NovelToon NovelToon

Traces Behind The Shadows

Episode 1

Langit Paris meleleh dalam semburat oranye keemasan. Di antara gedung-gedung tua yang menyimpan sejarah dan rahasia, cahaya senja menari di kaca-kaca jendela, memantulkan siluet kota yang tak pernah benar-benar tidur.

Amina De La Croix menghela napas pelan. Ia menyampirkan jas panjangnya yang berwarna hitam ke pundak, menyembunyikan kemeja putih yang rapi meski sedikit lecek. Hijabnya, warna navy tua, terikat rapi tanpa celah, menunjukkan ketegasan dalam setiap detail.

Ia mengunci pintu kantor detektif kecilnya—lantai dua dari sebuah bangunan tua yang letaknya tersembunyi di antara toko bunga dan bengkel sepeda. Di dalam, hanya ada satu meja kayu, dua kursi, rak buku penuh folder kusam, dan papan dinding penuh benang merah yang saling bersilangan seperti jaring laba-laba. Tempat itu mungkin tidak mewah, tapi bagi Amina, itu markas. Medan perang.

"Akhirnya, satu kasus selesai tanpa luka bakar atau ancaman pembunuhan. Kemajuan," gumamnya sambil menyelipkan tangan ke saku.

Baru tiga hari lalu, seorang pemilik butik menangis tersedu-sedu karena kalung berlian warisan ibunya raib. Amina tak butuh lebih dari dua malam begadang dan satu kunjungan ‘santai’ ke toko perhiasan bekas di distrik Montmartre untuk mengendus pelakunya: asisten pribadi yang baru dipekerjakan dua bulan lalu.

“Mereka selalu bilang ‘aku percaya padanya’. Tapi ya, manusia itu… unpredictable,” pikir Amina, sambil tersenyum kecut.

Ia menuruni tangga sempit yang mengelupas di beberapa sisi. Malam mulai merayap, menyelimuti jalanan berbatu yang masih menyimpan sisa hujan sore tadi. Udara lembab membawa aroma khas Paris setelah hujan—bau debu basah, daun-daun tua, dan sedikit bau roti dari boulangerie di ujung gang.

"Aku lapar," bisiknya. "Atau mungkin butuh tidur seminggu penuh."

Namun, ketenangan itu rapuh.

Beberapa kilometer dari tempatnya berdiri, di sebuah hotel bintang lima yang menjulang di distrik Champs-Élysées, seorang pelayan kamar memekik. Suaranya mengiris keheningan lorong lantai atas seperti pisau.

Di suite 1507, tubuh seorang pria tergeletak di atas ranjang. Kepalanya miring tidak wajar, matanya terbuka lebar menatap langit-langit seperti baru melihat sesuatu yang mustahil. Seprai putih ternoda darah yang masih segar—merah menyala seperti mawar yang baru dipetik. Tangannya tergenggam, seolah memeluk kematian sendiri.

"Mon Dieu..." gumam Inspektur Leclerc, yang baru masuk ruangan bersama tim forensik. Ia menatap luka di leher korban—luka bersih, presisi, dan sangat sunyi. Terlalu sunyi.

"Bukan perampokan. Tidak ada tanda kekerasan masuk. Tidak ada barang yang hilang. Tapi lihat ini," kata salah satu analis forensik, mengangkat potongan kecil kertas dari saku korban. Tulisannya: "Vous n'avez jamais eu le contrôle"—You never had control.

“Psycho?” tanya petugas muda di belakang Leclerc.

“Psycho dengan pendidikan tinggi,” jawab Leclerc datar. "Atau… ini pesan untuk seseorang. Bukan untuk korban."

Di luar jendela, sirene polisi menyalak. Wartawan sudah mulai berdatangan seperti burung pemakan bangkai mencium bau darah.

Kembali ke Amina.

Ia baru saja duduk di bangku taman kecil dekat Sungai Seine, sebuah kebiasaan diam-diam yang hanya ia izinkan sekali seminggu. Tak ada buku. Tak ada catatan kasus. Hanya udara malam, suara air, dan dirinya sendiri.

“Aneh, kenapa aku gelisah?” pikirnya.

Ia melihat tangannya bergetar sedikit. Tak biasa.

"Biasanya, gelisah berarti badai. Dan aku benci badai."

Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari kontak bernama "Leclerc".

"Perlu bantuanmu. Ini beda. Lokasi terkirim."

Amina membaca dua kali. Kemudian berdiri.

Suite 1507 kini seperti museum kejahatan. Garis polisi kuning menghalangi akses, tapi Leclerc melambai ketika melihat sosok berhijab yang tenang namun membawa aura badai mendekat.

“Kau datang lebih cepat dari yang kukira,” ujar Leclerc.

“Aku sedang tidak punya hidup sosial,” jawab Amina ringan.

Mereka berjabat tangan. Tatapan mata keduanya seperti dua jenderal lama yang saling mengukur kekuatan musuh di medan yang belum dikenal.

"Pria itu bukan orang biasa," kata Leclerc sambil menunjuk korban. “Julien Moreau. Konsultan keuangan. Tapi aku yakin dia terlibat hal lain. Terlalu bersih untuk orang biasa.”

Amina melangkah mendekat. Matanya menyapu ruangan cepat, seperti pemindai.

“Luka di lehernya... itu tidak biasa. Tidak seperti tusukan biasa. Lebih seperti—”

“—sayatan,” sambung Leclerc. “Tepat di titik arteri. Butuh presisi.”

Amina mengangguk. "Ini bukan pembunuhan acak. Ini pesan. Tapi untuk siapa?"

Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah fokus mereka. Bukan dari Amina atau Leclerc, tapi dari meja kecil di dekat ranjang. Sebuah ponsel burner, masih menyala.

Amina meraihnya. Layar menampilkan satu notifikasi.

Pesan baru: “Selamat datang di permainan, Detektif.”

Ia menatap Leclerc. “Kau memberitahuku, atau mereka tahu lebih dulu aku datang?”

Wajah Leclerc mengeras. “Aku baru menghubungimu sepuluh menit lalu.”

“Lucu. Jadi aku sedang ditonton?”

Amina menyandarkan punggung ke dinding, wajahnya kembali tenang.

“Kau tahu apa artinya ini, kan?” tanya Leclerc.

“Ya,” jawab Amina, lirih.

Senyumnya muncul—kecil, tajam. Bukan karena senang, tapi karena otaknya mulai bekerja.

“Ada seseorang yang mengatur semuanya. Dan dia tahu aku akan mengejarnya.”

Kepergian matahari meninggalkan jejak kemerahan di langit Paris. Sinar terakhir yang menghitam perlahan berlarian di antara gedung-gedung tua kota ini. Amina De La Croix menatap layar ponselnya, terkejut melihat seberapa cepat berita tentang pembunuhan di hotel mewah itu menyebar. Dari stasiun metro hingga kafe pinggir jalan, semua orang berbicara tentangnya. Pembunuhan yang seolah menjadi batu loncatan bagi rumor-rumor yang kian liar.

Di sudut kafe kecil tempat Amina duduk sambil menyeruput secangkir kopi pahit, sepasang pria dan wanita di meja sebelah mendiskusikan rincian yang mereka dapatkan dari televisi.

"Katanya si korban adalah konsultan keuangan. Begitu kaya, tapi mati dengan cara seperti itu... ngeri," ujar si pria, matanya terbuka lebar, seolah ingin percaya tapi takut.

Amina menatap mereka sekilas, tidak tertarik. Sudah sering ia mendengar gosip seperti itu. Tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa kali ini beda.

Sambil menurunkan gelasnya dengan pelan, Amina merasakan ketegangan yang menyelusup ke seluruh tubuhnya. Ada sesuatu yang menjalar di udara. Sebuah perasaan yang tak bisa ia definisikan. Hanya saja, ia tahu, ini bukan pembunuhan biasa. Ada yang lebih besar yang sedang bergerak di balik layar. Hanya tinggal menunggu waktu.

"Percayalah, Amina," pikirnya, menekan kepala ke tangan. "Ini lebih dari sekadar pembunuhan biasa."

Belum lagi ia bisa menenangkan dirinya, sebuah suara pelan membuatnya terjaga. Pintu kantornya terbuka. Di sana, seorang pengantar berdiri memegang surat bersegellkan hitam.

"Untuk Anda, Nona De La Croix," kata pengantar, sambil mengulurkan surat dengan ekspresi datar. Tidak ada rasa takut, tidak ada keraguan. Hanya tugas yang harus diselesaikan.

Amina menerima surat itu, membuka segelnya dengan teliti. Dalam beberapa detik, ia membaca isinya, mata melesat ke setiap kata.

"Selesaikan ini, atau lebih banyak darah yang akan tertumpah."

Dia mengatupkan bibirnya, berpikir sejenak. Kenapa perasaan ini datang lagi? Seperti sebuah permainan yang baru dimulai. Surat tanpa pengirim, segel hitam dengan simbol yang tak dikenalnya. Setiap inci tubuhnya mendeteksi bahaya, namun juga tantangan. Sekali lagi, ia harus menghadapi dunia yang penuh teka-teki ini, dan kali ini, jauh lebih rumit.

"Aku harus tahu lebih banyak," gumamnya pada diri sendiri. "Ini lebih dari sekadar kasus pembunuhan."

Amina bangkit dari kursinya, matanya yang tajam menilai dunia luar. Paris tetap hidup dengan suara kendaraan dan keramaian, namun hatinya berdegup cepat, mengikuti alur takdir yang tak bisa ia hindari.

Hotel mewah itu terasa lebih sepi di bawah langit yang kelabu. Tidak ada gemerlap, tidak ada kebisingan—hanya keheningan yang menekan. Begitu Amina melangkah masuk ke ruang hotel, aroma desinfektan menyambutnya, mengingatkan bahwa kematian baru saja menghiasi ruang ini. Polisi masih berjaga di beberapa sudut, wajah-wajah serius, dan suara desis peralatan forensik yang menggeletar, memberi kesan seolah dunia mereka hancur dan berat.

"Amina De La Croix," kata Amina dengan tegas saat ia mendekati petugas yang sedang berdiri di dekat pintu masuk. "Saya mendapat izin untuk masuk."

Petugas itu memandangnya sekilas, agak ragu. Namun, setelah beberapa detik, ia mengangguk. "Hati-hati, Nona De La Croix. Ini bukan kasus biasa."

Amina masuk. Kamar suite 1507 terasa kosong meski penuh dengan orang-orang yang sibuk bekerja. Di sudut ruangan, lembaran darah kering masih tampak di bawah cahaya temaram. Tubuh korban, seorang pria dengan penampilan berkelas, tergeletak kaku di atas ranjang, matanya terbuka lebar, seolah terkejut dengan kematiannya sendiri.

Amina mengamati, langkahnya tenang, meski otaknya sudah bekerja keras. Setiap gerakan tubuhnya penuh kehati-hatian, setiap langkah penuh perhitungan. Ia mengamati luka-luka di tubuh korban—luka yang begitu presisi, bukan luka yang dilakukan secara terburu-buru.

"Sesuatu tidak beres," bisiknya pada diri sendiri. "Ini bukan pembunuhan biasa."

Matanya melintas ke seluruh ruangan, menilai setiap detail. Di dinding sebelah kiri, sebuah simbol samar terlukis di balik tirai yang terjatuh. Amina mendekat. Ada sesuatu yang aneh dengan simbol itu—seperti lukisan lama yang sengaja disembunyikan.

Dia menarik napas dalam-dalam, mengulurkan tangan, dan menyentuh simbol itu. Ada rasa dingin yang menyelip di antara jari-jarinya. Sesuatu yang menakutkan namun menantang.

"Pesan atau sekadar kebetulan?" pikir Amina. Tetapi ia tahu, ini bukan kebetulan. Ini pesan, dan pesan ini ditujukan padanya.

Ia mengamati lebih dekat, menemukan sebuah pola yang sangat samar di balik simbol itu—seperti garis yang menghubungkan titik-titik tertentu. Garis-garis itu membentuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum dapat ia pahami sepenuhnya.

Tiba-tiba, ada suara di luar ruangan—langkah kaki yang berat dan teratur. Amina mundur cepat, menyembunyikan dirinya di balik tirai yang terjatuh. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

"Siapa itu?" pikirnya, matanya memusat pada setiap gerakan yang ada di luar. Suasana di ruangan itu begitu sunyi, kecuali detak jantungnya yang kian cepat.

Ketika suara langkah itu berhenti, Amina bisa merasakan kehadiran seseorang. Ia mendengar napas pelan, seolah orang itu sedang memperhatikannya. Tanpa bergerak, Amina menunggu. Tak ada ketegangan yang tampak di wajahnya, hanya fokus dan kewaspadaan.

Tunggu beberapa detik lagi, dan setelah itu… dia bisa keluar. Ia tahu ada lebih banyak yang harus ditemukan, lebih banyak teka-teki yang harus dipecahkan. Tetapi, untuk saat ini, semuanya terasa seperti bayangan yang mengintai di balik cahaya.

Malam itu, saat Amina duduk di meja kerjanya, ponselnya berdering. Suara pria yang berat dan seram terdengar dari ujung telepon.

"Saya tahu apa yang Anda temukan," kata suara itu. "Tetapi berhati-hatilah. Mereka lebih kuat dari yang Anda bayangkan."

Amina tersenyum tipis. "Jangan khawatir," jawabnya dengan nada rendah. "Saya selalu suka tantangan."

Dengan itu, ia menutup telepon dan menatap simbol yang masih terbayang di matanya. Keberanian dan keinginannya untuk memecahkan misteri ini semakin menguat. Satu hal pasti: ia tidak akan mundur. Paris baru saja memperkenalkan bagian gelapnya—dan Amina baru saja menemukan jalannya ke dalamnya.

Amina siap mengungkap lebih banyak rahasia—meskipun jalan yang ia tempuh semakin gelap.

Episode 2

Langkahnya mantap saat ia melangkah menuju hotel tempat pembunuhan itu terjadi. Begitu tiba, ia merasakan atmosfer yang berat, seolah-olah udara pun menahan napas. Hotel yang semula megah itu kini terasa sunyi, dengan cahaya lampu redup yang menyinari dinding-dinding penuh noda sejarah. Polisi dan petugas keamanan berdiri seperti patung, menjaga agar tidak ada yang mengganggu tempat kejadian perkara.

Amina mengeluarkan kartu identitasnya dengan percaya diri. "Saya di sini untuk bekerja," ucapnya pada seorang polisi yang menatapnya dengan ragu.

"Amina, ini bukan tempat untuk wanita seperti Anda." Suara polisi itu terdengar keras, tapi Amina hanya tersenyum tipis. "Saya rasa Anda tidak punya pilihan."

Dengan izin yang diberikan, Amina melangkah masuk. Kamar suite itu berantakan, penuh dengan kekacauan yang jelas menunjukkan ada sesuatu yang lebih dari sekadar pembunuhan acak. Darah merah mencolok di atas sprei putih, dan ruangan itu penuh dengan aroma cemar, yang tercampur dengan bau antiseptik. Tetapi bukan itu yang menarik perhatian Amina.

Matanya melintas pada dinding, di mana sesuatu yang tidak biasa terlukis samar, sebuah simbol aneh yang tersembunyi sebagian di balik tirai yang jatuh. Amina mendekat, merasakan ketegangan di udara, seperti ada yang sedang mengamatinya.

"Hm, ini… bukan hanya pembunuhan biasa," pikir Amina, menahan napas. Ia meraih sarung tangan dari tasnya dan menyentuh simbol itu dengan hati-hati. Ini bukan sekadar lukisan—ada sesuatu yang tersembunyi, dan Amina tahu persis bagaimana cara untuk membuka lapisan itu.

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di luar ruangan. Amina cepat-cepat mundur ke sudut, menyembunyikan dirinya dalam kegelapan. Seorang polisi lewat tanpa menyadari keberadaannya. Jantungnya berdegup kencang, namun dia tetap tenang.

Setelah beberapa saat, Amina kembali meneliti simbol tersebut dengan seksama. Di baliknya, ada pola, seperti garis yang menghubungkan titik-titik yang membentuk gambar samar. "Apa ini?" pikirnya, semakin yakin bahwa ini bukan hanya petunjuk acak.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya. Suara pria yang tidak dikenalnya terdengar di ujung telepon. "Anda tidak sendirian dalam ini," katanya dengan suara rendah, berbisik seolah tahu persis apa yang Amina temukan. "Saya tahu apa yang Anda temukan. Tapi hati-hati, mereka jauh lebih berbahaya dari yang Anda kira."

Amina menarik napas panjang, tetap tidak terkejut. "Siapa Anda?" tanyanya, tapi suara itu sudah menghilang. "Kekuatan bawah tanah... mereka tahu lebih banyak dari yang aku pikirkan."

Dia tahu, ini bukan sekadar permainan biasa. Sesuatu yang lebih besar sedang bergerak di balik layar, dan Amina baru saja menginjakkan kaki dalam dunia yang penuh bahaya.

Malam itu, ia kembali ke hotel, suasana yang lebih mencekam menyambutnya. Lampu redup, suara langkah kaki yang menggema, dan keheningan yang membuatnya merinding. Ia menuju ke kamar suite lagi. Kali ini, matanya sudah lebih tajam, lebih siap.

Ia kembali ke dinding tempat simbol itu tergantung. Dengan hati-hati, ia melanjutkan pemeriksaan. Begitu mendekat, ia melihat detail lain yang tidak ia sadari sebelumnya. Di balik simbol itu, ada garis-garis yang membentuk pola yang lebih kompleks, seperti koordinat atau petunjuk untuk lokasi tertentu.

"Tunggu... ini bukan hanya pesan. Ini petunjuk untuk menemukan sesuatu," gumam Amina, menggigit bibir bawahnya. Pikirannya berputar cepat, tetapi jantungnya mulai berdetak lebih kencang.

Namun, sebelum ia bisa menganalisis lebih jauh, ia mendengar suara lagi, gerakan cepat di luar ruangan. Kali ini, Amina tidak menunggu. Ia mundur ke sudut, bersiap menghadapi apapun yang akan datang.

"Siapa di luar sana?" bisiknya dengan tajam. Dunia ini ternyata lebih rumit dari yang ia kira. Dan Amina baru saja membuka pintu ke kegelapan yang lebih dalam.

Amina menatap ke luar jendela kantor dengan pandangan kosong, pikirannya penuh. Semalam, simbol aneh yang ia temukan di dinding kamar hotel terus mengusik. Garis-garis samar itu seperti menyembunyikan sesuatu yang lebih besar, sebuah pesan yang belum bisa ia ungkapkan. Ia bisa merasakannya, sesuatu yang lebih gelap sedang mengintai, menunggu untuk terungkap. Ia menarik napas panjang, menekan perasaan cemas yang merayapi dadanya. Terkadang, perasaan itu justru lebih berbahaya daripada misteri itu sendiri.

"Pikirkan, Amina," bisiknya pada dirinya sendiri. "Ini adalah langkah pertama untuk memecahkan semuanya. Jangan mundur sekarang."

Dengan keputusan bulat, ia meninggalkan meja kerjanya. Jalanan Paris pagi itu cukup lengang, dan udara dingin membelai wajahnya. Amina menyusuri trotoar yang masih basah oleh embun pagi. Meski kota ini penuh dengan kemewahan, ia tahu ada banyak sisi gelap yang tersembunyi, dan pembunuhan di hotel itu hanya sekilas dari apa yang sebenarnya terjadi. Ada dunia yang lebih dalam, lebih berbahaya—dunia yang ingin ia tembus.

Di balik kafe yang sepi, Amina menemukan lorong sempit yang membawanya ke tempat yang tak dikenal. Suasana di dalam bar itu hampir tak terlihat dari luar, penerangan remang-remang, suara percakapan yang teredam, dan aroma asap rokok yang menyengat. Hanya mereka yang mengerti dunia ini yang berani masuk. Seorang pria, wajahnya penuh bekas luka, berdiri di pojok ruangan. Matanya yang dingin menatapnya dengan waspada.

"Datang untuk mencari jawaban?" suara pria itu kasar, "Atau hanya ingin ikut terjun ke dalam dunia yang tidak akan pernah kau pahami?"

Amina tidak bergeming. Ia tahu apa yang ia cari, dan ia takkan mundur.

"Saya mencari nama-nama yang bisa menghubungkan saya dengan orang-orang yang mengendalikan ini semua," jawabnya tegas. Tangannya menggenggam tas kulit yang terasa lebih berat dari biasanya. "Saya ingin tahu siapa yang berada di puncak."

Pria itu terdiam sejenak, seakan menilai seberapa dalam keberaniannya. Lalu, ia mengangguk dan menyerahkan selembar kertas yang sudah usang, penuh coretan.

"Ini bisa membawamu lebih dekat," katanya dengan suara pelan, "tapi ingat, semakin dekat kau dengan mereka, semakin besar risikonya."

Amina membuka kertas itu, matanya menyusuri setiap nama yang tertulis. Semua nama itu berkaitan dengan sesuatu yang jauh lebih besar, lebih mengerikan dari yang ia bayangkan. Ia bisa merasakan berat beban yang kini dipikulnya, tapi rasa takut itu hanya membuatnya lebih tekun.

"Apakah kamu tahu apa yang sedang kau hadapi?" pria itu bertanya, kini lebih terdengar khawatir. "Mereka akan memburu siapa saja yang mengancam mereka. Termasuk kamu."

Amina menatap pria itu, tatapannya keras. "Saya sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur sekarang."

Ia berbalik dan meninggalkan bar itu tanpa kata-kata lebih lanjut, membawa daftar nama yang baru saja diterimanya. Hatinya berdebar, namun langkahnya mantap. Setiap nama di kertas itu mewakili kekuatan yang mengendalikan dunia gelap ini dan Amina akan mengungkap siapa mereka.

Episode 3

Kembali di apartemennya, Amina memulai pencarian dengan hati-hati. Setiap nama di daftar itu adalah petunjuk, dan Amina tahu bahwa di balik kekuatan besar ini ada jaringan yang lebih dalam, lebih luas. Dia menyusuri data di layar komputernya, mencoba menghubungkan setiap nama dengan informasi yang ia miliki sebelumnya.

Namun, saat semakin dalam ia menyelami dunia gelap itu, Amina mulai merasakan kehadiran yang mengawasinya. Sesuatu atau seseorang terus mengikutinya, bahkan dalam kesendirian ini. Ia merinding, merasa seolah ada mata yang tak terlihat menatap setiap langkahnya.

"Ada yang tidak beres," gumamnya, merasa tidak nyaman.

Beberapa hari berlalu, dan Amina semakin menyadari bahwa apa yang ia hadapi jauh lebih rumit dan berbahaya. Nama-nama di daftar itu ternyata mengarah pada jaringan mafia yang mengendalikan hampir seluruh aspek kehidupan di Paris. Dari perdagangan narkoba hingga perjudian ilegal, mereka menguasai semuanya. Tidak hanya itu, Amina mengetahui bahwa mereka bahkan menyusup hingga ke jajaran pejabat tinggi.

