Sejujurnya, saat aku berjalan melewati pintu pagar rumah kami, air mataku sudah jatuh sebanyak dua tetes.
Maurice, Maurice, Maurice.!!! Selalu saja.
Aku sudah sangat terbiasa. Fakta bahwa aku bukanlah satu-satunya putri Ayah, membuat ku sakit hati.
Bukankah aku sedikit egois karena tidak dapat mengerti apa yang terjadi pada saudariku,?
Itu mungkin bagi mereka yang tidak menyaksikan betapa sulitnya hidup ku sejak lahir. Maurice selalu mengambil apa yang telah menjadi hak ku, dan kali ini juga.
Aku menegakkan kepalaku, pandanganku fokus menatap kedepan. Karena pendengaran ku sama sekali tidak berfungsi, jadi aku harus serba berhati-hati.
Kutelusuri jalan lurus di sepanjang gang rumahku, hingga kakiku telah tiba di persimpangan gang.
Butuh waktu sepuluh menit untuk tiba di persimpangan ini. Dan lagi aku harus menyebrangi jalan untuk menaiki bus tujuan sekolahku yang baru.
Aku segera bersiap mengikuti mereka yang juga bersiap untuk menyeberangi jalan. Sendirian ditengah keterbatasan ini tidak terlalu sulit bukan?
Aku berjalan seperti yang lain nya, namun rasa takut tiba-tiba menghampiriku. Ditambah lagi dengan bayang-bayang kecelakaan itu membuat keringat di dahiku semakin banyak. Akan tetapi jika aku berlarut-larut dalam kenangan buruk itu, aku bisa saja tidak dapat memasuki gerbang sekolah nantinya.
Saat aku terlarut dalam pikiran itu, aku merasa tubuh ku melayang dan terguling diatas jalanan yang teramat kasar juga panas.
Otak ku tidak mampu mencerna apa yang terjadi padaku. Mataku tertutup secara spontan seolah aku sedang berada didalam mimpi.
Semua terasa hening, namun siku ku terasa perih. Hingga sebuah guncangan dibahu ku menyadarkanku dari mimpi burukku.
Aku memutuskan membuka mataku, kulihat telah banyak mata orang mengelilingi ku yang masih berada didalam pelukan seseorang.
Wangi parfumnya masuk kedalam hidungku membuatku tersadar seratus persen.
Aku segera berdiri namun rasa perih itu kembali terasa, kali ini kaki ikut-ikutan terasa perih. Mataku membola saat melihat luka-luka di lengan dan lututku.
Orang-orang sudah berlalu, mungkin karena lukaku tidak terlalu parah. Mereka segera menyibukkan diri kembali.
Tertinggal aku bersama pria yang sejak semalam terlibat di dalam kehidupanku. Tatapan mata nya yang menyiratkan amarah itu kembali mengulitiku.
Kau gila? Punya nyawa berapa kau ini hah?
Alisnya bertaut menandakan amarahnya sudah diubun-ubun. Dan aku hanya memandanginya dengan ketakutan.
Aku bahkan tidak tahu jelas apa yang ia katakan, ia hanya marah-marah dengan tangannya menopang dipinggang.
Lalu ku beranikan diriku untuk membuka mulutku.
Aku tidak bisa mendengar apapun. Pendengaran ku tidak berfungsi.
Alisnya yang sejak tadi bertaut, segera kembali ke bentuk semula. Kilatan cahaya dimatanya perlahan menghilang.
Ikut aku,...
Ia menarik tanganku menuju mobilnya, jantungku yang sejak tadi masih berdetak kencang sepertinya sedikit berkurang.
Tangan pria ini juga terluka, namun karena terlalu panik, ia mungkin tidak merasakan itu lagi. Ia segera mengambil sebuah botol air mineral lalu membersihkan luka-luka ku.
Ia kemudian meraih sebuah kotak yang tersimpan didalam mobilnya. Melihat itu aku semakin tidak sabaran.
Maaf paman, aku takut terlambat. Tidak perlu diobati, nanti juga sembuh, ucapku.
Aku segera mengambil air mineral itu lalu menyiramkannya pada sikunya yang terluka, lalu ku berikan tempel luka.
Sudah, begitu saja.
Terima kasih paman, karena sudah menolongku.
Aku membungkuk dengan tulus, sembari meminta maaf didalam hati karena sudah berpikiran yang buruk dihari-hari sebelumnya.
Apa-apaan kau ini, walaupun kulitmu itu terbuat dari baja. Tetap saja harus diobati.
Lagi-lagi aku tidak memahami dengan jelas apa yang ia ucapkan. Aku hanya pasrah mengikuti pergerakannya.
Setelah semuanya beres, pria yang tinggi nya mungkin sekitar seratus delapan puluhan itu menunduk dan tangannya memegang bahuku.
Ayahmu menyuruhku untuk mengantarmu,
Ku panggil-panggil dan kau tidak menoleh sama sekali.
Dan kali ini aku dapat mengerti apa yang ia ucapkan.
Kau tidak sedang berbohong kan? ia bertanya dengan ekspresi meragukan.
Aku menarik nafasku dengan kuat, haruskah kutarik kembali doa yang sempat kuucapkan didalam hatiku?.
Pria ini benar-benar menyebalkan. Sungguh diluar kendaliku.
Hello paman, aku tidak tuli dari lahir. Ini karena kecelakaan. Okay.??!
Aku segera naik kedalam mobilnya, entah ia bersedia atau tidak, aku tidak peduli. Aku lebih takut jika harus menaiki bus yang belum terbiasa denganku.
Pria itu masuk, bukankah ia sendiri yang mengatakan kalau akan mengantarku atas perintah Ayahku?
Aku duduk diam sambil mataku memperhatikan jalanan yang kami lalui. Seandainya kelak harus pergi sendirian, aku bisa mengingat-ingat jalanan ini.
Saat sedang termenung sendiri, kurasakan bahuku disentuh dengan keras. Terpaksa aku menoleh dengan raut wajah malas.
Hey anak kecil, siapa namamu. !
Shella.
You?? balas ku.
Dia diam, menyebalkan.
Mobilnya berhenti tepat didepan gerbang sekolahku. Aku tertawa nelangsa, sebab gerbangnya sudah tertutup sempurna kecuali gerbang untuk para guru.
Aku tidak terlalu peduli jika aku sekolah atau tidak. Aku hanya tidak ingin mengecewakan Ayahku saja.
Membuatku diterima disekolah ini juga merupakan hasil dari perdebatan panjang antara diriku dan Ayah.
Saat sedang bingung dengan keadaan ini, seorang guru datang menghampiri ku. Ia memanggil namaku dengan sedikit ragu, mungkin sedang memastikan sesuatu.
Kau, Shella putrinya Julian?
Yes, sir. Ucapku.
Oh, ada apa dengan tanganmu, ayo silahkan masuk. ucap guru yang bisa kutebak adalah kenalan Ayahku.
Aku mengikuti nya lalu menoleh kebelakang sebentar. Kulihat pria yang sedikit gila itu menerima sebuah panggilan di ponselnya.
Sudahlah, biarkan saja dia. Dia memang pria tsundere yang akan menangis dihadapan orang yang dicintainya saja.
Kepalaku menoleh kesana kemari memperhatikan setiap sudut ruangan. Langkah kaki kami berhenti di sebuah ruangan bertuliskan kelas satu.
Aku menarik nafas pelan, menyiapkan mental untuk memasuki ruangan yang entah akan seperti apa.
Pandanganku beredar memandangi wajah-wajah yang juga memandangiku. Fokusku teralih pada seseorang yang melambaikan tangannya padaku seolah ia tahu kondisiku.
Aku tak lagi memperhatikan apa yang diucapkan guru yang membawaku, Ia hanya menepuk pundakku sembari memberi isyarat supaya aku memperkenalkan diriku.
Lalu kuperhatikan lagi gadis yang tersenyum padaku sambil memintaku untuk duduk disampingnya.
Daniella, kau tidak ingat aku, ?
Ia tersenyum sangat cerah melebihi cerahnya mentari pagi ini. Aku pun ikutan tersenyum melihat wajahnya yang menenangkan.
Aku sendiri masih fokus menyelami ingatanku.
Ah, Daniella?? Rumah sakit waktu itu??
Aku menegaskan kembali ingatanku dan diangguki olehnya.
Ahh, sungguh senang rasanya menemukan seseorang yang mengenal dan mengerti kondisi ku.
Hati ku seketika berbunga-bunga, bukan karena pernyataan cinta dari seorang lelaki, melainkan sebuah penerimaan tanpa mengintimidasi.
.
.
Next..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments