Bugh!
Bugh!
Bugh!
"Cari rezeki yang halal, Bang!" Hasya berhasil mengejar jambret itu dan mengambil sebuah tas yang kemungkinan milik nenek tersebut.
Hasya meninggalkan lelaki tersebut, kemudian dia kembali ke lokasi tadi.
"Nek, ini tas nenek bukan?" tanya Hasya kepada Nenek tersebut.
"Ya, Nak. Ini tas nenek. Terimakasih banyak." jawabnya.
"Dilihat dulu, Nek. Takutnya ada yang kurang."
"Oh, gak usah, tas nenek memang tas kosong."
Mata Hasya terbelalak, "hah?" jadi, dia capek-capek mengejar jambret itu...? Hasya hanya bisa membuang napasnya kasar, lalu ia terpaksa tersenyum kepada nenek tersebut. "Oh, kalau begitu, saya pamit dulu." Hasya bepamitan dan dia shock lagi saat melihat jam yang melingkar di tangannya.
"Dua menit." Hasya langsung meninggalkan nenek itu dan berlari menuju gerbang perusahaan yang tinggal beberapa detik lagi ditutup.
"Pak! Tolong jangan ditutup dulu!" Hasya langsung masuk saat gerbang itu belum tertutup sempurna.
"Kamu terlambat!"
"Saya siap dihukum, Pak." jawab Hasya. Securitynya hanya geleng-geleng kepala. Sering kali Hasya terlambat karena harus melewati jalanan yang macet itu.
"Terlambat lagi?"
"Maaf, Bu. Tadi ada insiden sedikit." Hasya meringis.
"Alasannya selalu begitu. Nanti menghadap bos langsung, biar si bos yang kasih kamu hukvman." ucap Bu Leli, ketua dari semua Office Girl di perusahaan tersebut.
"Yah, jangan, Bu. Bagaiman kalau saya dipecat?" wajah yang tadinya masih ceria itu berubah murung.
"Dalam bulan ini, hanya dua hari yang tidak kesiangan, Hasya. Ibu juga tidak enak sama yang lain." Bu Leli mengusap punggung Hasya, dia juga tidak berbuat apa-apa. "Maaf, ibu gak bisa nolong kamu, harusnya kamu bisa bangun lebih awal." Hasya mengangguk, untuk kali ini, dia pasrah saja dengan keadaan.
Hufft
"Ya sudah, Bu. Sekarang saya akan ke sana." jawab Hasya.
"Si ratu kesiangan, enak sekali setiap hari kesiangan." ucap Lara, temannya.
"Maaf Lara, gue juga akan mempertanggung jawabkan kesalahan gue." jawab Hasya. Dia menunduk dan menaruh tasnya ke loker.
"Satu kos sama gue aja, biar kita bisa berangkat bareng." sahut Emi.
"Kos-an Lo jauh juga." Hasya tahu di mana Kos-koasan yang di sewa Emi.
"Tapi, gue gak pernah kesiangan." jawab Emi.
"Iya juga, gue duluan, ya. Gue harus ke ruangan bos langsung di suruh bu Leli."
"Hasya! Hati-hati, Lo, diterkam!" Mala menimpali. Semua karyawannya tahu kalau CEO di perusahaan mereka itu menakutkan. Tapi, Hasya belum pernah bertemu sebelumnya karena dia juga terlalu jauh. Hasya berada di lantai lima, sedangkan bosnya itu berada di lantai dua puluh.
"Haha, iya, loh!" Emi dan Lara ikut menakut-nakuti Hasya.
"Gue gak takut kecuali ibu tiri!"
"Lo punya ibu tiri?"
"Nggak, gue duluan, ya, bye!" Hasya langsung meninggalkan teman-temannya. Begitu pun dengan teman-temannya yang langsung memulai pekerjaan mereka.
Deg
Deg
Deg
Degup jantung Hasya berdetak kencang, baru kali ini dia harus menghadap ke bos nya. Menurut mereka yang sudah pernah bertemu, bosnya itu galak dan dingin, makanya Emi sudah mewanti-wanti dirinya.
Tok tok tok
"Permisi!" Hasya mengetuk pintu yang ia yakini adalah ruangan bosnya itu dengan ragu-ragu.
"Cari siapa?!" suara bariton itu mengagetkan Hasya.
Hasya berbalik dan ia mendongak, menatap orang yang berdiri tegak di depannya. "E-em... Sa-saya disuruh bertemu dengan Tuan Bara." wajah Hasya berubah pucat melihat orang di depannya.
"Ada keperluan apa?"
"Sa-saya kesiangan." Hasya tetap gugup. Orang ini sangat mendominasi, menurutnya.
"Masuk!" orang tersebut berjalan ke arah pintu, Hasya sendiri sedikit mundur untuk memberi jalan kepada orang tersebut.
Ceklek!
Orang tersebut membuka pintunya, sedangkan Hasya mematung di tempat.
"Saya tidak akan mengulangi ucapan saya!" ucapnya penuh intimidasi. Hasya terlonjak kaget.
"Silahkan kakaknya masuk!" ucap seorang perempuan yang mengikuti orang tadi itu dengan ramah.
"Te-terimakasih." jawab Hasya. Dia langsung masuk dan menghampiri Bara. Ya, dia adalah Bara, sang CEO di perusahaan tempat Hasya bekerja.
Bara menatap Hasya dari atas dan bawah, menurutnya, dia terlihat unik. "Alasan!"
"Em, itu... Anu, Tuan. E... Macet!" Hasya benar-benar gugup karena dari tadi Bara menatapnya tanpa kedip.
"Kayak pernah bertemu sama perempuan ini." Gumam Bara.
"Itu hanya alasan klasik yang selalu jadi alasan para pelanggar peraturan di sini!"
"Ma-maaf, Tuan. Memang itu kenyataannya." jawab Hasya.
"Apa kamu tidak mempunyai jam?"
"Ada, Tuan. Cuma..."
"Mulai hari ini, kamu pindah ke lantai dua puluh."
"Hah?!" Hasya melotot membuat Bara sedikit terlonjak.
"Apa gak ada hukvman lain, Tuan? Saya sudah nyaman di..."
"Pindah, atau saya pecat secara tidak terhormat?!"
"Jangan, Tuan. Kalau dipecat, saya gak bisa bayar kos."
"Gak menerima alasan."
"Baik, Tuan." Hasya membuang napasnya kasar. Dia sudah terlalu nyaman di tempat kerjanya yang sekarang, tapi dari oada harus dipecat secara tidak terhormat. "Eh, sebentar, dipecat secara tidak terhormat? Hasya mengernyitkan dahinya.
"Cepat kerjakan apa yang harus kamu kerjakan mulai sekarang! Jangan diam saja."
"Eh... Baik, Tuan." Jawab Hasya penuh kebingungan. Dia harus mengerjakan apa dulu kalau di lantai ini?
"Tolong buatkan saya kopi!"
"Ba-baik, Tuan." Hasya langsung mengangguk dan membungkuk, dia langsung keluar dari ruanga Bara dan mencari pantry.
"Permisi, Kak. Kalau pantry di mana, ya?" tanya Hasya kepada OG yang sedang menyapu di sana.
"Kamu OG baru, ya?" tanya perempuan itu.
"I-iya, kak. Perkenalkan namaku Hasya. Aku tadinya di lantai lima."
"Oh, nama saya Rasti. Semoga betah, ya, di sini."
"Baik, Kak. Terimakasih. Oh, ya. Kalau pantry sebelah mana, ya?"
"Kamu tinggal belok kanan saja, ke sana langsung ke pantry."
"Oh, maaf, saya mau tanya satu lagi. Kalau Tuan Bara biasa minum kopi apa?" tanya Hasya.
"Kamu mau buat kopi untuk Tuan Bara?"
Hasya mengangguk. "Iya." Jawabnya.
"Hebat sekali kamu bisa disuruh sama Tuan Bara. Biasanya beliau tidak pernah menyuruh kita-kita. Beliau selalu bikin sendiri."
"Hah?" Hasya terbelalak.
"Selamat, ya. Ya sudah, sekarang bikinkan, saya gak tahu seleranya bagaimana?"
Hasya benar-benar dibuat bingung, bagaimana dia mau membuat kopi kalau tidak tahu kopi apa yang di sukanya.
Sementara di ruangan Bara.
"Good morning, Beb," sapa seorang wanita, yang tak lain adalah Laura, kekasih Bara.
Bara menoleh dan menatapnya sekilas. "Morning," jawabnya. Dia kembali fokus ke komputernya.
"Beb. Aku minta transfer lagi sepuluh juta. Uang yang kemarin sudah habis dipakai beli baju." baru saja masuk, Laura sudah seperti minta uang ke ayahnya sendiri. Dia dengan bebas meminta uang kepada Bara yang statusnya hanya sebagai pacar.
Bara menautkan alisnya. "Sekarang, kamu sering banget minta uang."
"Sayang, kamu tahu aku, bukan?"
"Ya, nanti aku transfer."
"Aaa... Thank you! Aku semakin cinta sama kamu." hampir saja Laura mau memeluknya. Tapi tangan Bara dengan sigap menghalanginya.
"Beb, kenapa sih, kamu itu gak mau banget di sentuh? Aku pengen peluk." rengek Laura. Usianya hanya beda satu tahun saja dengan Bara tapi kelakuannya melebihi anak kecil. Apa pun yang dia inginkan harus diturutinya dan harus segera dikabulkan. Tapi karena cintanya yang terlalu besar kepada Laura, membuat Bara tidak bisa berkutik apalagi kalau sampai Laura marah, dia akan sulut lagi mendapatkan maafnya.
"Hanya itu satu, tolonglah kamu mengerti. Aku hanya menjaga orang yang aku cintai supaya aku tidak berbuat lebih setelah tahu rasanya bersentuhan sama kamu." selalu itu alasan yang Bara katakan kepada Laura.
"Lebih pun tidak masalah, supaya nenek kamu segera merestui hubungan kita." Ya, keduanya terhalang restu dati neneknya Bara, dia sangat tidak setuju kalau Bara menikah dengan Laura. Tapi penyebabnya apa? Dia pun tidak mengetahuinya.
"Aku tidak akan melakukan itu, yang ada, nanti aku dikeluarkan dari kartu keluarga mereka, lalu aku juga tidak akan punya apa-apa lagi. Semua fasilitasku diambil, kamu mau?"
Laura yang dipikirannya selalu uang, dia menggeleng dengan cepat. Tidak ingin kalau sumber uangnya segera pergi.
"Hmm... Baiklah..."
"Jangan sedih, beberapa bulan lagi kita akan tunangan dan selanjutnya kita menikah. Tapi, setelah menikah, aku ingin kamu berhenti menjadi model dan diam di rumah menungguku pulang." Bara mencoba menenangkan Laura, dia sudah mendapatkan restu dari orangtuanya. Yang harus dia lakukan adalah memenuhi target yang neneknya berikan untuk tahun ini. Neneknya pernah memberikan syarat itu kalau ingin menikah dengan Laura.
Wajah Laura ditekuk, mana mungkin dia bisa diam di rumah? Tapi dia terpaksa mengangguk karena tidak ingin kehilangan sumber keuangannya.
Tok tok tok
"Permisi!" Hasya mengetuk pintunya dari luar. Dia terlonjak dan kopi yang baru saja dia buat hampir saja tumpah saat melihat pintunya tiba-tiba terbuka sendiri.
"Silahkan, kopinya, Tuan." Hasya menaruh kopinya di samping Bara.
"Beby, kamu...!"
"Kerjaan aku lagi banyak, Sayang." jawabnya.
"Tumben sekali, awas aja ada racunnya." Hasya cemberut. "Memangnya dia bisa bikin kopi?"
Bara tidak menanggapi apa yang Laura tanyakan. Dia langsung mengambil gelas itu dan menyeruput kopinya sedikit."Kok, takarannya bisa pas?" tanya Bara di dalam hatinya. Kemudian dia kembali menyeruput kopinya lagi sedikit banyak. "Lebih pas sama yang biasa aku bikin, padahal aku gak ngasih tahu dia kopi apa, tapi dia bisa cocok begini di lidahku."
"Sayang!"
"Sorry!" Bara kembali menaruh gelasnya. Kemudian dia menatap Hasya yang masih berdiri di sana. Awalnya dia hanya menunggu Bara, apakah kopi itu salah atau tidak? Tapi kenapa Bara sangat lama mencicipi kopi yang dibuatnya.
"Jam sepuluh nanti, tolong bikinkan lagi." diluar dugaan, justru Bara malah meminta kembali untuk dibuatkan kopinya.
Hasya terbelalak, tapi ia segera menetralkan ekspresinya setelah mendapatkan tatapan tajam dari Laura. "Em... Baik, Tuan." Hasya mengangguk patuh, lalu ia berbalik setelah izin untuk kembali keluar ruangan.
"Sayang..."
"Aku akan mulai bekerja, ya. Kamu mau tetap di sini?" Laura hanya bisa cemberut. Sebenarnya dia sudah lelah berhubungan dengan Bara, tapi dia juga tidak ingin sumber keuangannya hilang.
"Aku pulang saja, jam sepuluh nanti ada pemotretan." jawab Laura.
"Tetap jaga jarak!"
"
"Hmm... Bye!"
***
"Hubungan yang aneh..." dumel Laura.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments