Sesungguhnya Jeje malas meladeni pria itu, namun karena kliennya kali ini meninggal dunia sebelum habis masa kontrak, dia tidak punya pilihan lain, apalagi pria yang mengaku sebagai sosok adik almarhum Revan itu pernah mendengar obrolan Jeje dengan Ryu ketika almarhum Revan dinyatakan meninggal dunia oleh pihak Rumah sakit.
"Lakukan sesuai dengan kesepakatan kita, jangan banyak bicara dengan keluargaku, kamu cukup pasang wajah kamu saja disana, paham kamu!"
Saat mobil sport berwarna putih itu baru saja memasuki halaman perumahan elit itu, Jeje sudah kembali dihujani perkataan yang sudah seperti kata perintah dari sang Raja saja.
"Lalu untuk apa aku kemari, buang-buang waktu saja," Jeje seolah enggan untuk turun, dia bahkan sengaja menyandarkan kepalanya dibahu kursi dengan tampang wajah malas.
"Apa kamu tuli? Kamu cukup datang saja, biar aku yang menyelesaikan segalanya," ujarnya kembali.
"Ini tidak ada dalam perjanjian kontrakku dengan almarhum Revan, jadi jangan ngelunjak kamu ya!"
Jeje sadar pekerjaannya memang bukan hal yang terpuji, namun selama ini dia tidak pernah memaksa klien untuk bekerja sama dengannya, mereka sendiri yang datang mencari dirinya.
"Bukannya aku sudah pernah bilang, bahwa selagi kontrakmu belum habis, segala tanggunganmu dengan almarhum Abangku kini beralih kepadaku, atau kamu mau berurusan dengan Kantor Polisi saja?" ancamnya kembali.
"Ck, jangan bawa-bawa Kantor Polisi segala bisa nggak sih? ini tidak ada kaitannya dengan kasus kriminal, karena kami sudah sepakat waktu itu."
"Dan mulai saat ini sampai masa kontrakmu habis, kesepakatanmu sudah pindah ketanganku, paham kamu!"
"Kenapa kamu maksa banget sih, apa kamu jatuh cinta pada pandangan pertama denganku, heh?" Jeje sengaja tersenyum semanis mungkin, walau hatinya sebenarnya tetap saja dongkol.
"Hahaha, jangan ngelawak! Aku mau muntah dengernya!" Namun ternyata pria ini malah tertawa, seolah mendengarkan lelucon yang mengocok perutnya.
Kampret nih orang, beneran cinta sama aku nyahok Lu!
"Bagaimana kalau kamu benar-benar suka denganku?" Jeje seolah masih kekeh, walau sebenarnya dia ingin menutupi rasa malunya sendiri.
"Akan aku pastikan itu hanya dalam mimpimu saja, karena seleraku tidak serendah kamu!"
Anjir bet nih orang, apa si paijo paijanku kurang memikat? Atau aku perlu nambah silikon bigsize biar dia termehek-mehek denganku, awas saja nanti!
"Hm, terserah kamu saja, lagian waktunya tinggal kurang dari satu bulan lagi aja, suka-suka kamu ajalah, aku sudah malas ribut!" Baru kali ini dia merasa insecure dengan diri sendiri, dia merasa ada yang kurang dari dirinya.
"Cih, jangan suka berkhayal dan jangan banyak tingkah, diam disini sebelum aku menyuruhmu turun!" Pria itu benar-benar terlihat acuh sekali, dia benar-benar terlihat tidak tertarik dengan wanita disampingnya itu.
Kampret!
Dan akhirnya Jeje memilih melengos, saat ucapannya seolah diremehkan begitu saja, sebenarnya hatinya sudah kesal, emosinya pun ingin meledak, tapi saat mengingat Ibu almarhum yang begitu histeris saat pemakaman tadi, Jeje mencoba meredam segala emosi sebisanya.
♡♡♡
Kain bendera berwarna putih masih terselip dipagar rumah itu, seolah menandakan bahwa penghuni rumah itu masih berduka.
"Pa, apa keadaan Mama sudah membaik?" ucapnya saat dia melihat kedua orang tuanya yang ternyata masih duduk termangu tanpa suara.
"Ya begitulah, dia masih belum percaya jika Revan sudah tiada."
"Sebenarnya aku pun sama Pa."
"Apa dia juga tidak pernah cerita apapun jika selama ini dia sakit?"
"Tidak Pa, waktu itu aku tidak sengaja mendengar suara Dokter saat kami sedang berbincang ditelepon, jadi aku khawatir dan memutuskan untuk datang kesini melihat Abang dan ternyata bibi yang ada dirumahnya bilang bahwa Bang Revan sedang sakit dan sudah beberapa hari dirawat dirumah sakit."
"Astaga, anak itu memang seperti itu, tidak pernah mau merepotkan orang lain dan selalu memendam semuanya sendiri," keluhnya dengan nada suara lemah.
"Em, maaf sebelumnya Pa, bisa kita kumpulkan keluarga kita sebentar, aku mau mengumumkan sesuatu."
"Sesuatu? Apa itu?"
"Tolong bawa keluarga kita ke ruang keluarga semuanya, aku akan datang kembali sebentar lagi."
"Baiklah."
Pria itu kembali keluar untuk menjemput Jeje yang masih menunggu didalam mobil miliknya.
"Saatnya kamu melakukan tugasmu!" titahnya sambil membukakan pintu mobil untuk Jeje.
"Ck, lebay lah!" ujar Jeje sambil tersenyum miring.
"Jaga sikapmu didepan keluargaku, tak perlu banyak bicara, kamu boleh menjawab pertanyaan mereka tapi secukupnya saja jika perlu dan itupun harus sesuai perintahku."
"Nanana.. Lalala," Jeje seolah tidak perduli, dia hanya ingin mengikuti permainan pria itu saja saat ini.
"Kamu paham tidak, hah!" teriaknya didepan wajah mulus Jeje.
"Paham paduka raja Fir'aun!" Jawab Jeje dengan nada yang tak kalah pedas.
"Hei kau ya!" Dia yang memulai meninggikan suara, dia pula yang tidak terima saat dibalas.
"Apa kamu ingin melihat Ibumu syok lagi, mereka sekarang sedang melihat kearah kita diujung sana," Jeje menunjuk sepasang suami istri yang tak lagi muda itu ternyata kini sudah menatap kearah mereka.
"Awas kau ya!"
Pria itu mengurungkan segala umpatannya, karena ternyata kedua orang tuanya sudah berdiri didepan pintu dengan wajah yang masih berselimutkan duka dan rasa penasaran tentunya.
"Daniel, siapa dia?" teriak pria yang masih menggunakan peci berwarna putih dikepalanya itu.
Oh, ternyata namanya Daniel, emang mirip sih sama kudanil haha.
Jeje memutarkan kedua bola matanya dengan jengah saat mengetahui nama pria yang sudah menguji emosinya sejak pertama kali bertemu itu.
"Dia istri Abang Revan Ma." Daniel menyenggol lengan Jeje, agar dia melangkah maju untuk memperkenalkan diri.
"APA? Bahkan Abangmu sudah menikah?"
Namun ternyata ekspresi kedua orang tuanya terlihat begitu terkejut, karena memang selama ini tidak tahu apa-apa.
"Daniel, kenapa kamu tidak bilang dengan keluarga kita nak?" Rasa sakit itu pasti ada, ketika seorang anak tidak meminta doa restu untuk menikah dengan orang tua.
"Aku pun baru tahu saat di Rumah sakit kemarin Pa." Daniel pun tidak bisa berbuat apa-apa, mau protes pun tidak bisa karena orangnya kini sudah tidak ada dan kemarin pun dia tidak sempat berbicara langsung karena saat dia datang abangnya sudah tidak sadarkan diri.
"Kapan kalian menikah Nak, kenapa tidak mengunjungi kami?" Wanita paruh baya itu berjalan mendekat kearah Jeje dan meraih kedua tangannya dengan senyum yang masih terlihat pucat.
"Maaf Tante eh Ma, saya hanya mengikuti kemauan Mas Revan saja," jawab Jeje dengan senyum canggungnya.
"Tapi alangkah baiknya kamu meminta doa restu dulu dengan kami kan nak, kami orang tuamu pasti akan merestui dan mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaan kalian berdua nak."
Walau tidak ada raut wajah benci, namun kata-kata itu seolah menusuk hati Jeje yang selama ini keras seperti batu.
"Saya tidak tahu Ma, itu semua keputusan Mas Revan." Jeje memilih melempar alasan itu, karena dalam isi kontraknya hanya menyangkut tentang dua orang saja.
"Tapi--"
"Sudahlah Ma, lagi pula Revan sudah berpulang, tidak perlu berdebat soal itu lagi." Suaminya mengusap kepala istrinya, agar menyudahi pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa menimbulkan luka bagi mereka saja.
"Untuk itu Daniel memutuskan untuk Turun Ranjang dengan dia Pa, Ma."
DUAR
Dan ternyata ucapan Daniel kembali membuat kedua orang tuanya kembali mendapatkan kejutan yang menurut mereka sulit untuk dimengerti.
"Hah, maksud kamu bagaimana Daniel?" Jelas saja mereka kembali terkejut mendengarnya.
"Aku akan menikah dengannya, aku yakin Bang Revan tidak akan keberatan, karena aku sudah mengambil alih tanggung jawabnya," Ucapnya dengan tegas, seolah dia sudah yakin dengan keputusan ini.
"Apa kamu yakin dengan keputusan itu Nak?"
Mama Daniel bahkan sampai memegang lengan suaminya sebagai pegangan, karena tubuhnya terasa sedikit limbung dengan kejutan hidup yang ia rasakan kali ini.
"Turun Ranjang Daniel? Bukannya kamu juga sudah punya--"
"Daniel yakin Pa, Ma dan kami akan melangsungkan Ijab kabul hari ini juga, tidak perlu ramai-ramai, cukup memanggil Pak Ustad saja, karena kita masih dalam suasana berduka."
Dan Daniel langsung memotong pembicaraan Papanya, seolah dia sudah yakin betul dengan keputusan yang ia buat sepihak itu.
"Apa tidak terlalu terburu-buru, bahkan mencari syarat pernikahan itu tidak bisa secepat ini Daniel?"
"Sementara ini kami cukup menikah Siri saja, yang penting sah dulu, untuk yang lainnya kita pikirkan nanti saja."
"Tapi bagaimana dengan keluargamu Nak?"
Tatapan orang tua Daniel berpindah kearah Jeje yang sedari tadi terlihat santai-santai saja.
"Keluarganya juga pasti setuju, aku sudah mengurus segalanya, Ijab kabulnya sore nanti." Daniel benar-benar kekeh dengan keputusannya, seolah dia akan melawan semua orang yang menentang keputusannya kali ini.
"Daniel, kita juga harus mendengar keputusan dari pihak wanita, Nak." Sebagai figur ayah, ia tidak ingin anaknya salah langkah kedepannya.
"Tidak perlu, cukup dia saja, hanya dia!" Ujar Daniel dengan nada tegas tak terbantahkan.
"Daniel, kamu tidak boleh egois seperti itu Nak, ini bukan masalah sepele."
Buset dah, ngotot banget dia, orang mungkin berpikir dia benar-benar tergila-gila denganku, menantang sih tapi asudahlah!
"Tidak apa-apa Ma, Pa lagian orang tua saya juga sudah tidak ada, tidak masalah, lalukan saja sesuai keinginan Daniel."
Akhirnya Jeje angkat bicara, agar perbincangan ini cepat selesai karena dia sudah benar-benar lelah hari ini, perutnya bahkan belum terisi makanan berat sejak pagi.
"Nak, apa kamu terpaksa menikah siri dengan Daniel? Kalau kamu tidak mau jangan dipaksa, Revan juga pasti tidak suka melihat kamu sedih, pikirkan semuanya terlebih dahulu, kami tidak memaksa kamu Nak, semua keputusan ada ditanganmu." Mama Daniel kembali meraih kedua tangan Jeje dan menatapnya dengan begitu dalam.
Tapi si Kudanil ini yang maksa Ma!
"Tidak apa-apa Ma, lakukan saja pernikahan siri ini, aku baik-baik saja."
"Kamu yakin Nak?" tanya Papa Daniel sekali lagi untuk memastikan.
"Iya Pa."
"Tapi?"
"Sudahlah Pa, Ma, kalian berdua bisa istirahat saja dulu, kalian pasti lelah, jangan pikirkan kami, karena kami tahu apa yang terbaik dan aku sudah mengatur untuk acara pernikahannya nanti malam, jadi Papa dan Mama tidak perlu memikirkannya."
Lagi dan lagi keputusan Daniel sudah final, entah rencana apa yang ada diotaknya, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.
"Benarkah?"
"Hmm, kami permisi dulu Pa, Ma untuk mempersiapkan semuanya."
"Nama kamu siapa Nak?"
"Jeje Ma."
"Jeje saja? Tidak ada kepanjangannya?"
"Jenifer Lin Ma, eh tapi--!"
Astaga, kenapa aku terlalu jujur dengan orang tua ini?
"Nama yang cantik, seperti wajah kamu, semoga kamu bahagia selalu ya Nak, terima kasih sudah menemani Revan saat Mama tidak bisa berada disampingnya, maafin Mama ya nak."
Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan kepada mereka, namun sepertinya waktunya tidak tepat, lagipula dia tidak ingin ada rahasia apapun dengan anaknya, dia takut jika terlalu menekan akan seperti kisah Revan yang tak jujur dengan dirinya.
"Ti-tidak apa-apa Ma, kami baik-baik saja." Jeje tidak menyangka jika orang tua almarhum Revan begitu baik dalam menyambutnya.
"Boleh Mama peluk kamu sebentar Nak?"
"Hah, o.. tentu boleh Ma," Jawab Jeje yang sedikit terkejut, dia benar-benar tidak membayangkan akan ada hal seperti ini tadinya.
Grep
Hangatnya pelukan seorang Ibu kini dapat Jeje rasakan, hal yang seolah mustahil ia dapatkan dulu, tanpa ia duga bisa ia dapatkan dari orang lain.
"Terima kasih Nak, sudah mau menjadi anak menantu Mama."
"I-iya Ma."
Tanpa terasa air mata ketulusan Jeje yang sudah berpuluh-puluh tahun ini tidak pernah keluar, tak terasa kini mengalir deras bak air murni dari pegunungan asri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Zainab Ddi
Jeje untung orang tua Revan baik ya sabar aja Daniel tuh jatuh cinta sama kamu tapi gengsi mengakuinya
2025-03-04
2
Susi Akbarini
oohhhh..
mungkin karena sakit parah..
jadi hak mau nikah nenrran..
biar istri dan anknya gak susah..
❤❤❤❤❤❤❤
2025-03-06
1
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 💪🏻😍🙏🏻
2025-03-04
2