, lokasi tempat mereka berada sekarang tampak cukup sunyi dan minim penerangan.

Bahkan lampu jalan pun hanya beberapa dan berjarak saling berjauhan.

Airin yang sejak tadi duduk bersandar itu membuka mata. Mengedarkan pandangan ke setiap sudut.

"Vila apa sih namanya, Bun?" tanya Brayn menatap bundanya.

"Vila Anggrek."

Melajukan mobil perlahan, Brayn melirik beberapa rumah yang mereka lewati.

Memastikan bahwa vila tempat Mia menginap tidak terlewat.

"Biasanya sih kalau tempat seperti ini vilanya kecil, Bun. Mirip rumah pribadi."

"Yang di depan itu bukannya bus kampus, ya?" Airin menunjuk sebuah bus tak jauh dari mereka.

Stiker logo universitas terlihat pada kaca bagian belakang bus.

"Oh iya. Berarti vilanya dekat sini." Mobil melaju mendekat ke arah bus, sambil melirik ke kanan dan kiri.

"Turun saja ya, Bun. Kita jalan kaki saja mencari vilanya." Brayn melirik Airin sekilas. "Bunda sudah baikan, kan?"

Airin mengangguk diiringi senyum. Keduanya segera turun dari mobil.

Brayn menyalakan lampu dari ponsel untuk memberikan penerangan, sebab jalan setapak yang mereka lalui bukanlah jalan aspal, melainkan jalan berbatu.

Hingga tak lama berselang, Brayn melirik sebuah bangunan dengan spanduk bertuliskan vila anggrek.

Sebuah bangunan sederhana berlantai satu yang lebih mirip hunian pribadi.

Bukan menyerupai wisma ataupun vila.

"Ini vilanya." Brayn dan Airin melirik ke sekitar.

Suasana malam itu cukup sunyi.

Di rumah sederhana itu sama sekali tidak terlihat siapapun, sebab semua mahasiswa sedang berada di masjid untuk doa bersama dan shalat tarawih.

"Tapi, kenapa tidak ada orang di sekitar sini?" tanya Brayn.

"Mungkin sedang tarawih di masjid," balas Airin.

Brayn melirik ke angka yang tertera pada ponselnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Hampir 3 jam mereka melewati perjalanan dari rumah menuju tempat tersebut.

"Sepertinya iya, Bun. Apa kita tunggu di sini saja? Sepertinya tidak lama lagi selesai tarawih, Mia mungkin ikut tarawih."

"Kita tunggu di depan sana saja." Airin menunjuk ke arah teras vila di mana terlihat kursi berbahan rotan.

Setidaknya, mereka bisa duduk di sana sambil menunggu.

"Boleh, Bun."

Ketika tiba di teras, Brayn melirik ke dalam. Suasana terlihat sepi, namun pintu dibiarkan terbuka.

Menimbulkan tanda tanya dalam benaknya.

"Kalau tidak ada orang, kenapa pintunya dibiarkan terbuka seperti ini?" gumam lelaki itu.

"Mungkin di dalam ada orang," tebak Airin.

"Bisa jadi, sih."

Demi memastikan Brayn mencoba mengetuk pintu dan memberi salam.

Namun, beberapa kali mencoba tak ada sahutan dari dalam.

"Tidak ada orang, Bun."

"Ya sudah, kita duduk saja dulu," imbuh Airin.

Akan tetapi, baru akan duduk perhatiannya tercuri oleh dua pasang sandal di depan pintu.

Kening Airin berkerut, tentu ia mengenali salah satu sandal berwarna pink muda tersebut, yang merupakan milik putrinya.

"Ini kan sandalnya Mia," ucapnya menunjuk ke lantai.

Brayn ikut menatap ke bawah.

Selain sandal milik Mia, ia juga mengenali sandal di sebelahnya.

"Iya, Bun. Ini sandal yang satunya milik Rafa."

Keduanya saling menatap satu sama lain.

***********

***********

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!