Beberapa hari setelahnya. Adrian, Clara, Jamilah, dan Winda tiba di Hotel Loresto. Gedung pencakar langit itu menjulang angkuh di jantung kota, perpaduan apik antara kemewahan klasik dan sentuhan modern. Fasadnya berkilauan diterpa cahaya lampu jalan, marmer putihnya dihiasi pilar-pilar tinggi dan ukiran rumit yang memancarkan aura elegan. Begitu mereka melangkah masuk lobi, mata mereka langsung dimanjakan oleh kemegahan interiornya.
"Wah Hotel Loresto sering di pakai untuk kepentingan negara, biaya pertamu mencapai lebih dari 400 juta. Keluarga Santoso pesan seluruh Hotel untuk menyambut putri itu. Dia pasti sangat berharga." ucap Winda melirik Clara.
"Kakak sepupuku ini dari kecil pakai barang mewah. Waktu dia genap 18 tahun, ketiga kakak sepupuku beri hadiah senilai 20 triliunan. Nggak ada yang berani singgung kakak sepupuku di keluarga Santoso," ucap Clara dengan nada sombong, matanya berbinar-binar penuh kebanggaan sekaligus sedikit merendahkan.
Jamilah, yang sedari tadi mendengarkan, mendekati putranya, Adrian. "Adrian, nanti kamu harus sanjung dia. Buat dia terkesan. Kalau dia suka kamu, keluarga Santoso pasti jadi milik kita," ucap Jamilah, matanya berbinar penuh ambisi, sambil melirik Clara dengan senyum licik.
"Baiklah, Bu," jawab Adrian, meski dalam hatinya ada sedikit keraguan. Dia tahu, mendekati wanita yang begitu dimanja dan berkuasa tidaklah mudah.
Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depan lobi hotel. Anatasya keluar dengan gaun yang berkilauan, rambutnya yang panjang disanggul rapi, menyisakan dua helai rambut yang menjuntai indah. Dia berjalan dengan anggun, memancarkan aura percaya diri yang kuat, menghampiri pelayan yang ditugaskan untuk melayaninya.
Saat tiba di lobi hotel, Anatasya mendapati keluarga Pratama masih berada di sana. Winda, yang melihatnya, langsung melontarkan cibiran. "Kok jalang itu ada di sini sih?" ucap Winda heran, matanya menyipit penuh kebencian.
"Tasya, beberapa hari nggak ketemu, kamu ganti pasangan lagi?" tanya Winda, mencibir dengan nada sinis, berusaha merendahkan Anatasya di depan semua orang.
"Bahkan kamu menghadiri pesta keluarga Santoso?" tambahnya.
Anatasya, yang mendengar cibiran itu, hanya tersenyum tipis. Matanya memancarkan ketenangan yang menusuk, membuat Winda semakin geram dan frustrasi. "Ini pesta acaraku sendiri. Aku bisa datang kapan pun aku mau," ucap Anatasya dengan nada datar, namun penuh penekanan.
Clara terkejut mendengar jawaban Anatasya. Dia tidak menyangka Anatasya akan begitu berani.
"Nggak tahu malu sekali, kamu pukul aku, Kak Adrian belum kasih pelajaran. Dan kamu juga nyuruh orang untuk nyamar jadi Kak Damian. Sekarang kamu bilang sebagai putri bungsu keluarga Santoso. Berani sekali kamu," ucap Winda, matanya berkilat marah.
Pelayan yang melayani Anatasya, yang sedari tadi menahan diri, akhirnya bersuara, "Kalian nggak tahu siapa dia?" Namun, Anatasya dengan cepat mencegahnya, "Biarkan saja, mereka tidak pantas tahu."
Jamilah, yang melihat kesempatan untuk menyerang, maju ke depan. "Wanita jalang, baru bercerai beberapa bulan kamu sudah jalan dengan pria lain. Ngaku saja! Sebelum cerai kalian sudah bersama kan?" tuduh Jamilah, suaranya penuh kebencian dan penghinaan.
Clara, tidak ingin ketinggalan, menghampiri Adrian dan melirik Anatasya dengan senyum sinis. "Tasya, kalau kamu pilih pria kaya, pilih baik-baik. Jangan sampai kamu memilih pria yang cocok sebagai ayahmu," ucap Clara, diikuti tawa mengejek dari semua orang.
Adrian, yang merasa harga dirinya terluka, berteriak, "Tasya, aku nggak nyangka kamu begitu murahan. Bahkan pria tua saja kamu mau."
Anatasya, meski hatinya terluka, tetap menanggapi mereka dengan tenang dan senyum sinis. "Tidak tahu malu? Yang tidak tahu malu siapa, aku atau kamu? Belum bercerai sudah bawa selingkuhan ke rumah. Kamu punya malu?" ucap Anatasya, matanya menatap tajam ke arah Adrian.
Pelayan itu, yang geram melihat majikannya dihina, akhirnya tidak bisa menahan diri. "Hhmm, kudengar keluarga Pratama sukses berkat wanita. Pantas sifatnya buruk, nggak berkualitas.
Bagaimana bisa kalian menjadi kalangan atas? Kalian nggak pantas untuk hadir di acara keluarga Santoso," ucap pelayan itu, suaranya penuh penghinaan.
Adrian, yang tidak terima, marah dan menunjuk pelayan itu. "Pria tua, kamu nyindir kami?" suaranya bergetar menahan amarah yang meluap-luap.
Situasi semakin memanas, dengan emosi yang meluap-luap dari semua pihak. Anatasya, di tengah kekacauan itu, tetap berdiri tegak, memancarkan aura kekuatan dan ketenangan yang membuat orang-orang di sekitarnya merasa kecil. Dia tahu, menunjukkan kelemahan hanya akan membuat mereka semakin merajalela.
Tiba-tiba, di tengah suasana panas yang mencekam, suara tegas menginterupsi. "Maaf, acara akan segera dimulai. Dimohon semua tamu memasuki aula."
Adrian, dengan tatapan tajam yang penuh dendam, menatap pelayan tua itu. "Tunggu pembalasanku," ucapnya dengan suara rendah, mengancam, kemudian pergi meninggalkan Anatasya dan masuk ke dalam aula, diikuti oleh Clara, Jamilah, dan Winda.
Di dalam aula, suasana berubah menjadi meriah. Lampu-lampu kristal berkilauan, dan alunan musik klasik memenuhi ruangan. Seorang pria paruh baya berdiri di atas podium, tatapannya ramah menyapu seluruh ruangan.
"Para tamu, selamat datang di acara pesta penyambutan putri keluarga Santoso," ucapnya dengan suara lantang, disambut tepuk tangan meriah dari para tamu.
Winda, yang duduk di barisan depan, terkejut saat melihat pria di atas podium. "Pria tua itu... ternyata pengurus keluarga Santoso," bisiknya, matanya membelalak. "Kabarnya, pengurus keluarga Santoso adalah pebisnis andal yang terkenal di luar negeri, asetnya lebih dari 2 triliun. Karena pernah ditolong oleh keluarga Santoso, dia bersedia menjadi pengurus keluarga Santoso," jelas Winda, yang lebih mengetahui berita tentang kalangan pebisnis.
Adrian, yang mendengar penjelasan Winda, tertegun. Dalam hatinya, dia bergumam, 'Tasya, nggak nyangka ternyata kamu jago juga. Bisa-bisanya kenal dengan pengurus keluarga Santoso.' Rasa penyesalan mulai menyelinap di hatinya, bercampur dengan kekaguman yang tak bisa dia sangkal.
Clara, yang duduk di samping Adrian, menatap Anatasya dengan tatapan penuh kebencian. Dia tidak menyangka, wanita yang selama ini dia remehkan ternyata memiliki koneksi yang begitu kuat. Dalam hatinya, dia berjanji akan membalas dendam.
"Mungkin dia ingin memanfaatkan pengurus keluarga Santoso untuk menggoda pewaris keluarga Santoso. Hhhmmm, wanita jalang ini ternyata nggak tahu malu," ucap Jamilah, matanya menyipit penuh kecurigaan.
"Dia mau jadi menantu keluarga Santoso? Belum tentu abang sepupuku mau terima," timpal Clara, suaranya sinis dan merendahkan.
"Cukup!" sela Adrian, menghentikan perdebatan mereka. "Putri keluarga Santoso dan pewaris keluarga Santoso sudah mau datang. Aku harus manfaatkan kesempatan ini untuk menyanjung mereka," tambahnya, matanya berbinar penuh ambisi.
"Kami persilakan nona naik ke panggung," suara pembawa acara menggema di seluruh ruangan.
Semua mata tertuju pada panggung. Keluarga Pratama terkejut begitu melihat Anatasya naik ke atas panggung. Semua tamu bertepuk tangan dengan meriah, kecuali keluarga Pratama yang menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.
"Tasya, kenapa kamu ke situ? Kamu cuma wanita penjual ikan, bukan putri keluarga Santoso," teriak Jamilah, suaranya memecah keheningan.
"Bu, bagaimana kalau Anatasya beneran putri keluarga Santoso?" ucap Winda, suaranya bergetar karena ketakutan.
"Dia? Cih. Mana mungkin? Keluarga Santoso itu keluarga konglomerat selama 30 tahun. 23 tahun yang lalu, kita belum punya apa-apa. Kalau dia putri keluarga Santoso, mana mungkin dia suka kakakmu?" jelas Jamilah, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
"Tasya, aku sudah selidiki identitasmu. Kamu cuma pengemis, yatim piatu. Dulu kalau aku nggak terima kamu, kamu pasti masih pungut sampah," ucap Adrian, suaranya penuh penghinaan.
"Dulu aku nggak ingin mengandalkan kakak-kakakku. Aku suruh mereka buatkan identitas palsu dan sembunyikan identitasku, lalu menikah denganmu. Nggak nyangka, aku malah lihat wujud asli kalian," jawab Anatasya, suaranya tenang namun menusuk.
"Tasya, nggak usah pura-pura. Aku baru saja menelepon ayahku. Ayahku bilang acara keluarga Santoso hari ini batal. Putri keluarga Santoso tidak jadi datang," jelas Clara, setelah mengakhiri teleponnya.
"Siapa ayahmu? Dia nggak pantas tahu soal aku," ucap Anatasya, matanya menatap tajam ke arah Clara.
"Nggak usah belagu. Acara keluarga Santoso memang batal, tapi kudengar ketiga kakak sepupuku sudah mulai sampai. Kalau tahu diri, cepat pergi!" usir Clara. "Jangan sampai kebohonganmu terbongkar di depan mereka," tambahnya, suaranya penuh kemenangan.
Anatasya turun dari panggung dan menghampiri Clara.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Clara.
"Kamu perintah aku?" ucap Anatasya, matanya berkilat marah.
"Kamu!" teriak Adrian, tidak terima, dan membalas dengan memukul Anatasya.
"Wanita sialan! Dasar penipu, martabatmu rendah. Kamu berani pukul Clara? Kamu bisa datang ke sini karena tidur sama pria tua itu kan?" tuduh Adrian, matanya penuh kebencian.
"Aku putri keluarga Santoso, nggak usah jual diri," bantah Anatasya, suaranya dingin.
"Nggak usah nyangkal!" teriak Adrian lagi, emosinya memuncak.
Tiba-tiba, pintu aula terbuka lebar, dan tiga sosok pria dengan aura yang kuat memasuki ruangan. Damian, Julian, dan Rafael, kakak-kakak Anatasya, akhirnya tiba. Aura mereka yang dingin dan berwibawa langsung menyapu seluruh ruangan, membuat semua orang terdiam.
Adrian, yang tadinya penuh amarah dan penghinaan, langsung berubah sikap 180 derajat. Matanya berbinar penuh kekaguman dan harapan. Dia tahu, inilah kesempatannya untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan keluarga Santoso.
"Kak Damian, Kak Julian, Kak Rafael, selamat datang!" sapa Adrian dengan senyum lebar, berusaha menyembunyikan rasa malu dan penyesalannya. Suaranya dibuat seramah mungkin, jauh berbeda dari nada menghinanya tadi.
Clara, Jamilah, dan Winda pun ikut berubah sikap. Mereka memasang senyum manis dan berusaha mendekati ketiga pria itu, berharap bisa menarik perhatian mereka.
,
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments