Naruto tidak langsung menjawab. Ia melihat mereka satu per satu, membaca ekspresi mereka. Kemudian, dengan nada yang lebih lembut, ia berkata, "Aku nggak di posisi buat bilang siapa yang harus dikorbankan atau siapa yang harus berpisah. Tapi aku tahu satu hal—persahabatan kalian nggak boleh ditentukan cuma dari aturan sekolah."
Mayu mengerutkan kening. "Maksudmu?"
Naruto menyilangkan tangan. "Aku ngerti kenapa kalian nggak mau berpisah. Kalian udah selalu bersama selama ini, dan sekarang aturan sekolah memaksa kalian buat milih siapa yang bakal sendirian. Tapi... kalian sadar nggak kalau sebenarnya ini bukan soal peraturan, tapi soal kepercayaan?"
Kenji menatap Naruto, sedikit bingung. "Kepercayaan?"
Naruto mengangguk. "Iya. Kalian takut kalau berpisah, hubungan kalian bakal berubah. Takut kalau setelah ini, kalian nggak akan sedekat dulu. Takut kalau yang tertinggal sendirian bakal merasa dilupakan. Tapi kalau kalian benar-benar teman dekat, harusnya kalian percaya kalau hubungan ini nggak bakal rusak cuma gara-gara kalian berpisah sementara."
Mereka terdiam.
Naruto melanjutkan dengan nada lebih ringan, "Kalian udah lama berteman, kan? Aku yakin pertemanan yang kuat nggak bakal hancur cuma karena aturan study tour konyol kayak gini. Malah, ini bisa jadi kesempatan buat kalian buat melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Siapa tahu, dengan menghabiskan waktu di kelompok lain, kalian bisa lebih menghargai kebersamaan kalian setelahnya."
Kata-kata Naruto menggantung di udara.
Tatsuya menatap ketiga temannya, ekspresi kerasnya mulai melunak. "Jadi... kalau kita benar-benar percaya satu sama lain, kita nggak perlu takut berpisah untuk sementara?"
Naruto tersenyum kecil. "Kurang lebih begitu."
Mayu menunduk, seolah memikirkan sesuatu, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Aku... aku nggak mau hubungan kita berubah. Tapi kalau kalian merasa kita bisa melewati ini, aku juga akan percaya."
Kenji akhirnya mengangguk. "Aku juga. Aku masih nggak suka ini, tapi aku nggak mau kita bertengkar cuma karena aturan ini."
Riku mendesah, lalu tersenyum tipis. "Baiklah, aku mengerti. Kita bakal tetap berteman, nggak peduli kita ada di kelompok yang berbeda."
Naruto hanya mengangguk puas. "Nah, itu dia. Kadang yang terpenting bukan siapa yang bersama siapa, tapi bagaimana kalian menjaga ikatan itu tetap ada."
Dengan itu, ketegangan di antara mereka mulai mencair. Mereka masih terlihat enggan berpisah, tapi setidaknya kini mereka memiliki pemahaman baru.
Saat Naruto melangkah kembali menuju kelasnya, ia merasa lega karena telah membantu menyelesaikan pertikaian kecil itu. Namun, sebelum ia sempat benar-benar menikmati ketenangan itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Begitu ia mendekati pintu kelas, matanya menangkap sosok seseorang yang bersandar di balik dinding. Hiratsuka-sensei.
Dengan tangan terlipat di dadanya dan tubuh yang disenderkan di dinding, guru itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada sedikit rasa ingin tahu bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam—mungkin sedikit kekaguman, atau justru skeptisisme.
"Kau selalu punya cara untuk membuat dirimu menonjol, ya, Naruto?" suaranya tenang, tapi ada nada tajam di baliknya.
Naruto mengangkat alis, mencoba membaca situasi. "Sensei menguping, ya? Bukankah itu kurang etis?"
Hiratsuka hanya mendengus kecil, lalu mendorong tubuhnya menjauh dari dinding. "Jangan salahkan aku kalau percakapan kalian terlalu menarik untuk diabaikan."
Naruto menghela napas, sudah terbiasa dengan cara bicaranya yang blak-blakan. "Baiklah, jadi apa yang ingin sensei diskusikan?"
Hiratsuka mengamati wajahnya sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin tahu alasanmu melakukan itu. Kenapa kau ikut campur dalam urusan mereka? Kau bisa saja mengabaikannya, seperti kebanyakan orang."
Naruto terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. Lalu, dengan nada santai, ia menjawab, "Karena aku tahu seperti apa rasanya kehilangan sesuatu yang penting hanya karena kesalahpahaman kecil. Aku pernah mengalami itu, dan aku tidak ingin melihat orang lain mengalami hal yang sama."
Hiratsuka menatapnya dalam, seperti sedang mencoba mencari kepalsuan dalam kata-katanya. Tapi akhirnya, ia hanya menghela napas panjang dan tersenyum tipis. "Kau memang aneh, Naruto. Biasanya orang seusiamu tidak peduli dengan hal seperti ini. Bahkan orang dewasa pun sering kali menghindari masalah yang bukan urusan mereka."
Naruto hanya mengangkat bahu. "Mungkin aku hanya tidak suka melihat sesuatu yang bisa diperbaiki justru dibiarkan hancur."
Hiratsuka terkekeh pelan. "Terdengar seperti seseorang yang sok bijak."
"Mungkin." Naruto tersenyum kecil.
Hiratsuka menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya berbalik. "Kau memang menarik untuk diamati, Naruto. Aku penasaran apa yang akan kau lakukan selanjutnya."
Dengan itu, ia berjalan pergi, meninggalkan Naruto yang hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tidak yakin apakah itu pujian atau sekadar observasi netral, tapi satu hal yang pasti—Hiratsuka-sensei selalu bisa membaca dirinya lebih dalam dari yang ia perkirakan.
Saat Naruto kembali ke kelas, pikirannya masih terfokus pada percakapannya dengan Hiratsuka-sensei. Namun, tiba-tiba, sesuatu terlintas di benaknya—kasus yang sedang dihadapi Hayama.
Tobe, Ouka, dan Yamato.
Naruto mengerutkan kening, menyadari pola yang terasa familier. Insiden yang baru saja ia tangani tentang empat sekawan yang berselisih karena aturan kelompok tiga orang… bisa jadi situasi serupa juga terjadi pada mereka.
Ia mengingat kembali rumor yang beredar:
Tobe dikatakan suka membully siswa lebih lemah.
Ouka dikabarkan mengoleksi barang-barang porno.
Yamato dirumorkan suka menggoda wanita.
Semua itu membuat Naruto bertanya-tanya… bagaimana kalau bukan orang luar yang menyebarkan rumor itu? Bagaimana kalau justru mereka sendiri yang menebar fitnah satu sama lain?
Karena aturan kelompok tiga orang, salah satu dari mereka pasti akan tersingkir. Dan jika mereka bertiga memang hanya berteman karena keterpaksaan, maka sangat mungkin mereka mencoba menjatuhkan satu sama lain agar tetap bertahan di dalam kelompok.
Naruto berdiri diam di koridor, membiarkan pikirannya bekerja. Potongan-potongan puzzle mulai tersusun.
Tobe, Ouka, dan Yamato.
Tiga orang yang selama ini berada di orbit yang sama. Namun, apakah mereka benar-benar berteman? Atau hanya dipertahankan oleh sesuatu yang lebih besar dari mereka sendiri?
Sesuatu yang bernama Hayama Hayato.
Naruto memejamkan mata, menarik napas panjang. Persahabatan mereka bukanlah persahabatan sejati. Itu bukan ikatan yang terjalin karena saling memahami atau saling menerima. Mereka bertiga berada dalam lingkaran yang sama karena satu alasan sederhana:
Karena Hayama ada di tengah-tengah mereka.
Hayama bukan sekadar pusat perhatian di sekolah—dia juga pusat gravitasi bagi kelompoknya. Semua orang mengelilinginya, tertarik ke dalam daya tariknya, ingin menjadi bagian dari orbitnya.
Dan sekarang, aturan tentang kelompok tiga orang telah mengguncang keseimbangan itu.
Aturan ini bukan hanya sekadar regulasi biasa. Ini adalah pengingat brutal bahwa tidak semua orang bisa tetap bertahan dalam lingkaran yang sama.
Dan saat pilihan harus dibuat… mereka bertiga, tanpa sadar atau mungkin dengan sadar, mulai melakukan sesuatu yang kejam:
Mereka mendorong satu sama lain ke jurang.
Tidak perlu ada yang secara terbuka mengusulkan siapa yang harus disingkirkan. Tidak perlu ada yang menyatakan siapa yang paling tidak pantas. Mereka hanya perlu menyebarkan sedikit racun.
Satu rumor tentang Tobe yang suka membully siswa lebih lemah.
Satu gosip tentang Ouka yang mengoleksi barang-barang porno.
Satu kabar burung tentang Yamato yang suka menggoda wanita.
Cukup menyebarkan desas-desus yang tepat. Cukup membuat satu dari mereka terlihat sedikit lebih buruk dibandingkan yang lain.
Dan ketika waktunya tiba… salah satu dari mereka akan tersingkir, tanpa perlu ada yang memintanya.
Naruto membuka matanya. "Jadi ini alasan kenapa Hayama tidak ingin mencari pelaku penyebar rumor."
Hayama bukan orang bodoh. Dia pasti sudah melihat ini jauh sebelum orang lain menyadarinya.
Naruto menyeringai kecil. "Kau benar-benar tidak mau tanganku ikut campur, ya?"
Karena jika Naruto mulai menggali lebih dalam… kebenaran yang muncul mungkin bukan hanya tentang rumor. Mungkin juga tentang betapa rapuhnya ikatan persahabatan yang ada di sekitar Hayama.
Naruto melangkah maju, meninggalkan koridor dengan langkah mantap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments