Segala sesuatu memiliki waktunya, seperti matahari dan kegelapan. Ada saatnya matahari beristirahat dari tugasnya dan digantikan oleh malam yang mungkin dihiasi bintang atau bulan.
Malam identik dengan gelap dan dingin. Seperti saat ini, Ila sedang menunggu seseorang di depan kafe yang sudah tutup beberapa menit lalu. Namun, orang yang ditunggunya belum juga datang.
Ila masih setia menunggu kedatangan Riko, yang siang tadi mengatakan akan menemuinya dengan tujuan yang tidak diketahui Ila.
Di tempat lain, Riko sedang tertawa bersama seorang gadis, yang tentu saja adalah seseorang yang spesial dalam hidupnya.
Saat ini, dua insan yang menjalin kasih itu berjalan menyusuri mall besar di kota itu dengan es krim di tangan mereka. Mereka terlihat seperti pasangan yang ideal dan romantis.
Satu jam berlalu, kini pukul sembilan malam. Riko memutuskan untuk mengantar Ara pulang. Mereka membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai di depan rumah Ara.
Riko tidak berniat mampir karena sudah terlalu malam untuk bertamu. Ia melajukan mobilnya, dan saat sampai di rumah, baru ia ingat sesuatu.
"Astaghfirullah, gadis itu," ucapnya sambil melirik arloji di tangan kirinya.
"Pukul sepuluh. Apa dia masih di sana?" monolog Riko.
"Ck, coba lihat dulu, siapa tahu dia masih di sana." Riko kembali melajukan mobilnya menuju kafe tempat Ila bekerja.
"Duh, Pak Dokter ke mana, sih? Sudah pukul sepuluh malam, tapi belum juga muncul. Nanti Ila pulang, Pak Dokter baru datang," gumam Ila, masih setia menunggu kedatangan Riko.
Perlu diketahui, Ila adalah orang yang konsisten dengan apa yang dikatakannya dan dikerjakannya. Jadi, wajar saja jika ia masih menunggu Riko sampai datang.
Ila mendongak menatap langit malam, "Lindungi Ila, Ya Allah. Ila tidak bermaksud pulang terlalu lama. Ila masih punya janji dengan Pak Dokter itu. Maafkan Ila jika Ila masih keluyuran di jam segini, Ya Rabb," monolognya, merasa bersalah.
Ila mewajarkan dan bahkan memakai prinsip bahwa keluar di atas pukul delapan malam untuk seorang perempuan adalah hal yang buruk, kecuali ada keperluan mendesak yang mengharuskannya keluar.
"Assalamualaikum," salam Riko, yang kini sudah berada di depan Ila.
Ila melihat sumber suara, "Eh, waalaikumsalam, Pak Dok," jawabnya, diakhiri senyum manis.
Riko melirik sekeliling kafe, "Kamu ngapain masih di sini?" tanyanya.
"Buat nunggu Pak Dokter. Katanya mau nemuin Ila jam delapan selepas pulang kerja. Pak Dokter sibuk banget, ya?" tanya Ila.
Riko menatap Ila dengan rasa bersalah, tetapi raut wajahnya tetap dingin dan cuek, "Kenapa tidak pulang saja? Saya sudah telat dua jam, dan kamu masih menunggu di sini, sendirian lagi."
"Ila sebenarnya mau pulang, tapi Ila takut menjadi orang yang apabila berkata ia dusta, jika berjanji ia ingkar. Makanya, Ila nunggu Pak Dokter di sini," jelas Ila.
Riko mengangguk, "Masuk ke mobil!"
"Mau kemana?" tanya Ila.
"Masuk saja," perintah Riko.
"Ke mana dulu? Ila tidak mau ikut kalau tidak tahu Pak Dokter mengajak Ila ke mana," kata Ila.
Riko menghela napas lelah, "Rumah sakit," jawabnya singkat.
"Ngapain?" tanya Ila.
"Obati sikumu," jawab Riko.
