Bab 4

Pagi itu, mentari bersinar cerah, memancarkan cahaya yang menyilaukan mata.

Ila bergegas menuju kafe milik Ratu, meskipun jadwal kerjanya baru dimulai siang nanti. Ada hal penting yang harus diselesaikannya.

Dengan berat hati, Ila berniat meminjam uang dari sahabatnya. Ia terpaksa melakukannya demi melindungi sang ayah, Hendra, dari masalah yang mengancam.

Kini, Ila duduk di ruang istirahat karyawan kafe, menunggu kedatangan Ratu. Sambil menunggu, ia menonton video singkat tentang hukum di ponselnya.

Ila bercita-cita kuliah jurusan hukum, dan video yang sedang ditontonnya membahas perbedaan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Warga Negara (HWN) dari akun TikTok @lawfriend.

Video itu menjelaskan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu di seluruh dunia, tanpa memandang kewarganegaraan. Sementara HWN adalah hak yang dimiliki oleh warga negara suatu negara, dengan batasan dan aturan yang berlaku di negara tersebut.

"Assalamualaikum, tumben datang pagi, La? Bukannya shift-mu siang?" sapa Ratu, yang baru saja tiba dan hendak ke dapur. Langkahnya terhenti saat melihat Ila di ruang karyawan.

Ila menyembunyikan ponselnya dan mendekati Ratu, "Aku boleh bicara sebentar?" tanyanya ragu.

Ratu mengangguk dan mengajak Ila ke ruangannya.

"Ada apa, La?" tanya Ratu.

Ila duduk di kursi depan meja Ratu, menunduk, dan memainkan jemarinya.

Melihat gelagat aneh sahabatnya, Ratu mengerutkan kening dan mendekat, "Ada masalah yang ingin kamu ceritakan?"

Ila menarik napas dalam dan menatap Ratu, "Ayah ketahuan mencuri uang bosnya, Tu," ucapnya lirih.

Ratu menghela napas kasar, "Ayahmu itu memang merepotkan, La. Apa dia tidak kasihan padamu? Setiap hari selalu ada masalah yang dia buat, dan kamu yang harus menanggungnya," ujarnya kesal.

"Tu, aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Mereka orang tuaku. Surgaku ada pada mereka. Jadi, apa pun kesalahan mereka, aku harus membantu," jawab Ila.

Ratu menggeleng tak habis pikir, "Berapa uang yang harus diganti?" tanyanya.

Ila menggigit bibir bawahnya, "Lima ratus juta, Tu," ucapnya pelan.

Ratu terkejut mendengar jumlah itu. Ia berdiri dan berjalan ke jendela, memijat keningnya.

"Maaf, La, aku tidak bisa membantumu sebanyak itu. Kamu tahu sendiri, penghasilan kafe ini tidak seberapa. Dan aku sudah berjanji pada ayah untuk tidak memakai uangnya, karena aku memilih kuliah kedokteran. Jadi, maafkan aku," kata Ratu.

Ila mengerti. Ia tahu Ratu mengambil bagian di kafe orang tuanya karena ingin kuliah kedokteran, bukan bisnis keluarga.

Ila menunduk, "Tidak apa-apa, Tu. Aku mengerti," jawabnya.

Ia mendekati Ratu dan mengusap bahu sahabatnya itu.

Ratu menatap Ila iba, melihat wajah lelah sahabatnya. "Aku akan membantumu sebisa mungkin, La. Tapi untuk jumlah sebesar itu, aku tidak bisa," ujarnya.

Ila memeluk Ratu erat, menangis di pelukan sahabatnya. Ratu ikut menangis, merasa tak berdaya melihat sahabatnya yang rapuh.

Memiliki sahabat yang baik dan pengertian adalah anugerah. Namun, sebaik apa pun mereka, kita harus tetap berharap hanya kepada Tuhan.

Manusia bisa mengecewakan, tetapi Tuhan tidak pernah. Kekecewaan kita pada Tuhan sering kali disebabkan oleh kurangnya rasa syukur.

Manusia sering kali hanya meminta, tetapi lupa bersyukur. Mereka datang saat butuh, dan menghilang saat tidak butuh.

Waktu menunjukkan pukul satu siang, saatnya Ila bekerja di kafe hingga pukul delapan malam.

Ila bekerja dengan baik, tetap tersenyum ramah kepada pelanggan, meskipun hatinya sedang hancur.

Ratu sudah kembali ke kampus untuk bimbingan skripsi.

"Mbak, saya mau pesan," panggil seorang pelanggan.

Ila menghampiri pelanggan itu, "Ini buku menunya, Mas."

"Kamu?"

"Eh, Mas Dokter," ucap Ila saat melihat Riko.

Riko mendecakkan lidah, "Namaku Riko."

Ila mengangguk, "Iya, Mas Dokter. Mas mau pesan apa?"

Riko menghela napas jengkel, "Kopi susu satu, dan jangan panggil aku dokter."

"Baiklah, saya buatkan dulu. Mohon ditunggu, Mas Dok—"

Riko memelototkan matanya, membuat Ila segera pergi.

"Dasar aneh," gumam Riko.

Tak lama, Ila datang membawa segelas kopi susu hangat. Ia berjalan hati-hati karena sikunya masih sakit.

"Sikunya masih sakit?" tanya Riko.

Ila tersenyum, "Sedikit, Mas Dokter. Sudah saya beri salep, sebentar lagi sembuh."

Riko mengangguk kecil.

"Silakan diminum, Mas Dokter. Ini gratis, sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengantar saya pulang kemarin. Semoga Mas Dokter suka," kata Ila ceria.

Riko mengerutkan kening, "Tidak perlu. Saya masih punya uang untuk membayar kopi ini. Dan jangan panggil saya Mas Dokter."

"Astaghfirullah, maafkan saya. Tapi ini tetap gratis. Saya masuk dulu, ya. Assalamualaikum," ucap Ila, lalu pergi.

"Ikut saya!" Riko tiba-tiba menarik tangan Ila.

Ila melepaskan tangannya, "Maaf, Dok, tidak baik laki-laki dan perempuan berpegangan seperti ini."

"Baiklah, tapi ikut saya sekarang!" kata Riko.

Ila mengerutkan kening, "Kemana? Saya masih kerja, Dok. Nanti saya dipecat."

"Jam berapa kamu selesai?"

"Jam delapan malam. Ada apa, Dok?"

"Tunggu saya di sini jam segitu."

"Tapi—"

"Tidak ada bantahan!" Riko kembali ke mejanya, mengambil tas dan jasnya, lalu pergi. Ia meninggalkan selembar uang merah di bawah gelas kopinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!