Malam itu, Amina bertemu dengan seorang informan lain yang sudah lama dia cari. Pria itu terlihat gugup, seolah tahu bahwa ia sedang bermain dengan api. Di ruang bawah tanah yang pengap dan gelap, suara langkah kaki mereka terdengar nyaring di ruang yang sepi.

"Ini daftar yang lebih lengkap," kata informan itu, seraya menyerahkan sebuah amplop tebal. "Tapi, ingat—ini bukan hanya mafia biasa. Ada sesuatu yang lebih besar yang menggerakkan mereka."

Amina membuka amplop itu dan mulai memeriksa daftar baru. Tujuh nama tertera di sana, semuanya adalah kepala dari tujuh mafia yang mengendalikan kota. Di bawah nama-nama itu, terdapat tulisan kecil yang mengindikasikan koneksi mereka dengan bisnis ilegal yang lebih luas—dan di bawah itu, ada satu nama yang tidak dikenal, namun sangat memengaruhi jalannya semua transaksi.

"Siapa ini?" Amina bertanya, menunjuk pada nama terakhir di bawah daftar.

Informan itu menatapnya dengan cemas. "Itu... Itu bukan orang yang bisa kamu dekati. Mereka lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan terlalu mendekat."

Namun sebelum Amina bisa mengajukan pertanyaan lebih lanjut, pria itu berbalik dan menghilang begitu saja, meninggalkan Amina dengan pertanyaan yang lebih besar daripada sebelumnya.

Amina menatap layar komputernya dengan mata yang lelah. Ia baru saja menerima daftar nama mafia yang lebih panjang dari yang ia duga. Namun, seiring dengan itu, ada perasaan aneh yang mulai menyelimuti dirinya. Seperti melangkah ke dunia yang tak terjamah, tempat yang hanya diketahui oleh orang-orang yang hidup dalam bayang-bayang.

“Ini seperti labirin yang tak berujung,” gumamnya pelan, tangannya menekan keras tumpukan berkas di meja. Hati Amina berdegup cepat, dan ia tahu sebuah perasaan yang ia tak bisa abaikan bahwa ada sesuatu yang besar, lebih besar dari yang ia kira, yang sedang mengawasi setiap langkahnya.

Di balik setiap nama yang ia gali, semakin ia merasa ada yang berusaha menghapus jejak. Beberapa nama hilang begitu saja. Seperti kabut yang mengaburkan pandangan. Seperti bayangan yang merayap pergi begitu ia mendekat.

“Ada yang lebih besar dari ini,” pikirnya, menarik napas panjang. “Seseorang yang benar-benar mengendalikan semuanya dari balik bayangan.”

Nama yang terus muncul di setiap titik yang ia gali—Alexander Rothschild. Nama itu seperti jeritan yang tak terucap, sebuah legenda yang tidak pernah terungkap. Namun, Amina merasakan hawa dingin yang mengalir di punggungnya begitu mendengar nama itu. Rothschild. Nama yang hanya berani dibisikkan dalam percakapan gelap. Sebuah teka-teki yang seakan tak bisa dijawab.

Amina menunduk, menulis nama itu di atas kertas dengan huruf besar. “Jika aku bisa menemukan dia, aku bisa menghentikan semuanya.”

Namun, tak ada yang mudah. Informan yang pernah memberi petunjuk mulai merapatkan mulutnya. Beberapa menghilang begitu saja, seperti disapu angin. Amina melirik jam di dinding, seakan tak percaya sudah seberapa lama ia berada dalam pencarian ini. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, tetapi matanya tetap tak lepas dari layar komputer.

“Pencarian ini sudah terlalu lama,” pikirnya, matanya menyipit, menilai hasil kerja kerasnya.

Dia menghela napas, lalu membuka kembali berkas yang tergeletak di samping komputernya. Nama Rothschild semakin jelas. Namun, semakin mendekati kebenaran, semakin ia merasakan bahaya yang mengintai.

Sebuah ketukan keras terdengar dari pintu kantornya.

Amina langsung terkejut dan menoleh. Hatinya berdegup cepat. “Siapa itu?” Suaranya serak, tubuhnya bergetar. Tak ada yang datang ke sini setelah jam kerja. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membuka sedikit celah.

Di luar, seorang pria dengan jaket hitam berdiri. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan. Amina menatap tajam.

“Kau yang mengganggu mereka?” Pria itu bertanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan.

“Siapa kamu?” jawab Amina dengan nada datar, meskipun hatinya berdebar.

Pria itu tersenyum samar. "Aku sudah mendengar tentangmu, Amina. Kau terlalu berani. Rothschild bukanlah musuh yang bisa kau taklukkan. Berhentilah sebelum semuanya terlambat."

Amina menyentuh lengan bajunya, merasakan getar ketegangan yang mengalir. "Aku tak bisa mundur sekarang. Sudah terlalu banyak yang aku temukan. Terlalu banyak nyawa yang tergantung pada apa yang aku temukan."

Namun pria itu tidak mengangguk, malah mundur, menambahkan, “Hati-hati, Detektif. Api itu bisa membakar siapa saja. Termasuk dirimu.”

Pintu ditutup dengan keras. Amina merasakan hawa dingin mencekam tulang belakangnya. “Apa maksudnya dengan itu?” gumamnya pelan. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu. Rothschild adalah titik akhir yang harus ia capai. Tidak peduli berapa banyak nyawa yang harus dikorbankan.

Keesokan harinya, Amina melangkah keluar dari gedung dengan langkah tegas. Udara pagi yang dingin menyapa wajahnya. Ia tahu hari ini adalah titik balik. Pencarian ini semakin mendalam, semakin gelap.

Namun, di tengah keramaian kota, ia merasa ada yang berbeda. Sesuatu yang tak terlihat. Wajah-wajah yang tampak biasa, namun ada sesuatu yang mengintai di baliknya. Amina merasakan mata-mata itu. Mereka mengikuti gerak-geriknya, mengejarnya dari bayang-bayang.

“Rothschild memang lebih besar dari yang aku kira,” pikirnya, matanya menyapu jalanan dengan penuh kewaspadaan. Ia menatap setiap orang yang lewat, berharap menemukan petunjuk, sebuah tanda yang bisa membawanya lebih dekat.

Setelah berjam-jam berjalan menyusuri kota, Amina akhirnya menemui seorang informan. Pria itu berdiri di sebuah kedai kopi kecil, matanya gelap dan penuh ketakutan.

“Amina,” katanya terbata-bata. “Rothschild… dia bukan seperti yang kalian kira. Dia punya cara untuk menghancurkan siapa saja yang mengganggu. Kamu harus berhenti!”

Amina menatap pria itu dengan tatapan tajam. “Berhenti? Tidak ada jalan mundur. Aku sudah hampir sampai.”

Pria itu menghela napas panjang dan berkata, “Kau sedang bermain dengan api, Amina. Jangan biarkan api itu membakarmu.”

Namun Amina tidak bisa berhenti. Apa yang ia rasakan lebih dari sekadar penyelidikan. Ada perasaan yang lebih kuat, kebenaran yang harus ia ungkapkan. Ia tahu, semakin ia menggali, semakin banyak orang yang mencoba menutupinya.

"Aku tak akan mundur," bisiknya dalam hati.

Dengan tekad yang membara, Amina melangkah lebih jauh, menuju api yang akan menentukan hidup dan matinya, serta masa depan kota ini.

Langkah-langkahnya menggema di jalanan sepi, dan suara itu seakan menjadi mantra yang terus mengikutinya: "Jangan biarkan api itu membakarmu."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!