Ila menggeleng sambil memegang sikunya, "Luka di siku Ila sudah sembuh kok, jadi tidak perlu ke dokter lagi," tolaknya, padahal luka itu tidak kunjung membaik dan nyerinya semakin menjadi.
"Ikut saya! Kamu jangan banyak membantah, saya tidak suka dibantah!" geram Riko, lalu menarik tangan Ila yang untungnya memakai baju lengan panjang, jadi tidak bersentuhan langsung kulit dengan kulit.
Ia membukakan pintu mobil di sebelah pengemudi dan menyuruh Ila masuk. Setelah itu, ia berjalan menuju pintu pengemudi dan melajukan mobilnya menuju rumah sakit miliknya.
"Pak Dokter kenapa egois, sih?" kesal Ila.
"Diam, Ila. Jangan banyak tanya," ucap Riko, fokus pada jalan raya.
Ila memalingkan wajahnya. Lebih baik melihat kondisi jalan daripada melihat wajah menyebalkan Riko malam ini.
Mobil Riko sampai di parkiran rumah sakit. Riko turun dari mobil, tetapi Ila tetap di dalam mobil.
Riko menggeram kesal. Ia membukakan pintu mobil Ila dan menarik gadis itu untuk turun, "Turuti perintah saya! Ini semua demi kesehatanmu," ucapnya sambil menarik Ila yang sudah memasang wajah tidak suka.
Mereka kini berada di ruangan Riko yang didominasi warna putih dan cokelat.
Riko mendudukkan Ila di kursi di depan meja kerjanya dan bergegas memanggil suster untuk membawa peralatan yang akan digunakan.
Tak lama, suster datang dengan berbagai macam peralatan untuk mengobati luka di siku Ila.
Ila meringis melihat jarum suntik, gunting, benang khusus untuk menjahit luka, dan jarum.
Ia menggeleng menatap Riko penuh permohonan, "Pak Dok, Ila pulang saja, ya," ucapnya dengan suara serak, bahkan tangannya sudah terasa dingin dan bibirnya pucat.
Riko menatap Ila, "Berhentilah mengatakan itu. Kamu tidak akan pulang sebelum luka itu diobati."
Suster yang tadi membawa peralatan sudah keluar. Tinggallah mereka berdua dengan Riko yang sibuk mengatur jarum suntik.
FYI, Riko sudah memakai sarung tangan, ya.
Setelah membuka perban yang digunakan Ila untuk menutup lukanya, Riko mulai membersihkan luka itu, dan itu masih dalam penglihatan Ila.
Setelah merasa bersih, Riko mengambil jarum suntik dan mengarahkannya ke bahu Ila. Namun, hal itu dihentikan oleh Ila, "Pak Dokter, Ila tidak mau disuntik. Ila takut," ucapnya, dengan air mata berlinang.
Riko menghela napas, lalu menghembuskannya perlahan, "Jangan dilihat. Bersembunyilah di lengan saya. Kalau sakit, gigit saja," ucap Riko, yang kini posisinya sudah berada di depan Ila dengan keadaan serong, dan Ila bersembunyi di balik bahu kekar Riko, jangan lupakan tangan gadis itu berada di pinggang Riko.
"Bismillah, Ya Allah, Ila takut," ujarnya sambil menangis.
"Eh, Pak Dokter, kok pergi? Ila takut sama jarum suntik," ucap Ila saat Riko hendak mengambil jarum yang akan digunakan untuk menjahit lukanya.
Riko kembali ke posisi seperti tadi, dan kini ia akan melakukan tindakan selanjutnya. Sebelum itu, ia menatap Ila yang sudah menangis dan menempelkan telunjuk di bibir Ila, "Sst, berhenti menangis. Kamu bukan anak kecil lagi," ucap Riko, dan kini melanjutkan aksinya.
Cukup lama Riko melakukan tugasnya karena Ila yang terlalu cerewet dan Riko lelah dengan gadis itu.
Luka di siku Ila hanya mendapatkan satu jahitan, tetapi itu membutuhkan waktu yang sangat lama.
Riko melepas sarung tangannya dan membersihkan semua alat, sedangkan Ila masih sesenggukan karena merasa sedikit sakit saat obat biusnya sudah habis.
"Kenapa masih menangis?" tanya Riko heran.
"Sa-sakit," rengek Ila.
Riko menghela napas kasar, "Mengapa kamu cengeng sekali?" herannya.
"Tidak tahu. Ila mau pulang saja," kesal Ila, yang sudah berhenti menangis.
Riko mengangguk. Mereka berjalan ke arah parkiran, dan Riko melajukan mobilnya menuju rumah Ila.
Namun, di perjalanan, Ila meringis lagi, "Sst, aw."
Riko melirik Ila sekilas dan kembali fokus pada jalanan, "Kenapa lagi?"
Ila menggeleng, "Tidak apa-apa kok, Pak Dok," jawab Ila, lalu menampilkan senyum terbaiknya, yang hanya direspons anggukan oleh Riko.
Dua puluh menit di jalan, akhirnya mobil Riko berhenti di depan rumah kecil Ila.
"Terima kasih, Pak Dok. Salam buat Ibu, ya," ucap Ila. Lagi dan lagi, Riko hanya membalas dengan anggukan.
Mobil Riko sudah meninggalkan pekarangan rumah Ila.
Ila berjalan memasuki rumahnya. Namun, baru saja masuk, belum sempat membuka sepatu, Ila sudah dihadang oleh Hendra, "Uang lima ratus jutanya sudah ada, La?" tanya pria tua itu.
"Maaf, Yah, Ila tidak dapat pinjaman sebanyak itu," jawab Ila.
Hendra mendekati putrinya dan memegang kasar bagian siku yang baru diobati oleh Riko.
Ila meringis kesakitan saat pegangan kasar Hendra mengenai sikunya, "Ayah, sakit," rintihnya.
"Kamu itu, masa cari uang lima ratus juta saja tidak bisa. Kamu kan punya sahabat yang kaya, masa tidak minta bantuan dia saja?" tanya Hendra.
"Ila sudah minta bantuan sama dia, Yah. Dia cuma punya uang seratus juta," jelas Ila.
Hendra semakin menekan luka Ila, yang kembali membuat luka itu berdarah, "Sahabat macam apa itu? Kenapa cuma bisa memberi seratus juta? Dia kan kaya! Seharusnya dia bisa memberi lebih dong!" Hendra mendorong Ila hingga gadis itu tersungkur.
"Ayah, dia juga sedang dalam kesulitan. Kafenya juga sedang sepi, Yah," jelas Ila.
Plak!
Hendra menampar Ila, "Pokoknya, kamu harus cari uang itu. Sebelum uang itu ada, kamu tidak boleh pulang," ucap Hendra, menarik Ila dan mendorongnya, lalu mengunci pintu rumah.
"Bangun!" Tangan seseorang terulur ke depan wajah Ila yang masih menunduk menangis di depan teras rumah.
Ila mendongak menatap pemilik tangan itu, "Pak Dokter?" tanyanya, dan membalas uluran tangan Riko.
Riko berjalan menuju mobil, diikuti Ila dari belakang, "Masuk!" titahnya yang direspon gelengan oleh Ila.
"Kenapa? Kamu sudah diusir, bukan?" tanya Riko heran.
"Mau ke mana, Pak? Ila harus mencari uang yang Ayah minta," jawabnya sambil menunduk.
Riko membuka pintu mobilnya dan memaksa Ila untuk ikut bersamanya.
"Pak Dokter kenapa bisa ada di depan rumah Ila lagi?" tanya Ila setelah beberapa lama diam.
"Tadi saya mau mengantarkan obat kamu yang tertinggal di mobil, dan saya tidak sengaja mendengar ucapan kalian," jelas Riko apa adanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments