“Ah..! Akhirnya, tutup toko juga! Aku sudah tak sabar, ingin bercumbu dengan bantal tercinta!”
Seorang pria yang bekerja di toko penggadaian, bergumam sembari melakukan sedikit perenggangan tangan, untuk melemaskan otot-ototnya yang telah lelah bekerja seharian.
Namun, sepertinya harapan sang pria untuk segera pulang itu harus diundur. Sebab baru saja ia ingin menutup rolling door tokonya, ia sudah dikejutkan oleh seorang wanita yang tiba-tiba hadir dihadapannya.
“Maaf mengganggu waktunya sebentar. Sebelum tokonya benar-benar tutup, mohon izinkan saya menggadaikan sesuatu.”
Perempuan itu meminta dengan santun, menatap pria dihadapannya penuh harap.
Pria yang berpakaian juga masker hitam, memindai secara menyeluruh perempuan dihadapannya dari ujung rambut, hingga ujung kaki.
Rambut sebahunya yang mulai lepek, wajah cantiknya yang berkeringat dan berwarna merah, ransel berat yang ia pikul dibahu, kaus tipis yang dibasahi keringat dan hanya dibalut jaket tipis, celananya yang cukup pendenk, juga sepatunya yang sudah terdapat banyak sobekan.
“Dia ingin menggadaikan sesuatu?” pikirnya dalam hati.
Ragu perempuan dihadapannya tak memiliki hal berharga apapun, ketika melihat sepatunya yang sudah rusak.
“Tapi, ransel yang ia kenakan sepertinya berat. Apa ia menyimpan banyak barang berharga didalamnya?” pikirnya lagi, sedikit mempertimbangkan.
Pria itu menghela napas berat. “Baiklah, apa yang ingin anda gadaikan, nona?”
Ia sedikit terpaksa bertanya, berharap bisa menemukan sesuatu dari dalam ransel perempuan tersebut.
“Anu.. maaf sebelumnya.. tapi, saya tak memiliki apapun selain..” ucap perempuan lusuh bertele-tele, sedikit ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Iya, iya.. saya tahu. Ransel itu pasti berat, kan? Anda bisa mengosongkan isinya dan menukarnya dengan uang di sini. Berapa yang anda butuhkan?”
Sang pria penjaga toko gadai, sedikit salah paham oleh harapannya sendiri.
Sontak membuat wajah perempuan penggadai kian merah akibat malu.
“A-ah..! Bu-bukan begitu! Maaf, tapi anda salah paham. Tak ada apapun dalam ransel ini, selain baju salin saya juga da-da.. da.. dalemannya.”
Ia mencoba memberikan penjelasan dengan gugup, merasa malu harus mengatakan hal yang bersifat privasi.
Pria yang mendengarnya, sempat terkejut lalu menatap dengan heran penuh tanya.
“Lalu.. apa yang ingin anda gadaikan?”
“Ini mungkin akan terdengar aneh atau gila, tapi.. tapi saya.. tak punya pilihan selain menggadaikan..”
“Bicaralah yang jelas, nona!”
“Saya ingin menggadaikan diri saya sendiri!”
Suara si perempuan, dengan lantang menjawab sembari memejamkan matanya, malu.
“Hah!” pria penjaga toko gadai kian dibuat terkejut olehnya.
“Maaf, tapi hanya itu yang saya miliki. Saya butuh uang untuk menyewa tempat tinggal sementara sembari saya mencari kerja lagi. Saya benar-benar tak tahu harus kemana lagi mencari tempat tinggal. Sejak kepergian kedua orang tua saya, begitu sulit untuk mencari kerja. Bahkan saya diusir dari rumah yang mereka sewa semasa hidup, karena saya tak mampu melanjutkan bayar sewa. Jadi, saya mohon izinkan untuk..”
“Kau gila, ya! Ini toko penggadaian barang, bukan manusia!”
“Karena itulah, tadi saya ingatkan diawal bahwa ini akan terdengar gila. Tapi saya tak tahu lagi bagaimana caranya untuk tetap bertahan hidup esok hari.”
“Lupakan! Aku tetap tak akan menerima tawaranmu.”
Sang pria ketus, menutup rolling door pada tokonya.
“Saya mohon..! Saya janji akan melakukan apapun untuk anda. Jadi asisten rumah tangga pun, saya rela!”
Si perempuan malang, terus memohon dengan sedikit paksaan halus.
“Aku takkan tergiur dengan tawaranmu!”
Namun si pria tetap tegas menolaknya, sembari melangkah acuh hendak pulang.
“Saya mohon! Saya sudah lelah berjalan seharian mencari tempat untuk tinggal. Tolong jangan buat saya mati kedinginan di sini!”
Isak si gadis tuna wisma, masih berusaha memohon pada harapan hidupnya.
“Bukankah lebih baik begitu? Kau akan lebih bahagia jika bertemu orang tuamu, kan?”
Namun pria sinis yang sudah semakin lelah, menusukkan lidah tajam dengan nada bicara dingin, sembari menatap jengkel lawan bicaranya lalu pergi begitu saja.
Ia pergi, meninggalkan gadis yang masih terdiam kaku dengan tatapan kosong. Ucapannya, bagai panah yang menembus hati sang gadis, untuk mencabik-cabik isinya. Sungguh luka yang akan membekas.
[Beberapa waktu lalu]
Airi masih terdiam di depan kedai Lecho’s, merenungi bagaimana ia harus melanjutkan hidupnya. Ia ingin mendapatkan uang, dengan usahanya sendiri. Itulah yang membuatnya menolak bantuan dari Leo dan Picho sebelumnya.
Namun, ia tak bisa fokus mencari kerja jika tidak memiliki tempat tinggal. Jika terus kerja serabutan dan tidur dijalanan seperti ini, kesehatannya akan menurun dan itu hanya membuatnya semakin menyedihkan.
Disisi lain, Leo dan Picho masih mengawasi tingkah Airi yang sepertinya belum menemukan arah, dari balik jendela rumahnya.
Jujur saja mereka merasa khawatir dengan gadis itu, namun mereka tak boleh merendahkan harga diri perempuan yang sedang berjuang menjadi mandiri.
Karena saat seusianya pun, mereka juga berjuang tanpa bantuan siapapun. Meskipun ada yang ingin membantu, mereka malu untuk menerimanya.
Sedangkan gadis yang masih tak tahu arah, tanpa sadar menemukan toko penggadaian di seberang kedai tempatnya berdiri.
Dengan berbagai pertimbangan dan ide gila, ia memutuskan untuk melangkah ke toko tersebut. Berharap ia bisa mendapatkan uang dari situ untuk sementara waktu.
Namun tak disangka, keputusan gilanya ini hanya membawa luka yang mendalam. Pria penjaga toko, begitu kejam padanya.
Ia memang sudah terbiasa mendapatkan perkataan dan tindakan tajam dari berbagai tempatnya kerja sebelumnya, namun yang kali ini terasa begitu menyayat hatinya.
“Apa ini karma, karena aku menolak tawaran mereka? Apa seharusnya aku terima saja kebaikan yang tulus itu?”
“Tidak! Aku akan tetap menunggu di sini, hingga pria itu mau menerimaku!”
Airi menyimpan ransel beratnya di tepi rolling door toko, dan duduk di dekat ransel sembari bersandar pada rolling door. Menikmati indahnya langit berbintang, juga mencoba melupakan dinginnya malam.
Sedikit mengenang kedua orang tuanya, tanpa sadar ia menangis penuh rindu yang mendalam. Sungguh pilu suasana hatinya malam ini, ia tak bisa lagi berpura-pura kuat.
Dari seberang toko pegadaian, lebih tepatnya dari kedai Lecho’s… Picho yang kebetulan ingin menutup pagar, tak sengaja melihat Airi yang terduduk kedinginan di seberang jalan. Merasa khawatir, ia pun memutuskan untuk menghampirinya.
“Airi? Apa yang kau lakukan di sini?”
Airi menatap Picho dengan matanya yang masih basah, sedikit memaksakan senyumannya sebelum menjawab dengan suara parau.
“Bukan apa-apa. Aku hanya.. sedang istirahat sejenak.”
Jelas Picho menyadari mata basah gadis malang itu.
“Kau menangis?”
Ia bertanya lembut, penuh rasa khawatir. Lalu berjongkok agar menyamai posisi gadis dihadapannya.
Airi menggelengkan kepalanya lemas.
“Tidak. Ini hanya air mata ngantuk. Tenang saja.”
“Di rumah Leo, ada banyak kamar. Kau beristirahatlah dulu di sana untuk sementara waktu. Disini terlalu dingin dan berbahaya bagi gadis sepertimu.”
Picho menawarkan dengan penuh kehangatan, tak tega jika harus melihat Airi sendirian di pinggir jalan. Khawatir ada pria nakal yang mengganggunya.
“Tak perlu repot-repot. Aku istirahat di sini saja, tak apa.” tolak Airi dengan lembut.
Menyadari wajah gadis dihadapannya kian putih, juga melihat bibir manisnya yang membiru. Dengan sigap Picho melepaskan jaketnya yang cukup tebal, lalu memberinya pada Airi.
“Pakailah! Jaket yang kau kenakan terlalu tipis untuk melindungi tubuhmu dari rasa dingin.”
Airi menatap ragu pada Picho. Merasa akan mendapatkan penolakan lagi, Picho terpaksa memakaikan jaket tersebut tanpa mempedulikan diterima atau tidak.
Beberapa saat setelahnya, Picho menatap cemas pada Airi. Ia ragu, apakah boleh meninggalkan gadis cantik sendirian di pinggir jalan malam hari atau tidak.
Namun dengan penuh inisiatif dan rasa tanggung jawab, ia akhirnya memutuskan duduk di sebelah Airi, untuk menjaga perempuan itu tetap aman malam ini.
Airi menatap heran pada Picho. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya polos.
“Menjagamu.” jawab Picho dengan lebih polos, sejujur mungkin.
“Tak perlu, sebaiknya kau pulang saja. Kawanmu pasti khawatir menanti di rumah.”
Seperti biasa dan sesuai dugaan, Airi terus menolak bantuan dari Picho.
“Jika kau merasa tidak nyaman beristirahat di kedai kami, setidaknya biarkan aku disini untuk menjagamu. Aku hanya tak ingin disalahkan, jika hal buruk terjadi padamu malam ini.” tegas Picho, masih enggan meninggalkan Airi.
“Terserah!” pasrah Airi.
Mereka pun menikmati malam dalam hening, larut akan lamunan masing-masing. Sesaat, Airi kembali teringat akan orang tuanya, juga kalimat tajam yang pria dingin tadi berikan. Sontak hal itu membuatnya menangis lagi.
Picho yang menyadari isak tangis, spontan menatap lembut ke arah gadis di sebelahnya.
“Kau menangis?”
Airi menggelengkan kepalanya lagi.
“Tak apa. Menangis bukan bukti bahwa kita lemah, melainkan cara alami tubuh membuang racun dalam hati yang mungkin akan mengganggu. Kau bisa menangis dan jujur pada dirimu sendiri.”
Picho masih berucap dengan penuh kelembutan, sorot matanya tampak begitu hangat. Detik itu juga, Airi mendekap erat tubuh Picho lalu memecahkan tangis sejadi-jadinya.
“Mengapa kau begitu baik!? Hiks! Selain orang tuaku yang sudah berada di langit, tak ada lagi orang yang berlaku baik padaku. Aku berjuang mati-matian mencari kerja, dan selalu diperlakukan kasar oleh atasan. Hiks! Dan sekarang.. aku di sini untuk mencari kerja, untuk mendapatkan tempat tinggal. Tapi.. dia malah menolakku.. hiks.. hiks..! Rasanya aku ingin menyusul orangtuaku saja!”
Airi menumpahkan setiap beban hidupnya. Picho yang mendengar cerita pilu, tanpa sadar ikut mendekapnya. Membelai rambutnya dengan lembut, memberikan ketenangan.
“Mengapa tak mencoba tinggal sambil bekerja di kedai kami?” tawar Picho dengan hangat.
“Kalian sudah terlalu baik padaku! Aku tak bisa menerimanya lebih dari ini!”
Jujur saja, Picho masih khawatir dan prihatin pada Airi. Namun ia tak bisa memaksakan kehendak gadis penuh tekad untuk menolak bantuannya.
Tak ada lagi yang bisa Picho katakan. Ia hanya mendengarkan tangisan dan setiap keluh kesah Airi, hingga gadis malang yang kelelahan itu terlelap pada pangkuan Picho. Ia pun memutuskan untuk tetap menjaga Airi malam ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments