Hari itu, suasana rumah keluarga Wijaya terasa berat. Meskipun tampak seperti hari biasa, setiap sudut rumah dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat. Ganhia berdiri di pelaminan, matanya terpaku pada kerumunan yang terbatas. Pernikahan itu hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat, teman-teman bisnis Tuan Danendra, dan beberapa keluarga yang sangat terbatas. Tidak ada sorotan media, tidak ada keramaian. Semua dilakukan dengan sangat tertutup, seolah-olah ini adalah peristiwa yang harus dijaga jarak dari dunia luar.
Namun, yang lebih menyakitkan adalah ketidakhadiran Mharsela, adik tiri Ganhia. Mharsela, meskipun mendengar tentang pernikahan itu, memilih untuk tidak hadir. Bagi Mharsela, pernikahan itu tidaklah penting. Ia merasa bahwa ini bukanlah acara yang bisa memberinya keuntungan apa pun. Selain itu, ia merasa sedikit iri dengan Ganhia, terutama karena kecantikan alami kakak tirinya yang selalu mendapat perhatian. Bagi Mharsela, Ganhia adalah gadis yang selalu menjadi pusat perhatian, sesuatu yang sangat ia benci.
Di pelaminan, Ganhia berdiri tegak, mengenakan gaun pengantin yang indah, namun hatinya terasa hampa. Dia menatap kosong ke depan, berusaha mengesampingkan segala perasaan cemas yang menguasai dirinya. Tuan Danendra berdiri di sampingnya, mengenakan jas hitam rapi. Tak banyak kata yang terucap dari bibirnya, hanya sikap dingin dan sikap yang seolah tak peduli dengan momen pernikahan ini. Ganhia bisa merasakan ada jarak yang sangat besar di antara mereka berdua.
Ketika upacara pernikahan selesai, mereka duduk di pelaminan, sementara tamu-tamu yang hadir menyaksikan tanpa banyak berkomentar. Di tengah-tengah upacara yang sepi, Ganhia merasa perasaan dan harapannya semakin terkikis. Tuan Danendra tetap memandang lurus ke depan, namun dalam hati, ia tak bisa menghindari sedikit rasa kagum yang muncul.
Dalam hati, Tuan Danendra mengucapkan kalimat itu, meskipun ia tak berniat untuk mengatakannya dengan keras. "Kenapa gadis ini bisa secantik ini?" pikirnya, seakan ia baru menyadari sesuatu yang selama ini tersembunyi. "Dia terlalu sederhana, terlalu polos. Tapi… dia cantik. Sungguh, dia… cantik."
Meskipun begitu, senyum yang terukir di wajah Danendra tetap tampak dingin dan terpaksa. Itu adalah senyum yang dipaksakan, seolah sebuah kewajiban. Dalam pikiran Tuan Danendra, pernikahan ini bukanlah soal cinta, melainkan soal kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun, meski ia mencoba untuk menahan diri, ia tak bisa mengabaikan kecantikan yang dimiliki Ganhia—kecantikan yang tampaknya begitu murni dan alami, jauh berbeda dengan gadis-gadis lain yang biasa ia temui.
Ganhia yang duduk di sampingnya hanya bisa menunduk, berusaha menyembunyikan keraguan yang menggerogoti dirinya. Ia tahu bahwa pernikahan ini bukanlah pilihan yang ia inginkan, dan bahwa ia tak bisa berharap banyak. Namun, di saat-saat seperti itu, ia merasakan sedikit keanehan. Tuan Danendra yang dingin dan tak peduli, ternyata juga bisa melihat sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang mungkin tak pernah ia perhatikan sebelumnya.
Tetapi, Ganhia tahu, itu hanyalah perasaan sesaat. Ini bukan tentang cinta—bukan tentang kebahagiaan. Ini adalah tentang kewajiban yang harus ia jalani demi keluarganya, demi masa depan yang tidak pasti. Cinta? Itu bukanlah bagian dari pernikahan ini. Dan dalam hati Ganhia, ia hanya berharap waktu akan membawa jawaban, apakah suatu hari nanti ia bisa merasakan kebahagiaan, ataukah ia akan terus terperangkap dalam kehidupan yang tak pernah ia pilih.
Tuan Danendra kembali menatap Ganhia sejenak, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—sesuatu yang hampir tak terlihat. Meskipun dia tetap diam, hatinya sedikit tertarik oleh kecantikan Ganhia yang begitu alami dan tak terduga. Tetapi, pada akhirnya, itu semua tetaplah sebuah pernikahan yang didasarkan pada kewajiban. Perasaan itu hanyalah bayangan yang akan tenggelam begitu saja.
Seiring dengan berlalunya waktu, pernikahan ini hanya akan menjadi bagian dari perjalanan hidup mereka. Tak ada janji kebahagiaan, tak ada kata-kata manis yang diucapkan. Hanya dua orang yang terjebak dalam sebuah pernikahan yang terpaksa, masing-masing membawa beban yang berbeda. Dan meskipun ada sedikit ketertarikan yang tidak terucapkan, baik Ganhia maupun Danendra tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.
Resepsi pernikahan telah selesai, dan meskipun semua orang di sekitar mereka sudah beranjak, suasana di dalam rumah keluarga Wijaya masih terasa berat. Ganhia berdiri dengan gaun pengantin yang kini sudah mulai terlihat sedikit kusut, matanya kosong menatap amplop yang baru saja diberikan oleh Dirga, sekretaris Tuan Danendra. Amplop itu berisi surat kontrak yang tak terelakkan, yang mengikatnya pada pernikahan ini, dan pada kehidupan yang tidak pernah ia inginkan.
Di sampingnya, Tuan Danendra berdiri tegak, mengenakan jas hitam yang sempurna, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi. Ia tampak seperti pria yang sudah biasa dengan segala hal yang harus dilakukan, termasuk pernikahan ini. Dalam hatinya, ini bukan tentang kebahagiaan atau cinta. Ini adalah kewajiban, sesuatu yang harus dijalani demi melanjutkan bisnis dan mengatasi masalah utang yang telah menggantung di kepala ayah Ganhia.
Danendra tidak menatap Ganhia sama sekali. Ia hanya memerintahkan Dirga dengan suara rendah, "Beri dia surat itu. Katakan padanya, dia harus siap."
Dengan gesit, Dirga memberikan amplop tersebut pada Ganhia. Gadis itu, dengan gemetar, menerima amplop itu tanpa kata-kata. Ia tahu, meskipun tak ada yang perlu dipaksakan, hidupnya kini telah berubah 180 derajat. Tak ada lagi keluarga yang dulu ia kenal, tak ada lagi rasa aman yang datang dari rumah yang ia tinggali. Sekarang, ia adalah bagian dari dunia Tuan Danendra, dunia yang jauh berbeda dengan dunia yang selama ini ia jalani.
Namun, yang lebih membuatnya tertekan adalah sikap Tuan Danendra. Pria ini, meskipun tampan, dingin dan penuh kekuasaan, seperti tak peduli sedikit pun dengan perasaannya. Baginya, Ganhia hanyalah bagian dari urusan yang harus diselesaikan. Tidak lebih dari itu. Tidak ada perhatian, tidak ada pertanyaan tentang perasaannya. Semuanya berjalan berdasarkan aturan yang ditentukan, tanpa ada ruang untuk hal-hal pribadi.
Ganhia menatap amplop di tangannya, dan kemudian menunduk. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Tuan Danendra, yang sejak awal tidak banyak bicara, mengalihkan pandangannya dari Dirga ke Ganhia. Dengan ekspresi datar, ia menjawab, "Kamu akan tinggal di rumahku mulai besok. Persiapkan dirimu."
Tidak ada pertanyaan, tidak ada penawaran. Hanya perintah yang harus diterima, tanpa ruang untuk menolak.
Ganhia mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa sesak. Tidak ada pilihan lain, semuanya sudah ditentukan. Bahkan sebelum ia sempat mengerti, hidupnya telah diarahkan ke jalur yang tak bisa ia hindari. Dengan berat hati, ia mendengarkan perintah-perintah yang diberikan kepadanya oleh Tuan Danendra. Ini adalah jalan yang harus ia jalani demi keluarga, demi ayahnya yang terbelit utang.
Setelah pertemuan singkat itu, Danendra melangkah menuju pintu dengan langkah tegas. Dirga, yang selalu berada di sisi tuannya, mengikuti di belakangnya. "Siapkan semuanya. Kita berangkat besok," perintah Danendra pada Dirga, dan sang sekretaris segera pergi untuk melaksanakan perintah itu.
Ganhia tetap berdiri di tempatnya, masih memegang amplop yang berisi kontrak pernikahan mereka. Hatinya tak bisa menghindar dari perasaan terjebak. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah ia akan bisa bertahan dalam dunia yang dipenuhi dengan aturan dan tuntutan yang begitu ketat?
Saat Ganhia memalingkan wajahnya, ia melihat Danendra yang sudah keluar dari rumah, berjalan menuju mobil mewah yang menunggu di halaman depan. Hatinya berdebar. Akan seperti apakah kehidupan yang harus ia jalani di bawah kendali Tuan Muda yang dingin itu?
Keesokan harinya, pagi yang penuh ketegangan tiba. Ganhia bersiap dengan segala yang diminta. Tanpa bisa melawan, ia hanya mengikuti perintah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hari setelah pernikahan ini akan membawa dirinya ke dunia yang sangat berbeda. Rumah yang selama ini ia kenal, kini hanya menjadi kenangan. Rumah baru yang akan ia tempati bersama Tuan Danendra adalah tempat yang sama sekali tidak ia kenal sebuah dunia yang jauh lebih besar dan lebih keras.
Saat ia hendak keluar dari rumah keluarganya, ia melihat beberapa bodyguard Tuan Danendra yang berdiri tegak, siap mengawal perjalanannya. Di depan rumah, sebuah mobil hitam mengkilap menunggu. Dengan langkah berat, Ganhia berjalan menuju mobil itu, diikuti oleh bodyguard yang setia mengawal. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dan ia merasa seolah-olah hidupnya telah diserahkan sepenuhnya kepada Tuan Danendra.
Di dalam mobil, hanya ada dirinya dan satu bodyguard yang duduk di sampingnya. Tidak ada percakapan, hanya rasa hampa yang mengisi ruang di antara mereka. Ganhia menatap ke luar jendela, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Semua yang ia rasakan hanya ketidakpastian. Ia tahu bahwa ia harus siap menghadapi apapun yang datang, meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran.
Di rumah mewah milik Tuan Danendra, semuanya sudah dipersiapkan. Segala sesuatunya diatur dengan sempurna, sesuai dengan keinginan Tuan Muda yang selalu menginginkan segalanya berjalan sesuai rencana. Ganhia memasuki rumah itu dengan langkah ragu. Ketika pintu mobil dibuka, seorang bodyguard membuka pintu rumah dengan sigap, dan Ganhia melangkah masuk.
Danendra sudah berdiri di ruang tamu besar, menunggu. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun. Ia hanya menatap Ganhia dengan tatapan kosong, seolah-olah ini hanyalah rutinitas biasa yang harus ia jalani. Tidak ada senyum, tidak ada sambutan hangat. Hanya perintah yang harus diterima.
"Selamat datang di rumahmu yang baru," ujar Danendra dengan nada datar. "Di sini, kamu harus mengikuti semua aturan yang ada. Tidak ada pengecualian."
Ganhia hanya mengangguk, meskipun di dalam hatinya ada perasaan hancur. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah ia akan bisa bertahan di dunia ini? Tetapi untuk saat ini, ia hanya bisa menelan kata-kata itu dan berharap bisa menjalani hari-hari yang akan datang, meskipun itu tidak akan mudah.
Dengan satu perintah lagi, Danendra menambahkan, “Kamu harus siap. Jangan berpikir untuk melawan. Ini adalah kehidupanmu sekarang.”
Ganhia menunduk. Tanpa bisa berkata lebih banyak, ia hanya menerima semua yang diberikan, dan mengikuti langkah-langkah yang telah ditentukan. Dunia barunya dimulai, dan tidak ada jalan kembali.
Ganhia berdiri kaku di ruang tamu yang besar, memandang ke arah Tuan Danendra yang masih berdiri dengan sikap dingin dan tak peduli. Suasana di sekelilingnya seakan membeku, tidak ada kebahagiaan, hanya keheningan yang penuh ketegangan. Setelah beberapa detik yang terasa lama, akhirnya Tuan Danendra membuka mulutnya lagi dengan suara datar, namun tajam, seolah-olah setiap kata yang keluar darinya adalah perintah yang tak bisa dibantah.
"Mulai sekarang, kamu adalah pelayan pribadiku." Kata-kata itu begitu tajam, seakan membekas dalam hati Ganhia. Ia menatapnya dengan mata yang semakin berkaca-kaca, berusaha menahan agar tidak menunjukkan perasaan kecewa yang mendalam. "Tugas kamu di sini jelas. Tak ada tempat untuk kelemahan atau keluhan. Kamu akan mengikuti semua perintah saya tanpa terkecuali."
Setiap kata yang keluar dari mulut Tuan Danendra bagaikan sebuah hukum yang tak bisa diganggu gugat. Bukan hanya sekadar perintah biasa, tapi seperti sesuatu yang harus dijalani tanpa bisa ditawar. Ganhia merasakan sakit yang tak terucapkan, terutama ketika mendengar kata "pelayan pribadi" yang begitu merendahkan. Apakah hidupnya sekarang hanya sebatas itu? Tidak lebih dari sekadar pelayan bagi tuannya yang tidak pernah menganggapnya sebagai manusia seutuhnya?
Dirga, yang berdiri beberapa langkah di belakang Danendra, mendekat dan memberikan amplop berisi surat kontrak itu kepada Ganhia. "Ingat semua isi surat kontrak ini dengan baik," kata Dirga dengan nada yang tidak kalah tegas. "Kamu harus mematuhi setiap perkataan Tuan Danendra, tidak boleh ada pengecualian. Jika kamu tidak mengikuti aturan ini, konsekuensinya akan sangat berat."
Ganhia menatap surat kontrak yang diserahkan padanya. Itu adalah sebuah perjanjian yang mengikat, di mana ia harus mengikuti semua perintah tanpa bisa menolak, menjalani kehidupan yang telah ditentukan untuknya, meski hatinya meronta. "Tuan, saya..." kata-katanya hampir tersangkut di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Apa yang bisa ia lakukan selain menerima kenyataan ini?
"Tidak ada kata 'saya' di sini," potong Danendra dengan tegas, sambil menatapnya tajam. "Kamu harus belajar untuk menerima peranmu. Mulai sekarang, kamu adalah bagian dari dunia saya. Kamu harus tahu tempatmu."
Setiap kalimat yang keluar dari mulut Danendra bagaikan cambukan, membuat Ganhia semakin merasa kecil dan terpojok. Semua rasa sakit itu hanya bisa ia telan dalam diam. Dirga, yang selalu tahu apa yang diinginkan oleh Tuan Danendra, hanya mengangguk pelan, seolah memastikan bahwa perintah yang baru saja diberikan akan dipatuhi tanpa ragu.
"Perintah Tuan Danendra adalah segalanya. Tidak ada ruang untuk melawan atau membantah," kata Dirga, memastikan bahwa Ganhia mengerti bahwa ini adalah aturan yang tak bisa diganggu gugat.
Ganhia menunduk dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang hampir keluar. Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Kehidupannya telah berubah menjadi sebuah rutinitas yang penuh peraturan dan batasan. Semuanya begitu dingin dan kaku, seolah ia hanya sebuah benda yang harus mengikuti perintah. Ia merasa terperangkap dalam kehidupan yang sama sekali bukan pilihannya.
"Tuan Danendra, saya..." lagi-lagi kata-kata itu tertahan. Tak ada yang bisa ia katakan. Semua yang ada di pikirannya kini hanya sebuah kekosongan.
Danendra menatapnya sebentar, kemudian berbalik dan melangkah menuju tangga dengan langkah mantap. "Ikuti saya," katanya tanpa menoleh. "Kamu akan tinggal di kamar yang sama denganku agar kamu bisa mengatur semua keperluanku. Jangan banyak tanya, cukup ikuti semua aturan yang ada."
Ganhia, meskipun hatinya hancur, hanya bisa mengangguk. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ini adalah kehidupan yang harus ia jalani sekarang. Tidak ada pilihan lain.
Dengan langkah pelan, ia mengikuti Danendra yang sudah mulai naik ke lantai atas. Dirga, yang tetap setia mengikuti di belakang mereka, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ketiganya memasuki sebuah dunia yang penuh dengan aturan tak terucapkan, tempat di mana Ganhia hanya bisa menerima takdir yang telah digariskan untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments