Rumah sejuta kenangan yang menyimpan banyak sekali memori indah sekaligus pedih. Tak ingin aku berlama-lama larut dalam kesedihan itu, sesegera mungkin aku mengalihkan kembali perhatianku pada jalanan yang sepi ini.
Suasana yang asri masih mendominasi, membuatku merasa nyaman ditempat ini. Jika dibandingkan dengan yang sebelum-sebelumnya, lokasi ini jauh lebih baik.
Seperti biasa, aku nyaman dengan suasana senyap. Hingga sebuah tangan menyambar tubuhku membuat kepalaku menabrak pada sesosok tubuh lain.
Aaaw,,,
Mataku memicing hendak menyalahkan siapapun yang telah kurang ajar padaku. Namun tidak jadi, sebab pria tinggi itu telah lebih dulu membulatkan matanya marah.
Kau mau mati,,?
Aku baru tersadar setelah melihat sebuah motor pengantar pesanan melaju kencang, seolah ini jalan nenek moyangnya saja, pikirku.
Maaf, ucapku merasa tidak enak.
Pria itu tidak menjawab, ia perlahan melepaskan pegangannya dari bahuku. Lalu berbalik pergi. Pandanganku tak bisa lepas darinya, jantung ku berdebar-debar dengan begitu kerasnya.
Entah ini karena rasa gugup akibat ditarik secara tiba-tiba, atau karena melihat kilat kemarahan diwajah pria itu?
Aku tidak tahu pasti, yang jelas aku masih setia memandanginya hingga pria itu masuk kedalam rumah mewah yang sempat mengalihkan perhatianku tadi.
Dia sangat pemarah sekali, bukankah ini kali pertama ia melihatku,? Mengapa sikapnya seolah-olah telah mengenal lama?
Aku bersungut-sungut melanjutkan langkahku setelah sosok pria itu tenggelam ditelan pagar rumahnya yang tinggi.
Entah dari mana ia muncul, tiba-tiba saja sudah ada dan marah-marah, pikirku lagi.
***
Beralih pada pria yang marah-marah pada Shella, ia Rangga. Pemuda matang yang masih terjebak pada cinta masa kecilnya, Sera.
Awalnya pria itu ingin keluar sejenak menenangkan pikirannya, namun perhatiannya tertuju pada seorang gadis yang berjalan sempoyongan seolah tak punya tulang.
Lagi-lagi, Sera mengajak nya bicara serius. Tentu Rangga sudah sangat tahu tujuan dari pembicaraan itu.
Sekalipun Ardian lebih memilih wanita lain, aku tetap tidak mau bersamamu. Jika kita bersama, luka diantara kita bertiga tidak akan sembuh. Semua hasrat ingin memiliki sekaligus rasa bersalah itu akan selalu menghantuiku. Lebih baik kita membuka lembaran baru, berikan hatimu kesempatan yang baru.
Rangga terdiam dibalik pagar rumahnya, suasana sore yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi muram.
Salahkah aku mencintaimu,? Bukan kah si brengsek itu telah mengalah dan memilih wanita lain? tanya Rangga dengan nada putus asa.
Aku yang tidak mencintaimu Ngga, jangan paksakan perasaanku. Dan juga aku merasa bersalah padanya. Aku mencintainya namun bermain dengan pria lain.
Rangga mengepalkan tangannya kuat-kuat mengingat kembali kalimat penolakan demi penolakan yang selalu Sera lontarkan membuat kepalanya berdengung.
***
Kembali pada ku yang telah selesai berdamai dengan suasana hatiku, aku kembali melanjutkan aktivitasku merapikan kamar yang masih berantakan.
Sembari membereskan semuanya, pandanganku beralih pada surat pendaftaran pada sebuah sekolah negeri.
aku kembali menghela nafas berat, berbagai pertanyaan berkecamuk didalam benakku.
Akankah aku diterima baik yang notabenenya sama sekali tidak bisa mendengar ini,?
Aku tahu Ayahku memiliki koneksi didalam sekolah sehingga aku dapat diterima, namun bukankah itu tidak akan membantuku didalam kelas nanti nya,?
Aaakkhh, aku sungguh pusing, tidak ingin memikirkan itu semuanya.
Aku lalu turun, mungkin dengan melihat Ayah dapat menghalau semua pikiran-pikiran nelangsa itu.
Sayang, kau sudah turun.
Ini, bantu Ayah mengantarkan ini pada tetangga kita. Rumah besar yang paling ujung....
Tanpa penolakan, Ayahku segera mendorong-dorong tubuhku yang telah memegang sebuah kotak yang bisa kutebak itu adalah makanan ramah tamah.
Tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti Ayah. Walaupun kakiku rasanya berat melangkah, aku tetap harus mengantarnya melihat Ayah yang menggerak-gerakkan tangannya menyuruhku melanjutkan langkahku.
Ada apa dengan Ayah, dulu saja tidak seperti ini, sungut ku.
Aku telah tiba didepan pagar tinggi ini, perlahan namun ragu, aku memencet bel yang segera disambut oleh seorang bibi. Aku yakin itu adalah salah satu pekerjanya.
Halo nona, ah kau sudah datang. Mari silahkan masuk.
Kembali aku terheran, seolah beliau itu menyambut teman lama saja, pikirku.
Oh ya, kamu masukkan saja kedapur, jalan terus lalu belok kiri. Aku harus segera kebelakang, pekerjaanku tidak bisa ditinggal lama. Katanya.
Aku bahkan belum mengenalnya, bagaimana kalau aku orang jahat,? Aneh sekali.
Aku bertanya-tanya sambil berjalan mengikuti arahan yang diberikan bibi tadi.
Belum sempat aku menyelesaikan tujuanku, bahkan kotak makanan ini masih melekat didalam peganganku.
Tak sengaja saat melewati sebuah ruangan yang bisa kupastikan itu ruang tamu, aku melihat pria tadi, pria yang marah-marah padaku. Aku dapat melihat dengan jelas ekspresi yang ditunjukkan wajahnya.
Ada perasaan sedih dan frustasi, bercampur menjadi satu.
Mungkin kah ia sedang diputuskan,? aku dapat menebaknya dengan mudah.
Tentu saja, pria pemarah seperti itu layak diputuskan. Pikirku lagi. Sungguh otak ku tidak dapat diselamatkan.
Sayang sekali wajah wanita itu tidak terlihat karena membelakangiku. Namun dari caranya berpakaian dan tatanan rambutnya, aku bisa menebak jika ia adalah wanita elegan yang mempesona.
Aku melihat lagi pria itu mengusap wajahnya. Aku yakin sekali jika ia telah mengeluarkan air matanya. Diriku yang terbiasa memendam luka ini dapat mengerti bagaimana rasanya jadi pria itu.
Tak ingin berlama-lama menikmati aib orang lain, aku segera beranjak melanjutkan langkahku. Namun tiba-tiba saja tubuhku diterobos dan untung saja pertahanan kakiku kuat.
Kotak yang aku bawa tidak terjatuh walaupun tubuhku telah menabrak sebuah meja makan yang terletak didalam dapur.
Wajahku panik, dua sejoli itu ternyata telah berada ditempat yang sama denganku. Keduanya sibuk dengan urusan mereka yang mungkin sangatlah pelik. Kulihat wanita itu menyambar sebuah tas tangan yang tergeletak dimeja. Sepertinya ia hendak pergi.
Namun pria itu lagi-lagi menahannya, mungkin masih belum menemukan solusi.
Aku dapat menyaksikan semuanya dari jarak dekat, karena kaki ku enggan untuk menjauh. Sepertinya tontonan ini sedikit menghibur hatiku yang sempat gundah gulana.
Pandangan mataku sengaja ku fokuskan melihat bibir keduanya. Seolah tak ingin melewatkan satu pun kalimat penting.
Aku mengunjungi mu bukan untuk menjawab semua perasaanmu. Aku memutuskan untuk membuka kembali lembaran baru dihidupku. Tolong hargai keputusanku, hm?
Air mata wanita itu juga telah turun. Aku tidak yakin apakah permintaan itu benar-benar tulus atau tidak. Intinya ini semakin menarik.
Lalu kulihat pria itu menundukkan kepalanya.
Jika saja aku mendapatimu menikahi pria lain, aku tidak akan mau lagi mengenal yang namanya wanita. Akan kutunjukkan betapa gilanya aku.
Ia pergi. Aku terpaku. Namun pikiranku kembali.
Mereka tidak melihatku,? Aku bertanya-tanya.
Saat aku sibuk mempertanyakan diriku yang terlihat atau tidak, wanita itu menoleh padaku.
Cantik, kata pertama yang muncul dari bibirku. Sejak tadi aku tidak memperhatikan wajahnya, karena mataku hanya fokus pada bibirnya saja.
Kau pasti sudah sangat lelah menghadapinya kan,? Sama seperti ku. ucap wanita itu membuatku kembali kebingungan.
Aku menunjuk diriku.Otak ku seketika tidak berfungsi. Mungkinkah ada yang telah kulewatkan. Atau aku hanya bermimpi.?
Sudah tiga tahun aku berusaha membuka hatiku, namun tetap tidak bisa. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke negara asal ku. Tolong perhatikan dia ya. ucapnya.
Oh God..!
.
.
Next...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments