Diam-diam Cinta

Diam-diam Cinta

Bab 1

Ucapan Mia beberapa detik lalu layaknya belati tajam menikam dada, membuat napasnya tertahan.

Rafa merasakan seluruh tubuhnya mendadak lemas. Hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Raka? Jadi selama ini Mia menyukai Raka?" Pikir Rafa.

Ia mengusap wajah dengan menghela napas panjang. Ternyata selama ini ia telah salah paham.

Ia bahkan mengira bahwa Brayn adalah lelaki yang ada di dalam hati Mia.

Satu yang ada di dalam pikiran Rafa sekarang, akan seperti apa reaksi Raka dan Zahra jika mengetahui cinta terpendam yang dimiliki Mia untuk Raka.

"Maksudnya, dia sudah menikah?"

"Sttt!!" Mia meletakkan jari telunjuk di depan bibir, melirik Rafa sejenak takut lelaki itu akan mendengar ucapannya.

Namun, kini Rafa sedang terpejam dengan earphone menempel di telinga.

Seperti sedang tertidur sambil mendengarkan musik.

Mia pun mengangguk sebagai jawaban.

"Minggu lalu."

"Apa aku kenal?" tanya sang teman semakin penasaran.

"Tidak, kamu tidak kenal,"

"Uh, padahal aku penasaran ingin tahu siapa yang sudah mengabaikan seorang Mia Aurora Hadiwijaya. Dia pasti akan menyesal."

Mia terkekeh. "Tidak lah. Dia menikah dengan wanita sempurna dan mereka sangat bahagia. Karena itulah aku ikhlas."

"Dia tidak tahu perasaan kamu?"

Mia menggeleng sebagai jawaban. Senyum tipis terlukis di bibirnya, matanya berbinar memandang boneka di pelukannya.

"Dulu, dia menjadi doaku yang paling serius, sekarang dia menjadi ikhlasku yang paling tulus."

Mendengar jawaban Mia membuat Rafa diam-diam mengulas senyum. Tidak hanya cantik, Mia juga memiliki hati yang lembut.

"Laa tahzan, Mia, Allah sedang menyiapkan jodoh terbaik untuk kamu. Mungkin dia akan datang menjemput kamu suatu hari nanti."

"Aamiin."

Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, mereka tiba di tempat tujuan.

Beristirahat satu jam, mereka akhirnya turun langsung menyerahkan bantuan yang sebelumnya berhasil dikumpulkan melalui kegiatan seperti bazar dan penggalangan dana, dan membagikan kepada korban bencana banjir.

Sebuah mobil box besar yang memuat bahan pokok membuat para mahasiwa bertanya-tanya siapa penyumbangnya.

Tentunya, tidak ada yang tahu dari mana sumbangan tersebut bersumber.

Rafa yang sederhana sama sekali tidak menggambarkan siapa dirinya.

Ia sama seperti Joane, yang tidak gemar memamerkan harta dan menyukai kesederhanaan.

Bahkan Rafa lebih suka ke kampus dengan mengendarai motor atau naik bus.

Menjelang sore, barulah kegiatan tersebut selesai dan akan dilanjutkan besok pagi.

Seluruh mahasiswa menuju vila yang sudah disiapkan. Vila untuk laki-laki dan perempuan hanya berjarak beberapa rumah.

Sepanjang kegiatan berlangsung, Mia terus didekati oleh Leon.

Bahkan lelaki itu tak segan menyatakan cintanya dengan memberikan hadiah mahal, meskipun akhirnya ditolak oleh Mia.

"Mia itu memang cantik, sayang dia terlalu sombong," ucap Leon, sesaat setelah memasuki kamarnya.

"Wajarlah dia sombong. Anak siapa dulu," sahut Rama, salah satu temannya. "Keluarga Hadiwijaya terkenal di mana-mana sebagai keluarga sultan. Kalau mereka sombong ya wajarlah."

"Cih, dia belum tahu saja siapa aku," balas Leon menyandarkan punggung pada kursi.

"Lebih baik cari yang lain. Mereka pasti memilih yang sepadan untuk anaknya. Kalau kamu mau mendekati Mia, harus menghadapi keluarga Hadiwijaya dulu."

Lelaki itu hanya mengulas senyum.

Pembicaraan mereka sempat terhenti saat Rafa memasuki kamar dan meletakkan tas ke meja.

Ia hanya mengeluarkan peci dan langsung keluar kamar lagi untuk menjalankan shalat ashar di masjid terdekat.

"Sok alim," ujar Leon mendengkus.

Lelaki itu segera berdiri mengambil tas yang tergeletak di lantai.

Ia pindahkan ke atas meja, namun beberapa benda dari dalam sana terjatuh berhambur ke lantai.

Sebuah botol kecil menggelinding dan jatuh tepat di kaki Rama.

Sang pemuda hanya melirik sekilas, tetapi kemudian perhatiannya tertuju pada sebuah botol kecil berwarna biru.

Melihat dari merk, Rama tentu tahu botol apa itu dan apa kegunaannya.

Ia langsung melirik Leon penuh tanya.

"Leon, ini kan obat ...." Ia mengangkat botol tersebut, tetapi langsung direbut oleh Leon dan disembunyikan ke dalam tas.

"Untuk apa membawa barang seperti itu?"

"Em ... ini punya teman, tidak sengaja terbawa di tasku," jawab Leon asal.

"Jangan sembarangan dipakai, obat itu efeknya sangat kuat."

"Kamu pernah pakai?"

Rama terkekeh. "Tidaklah. Hanya dengar dari orang-orang."

**

**

Kembali ke rumah keluarga Hadiwijaya.

Zahra merasa enggan melepas pelukan suaminya sejak beberapa menit lalu.

Satu minggu terus bersama membuatnya seakan berat untuk melepas kepergian sang suami keluar negeri.

Merasa terbiasa dipeluk Raka saat tidur, pasti ia akan merasa sepi tanpa sang suami di sisinya.

Terlebih, Raka benar-benar memanjakan dirinya selama satu minggu ini.

"Jangan sedih, ya. Sebulan tidak akan terasa." Raka mencium kening, mendekap istrinya penuh kasih.

"Tapi, harus sering kabari aku."

"Iya, Sayang. Aku akan telepon setiap ada waktu." Tangannya membelai puncak kepala yang terbalut hijab.

Ia merangkul wanita itu keluar kamar setelah menghabiskan waktu cukup lama di kamar.

Zahra yang murung tentu saja mengundang perhatian papa dan kakak-kakaknya.

Pak Vino tersenyum memandangi wajah putrinya. Sikap Zahra sama persis seperti Bu Resha.

"Raka, siap-siap nanti ada yang video call dan minta ditemani tidur sampai pagi," kelakar Pak Vino.

**

**

Prang!

Suara pecahan kaca membuyarkan konsentrasi Airin yang sedang duduk di atas sajadah dengan tasbih di tangan.

Wanita itu sontak menoleh dan melirik ke arah lantai di mana bingkai foto terjatuh.

"Astaghfirullah." Ia langsung berdiri menghampiri bingkai foto.

Mendadak tubuhnya seakan lemas, dadanya bergemuruh.

Tangannya meraih bingkai pecah tersebut, mengusap gambarnya perlahan.

"Awh!" desis Airin saat merasakan pecahan kaca menancap di ujung jarinya.

Cairan merah segar pun menetes pada gambar Mia.

"Ya Allah, semoga ini bukan pertanda. Lindungi anakku di mana pun dia berada,"

Ia mengusap ujung jarinya, segera bangkit dan menuju meja untuk mengambil ponsel.

Mencari nomor kontak suaminya.

"Assalamualaikum, Sayang ." Suara Gilang terdengar di ujung telepon.

"Walaikumsalam, Mas."

"Kenapa suaranya seperti itu?" tanya Gilang, kala mendengar suara istrinya bergetar.

"Mas, aku mau menyusul Mia. Apa boleh? Perasaanku tidak enak."

**

**

Sementara itu di vila, buka puasa bersama digelar. Semua berkumpul di satu tempat.

Mia dan teman-teman wanitanya duduk di meja yang sama.

Sementara Rafa berada di sudut meja lain dengan beberapa teman laki-laki.

Rafa hanya berbuka puasa dengan air putih dan kurma, lalu segera beranjak menuju masjid terdekat untuk shalat maghrib.

Hal tersebut tak luput dari perhatian beberapa mahasiswi yang mengagumi sosok Rafa.

Bahkan ada yang diam-diam mengabadikan gambarnya dengan kamera ponsel.

"Duh, sempurnanya. Badan tinggi, ganteng dan sholeh. Calon imam siapa dia? Semoga aku," ucap salah satu mahasiswi sambil memandang Rafa yang berjalan menuju masjid.

"Huh, dasar! Kak Rafa pasti mencari yang shalihah, bukan yang seperti kamu. Hijab saja tidak pakai," sahut salah satu di antaranya.

Namun, gadis itu malah tertawa kecil. "Jodoh siapa yang tahu, kan?"

Mia pun ikut tertawa mendengar pembicaraan teman-temannya.

Tak dapat dipungkiri, Rafa memang memiliki pesona yang membuat para gadis terkagum-kagum.

Terlebih, ia begitu tenang, tidak grasa-grusu dan tidak sembarangan mendekati lawan jenis.

"Besok pagi, yang laki-laki kembali turun ke lokasi dan bantu tim untuk mencari korban yang belum ditemukan. Yang perempuan bantu warga lainnya di pos pengungsian," ucap Leon, yang merupakan salah satu pembina dalam kegiatan tersebut.

"Baik, Kak," jawab yang lain dengan serentak.

Bisik-bisik para gadis kembali terdengar.

"Kalau yang ini juga keren banget sebenarnya. Ganteng banget malahan. Tidak tahu kenapa aku merasa wajahnya sedikit mirip Kak Rafa, tapi bedanya, Kak Leon itu lebih necis, sementara Kak Rafa lebih gagah," ucap Wina panjang lebar.

Mia tak menanggapi. Perhatiannya hanya tertuju pada layar ponsel.

Ia baru saja membalas pesan dari Gilang yang dikirim dua jam lalu dan baru sempat terbaca.

"Sudah sampai, Nak?"

"Alhamdulillah, Ayah. Aku sedang buka puasa dengan teman-teman," tulisnya dalam pesan. Kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas.

"Mia, mau jus jeruk, tidak?" tawar salah satu teman wanita yang baru saja tiba.

Mia mengangguk sambil tersenyum.

"Boleh, terima kasih," jawab Mia, sambil meraih gelas jus dan menempelkan ujung sedotan pada bibirnya.

Tanpa disadari oleh Mia, sepasang mata sedang memandangnya dari jarak aman dengan seringai tipis.

**************

**************

Terpopuler

Comments

Endang 💖

Endang 💖

waduh mia dalam bahaya, semoga Rafa cepat menolong Mia...

2025-04-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!