Langit Paris senja itu berpendar oranye keemasan, menandakan berakhirnya hari yang panjang. Amina De La Croix, seorang detektif swasta dengan mata tajam dan sikap tenang, melangkah keluar dari kantor kecilnya di Rue de Rivoli. Kantor yang sederhana, dengan dinding penuh peta kuno dan foto-foto kasus yang sudah lama terlupakan. Meja kerjanya hanya berisi tumpukan buku tebal, sebuah lampu meja yang sudah usang, dan secangkir kopi setengah penuh yang tampak tak tersentuh.
"Kasus pencurian ini terlalu mudah," gumamnya pada dirinya sendiri, melangkah menuju pintu dengan langkah pasti. "Pemilik butik itu bahkan tak tahu kalau aku sudah mengendus pola transaksi palsu di akun banknya. Kadang aku merasa seperti bisa membaca pikiran orang."
Namun, kebanggaannya tak bertahan lama. Amina menghirup udara malam yang segar, aroma hujan yang masih tersisa di jalanan berbatu menggelitik hidungnya. Meskipun kota ini penuh keramaian, dengan lampu-lampu jalanan yang berkilauan dan kafe-kafe yang tak pernah sepi, Amina tahu betul bahwa kedamaian yang baru ia nikmati ini takkan bertahan lama. Ia sudah terbiasa dengan keheningan yang hanya menunggu ledakan berikutnya.
"Apa yang berikutnya, ya?" pikirnya, menatap langit yang mulai gelap. "Kadang aku merasa terlalu banyak misteri, terlalu banyak rahasia yang harus dibuka."
Langkahnya berhenti sejenak di pinggir jalan, matanya tertarik pada sebuah kelompok pengamen yang sedang memainkan alat musik mereka di depan kafe. Mereka tampak seolah tidak peduli dengan dunia di sekitar mereka, namun Amina bisa merasakan getaran kecemasan yang tersembunyi di balik tawa mereka.
Tiba-tiba, suara sirene memecah kesunyian malam, membuat Amina terperanjat. Sebuah truk polisi lewat dengan kecepatan tinggi, diikuti oleh mobil-mobil lain yang menyalakan lampu darurat. Instingnya yang tajam langsung bekerja. Ada sesuatu yang besar terjadi. Ia menghela napas dan berbalik, melangkah menuju jalan lain yang mengarah ke pusat kota.
Di sudut lain Paris, jauh dari hiruk-pikuk kota, sebuah tragedi baru saja terjadi. Kamar suite hotel mewah itu sepi, kecuali darah yang membekas di seprai putih, membentuk pola yang menyeramkan di bawah lampu temaram. Seorang pria terbaring kaku di atas ranjang, tubuhnya penuh luka, seperti baru saja disiksa dengan cara yang tak biasa. Setiap sayatan di tubuhnya tampak terencana, penuh kehati-hatian. Ini bukan pembunuhan biasa. Inspektur lokal, yang dengan cepat tiba di lokasi, memandang mayat itu dengan ekspresi serius.
“Ini bukan kerja tangan amatir,” katanya pelan, memandangi luka-luka itu yang membentuk pola aneh. "Siapa pun yang melakukannya, dia tahu apa yang dia lakukan."
Polisi berlarian di sekitar kamar, mengambil foto, mencatat bukti, namun Inspektur Merle, pemimpin penyelidikan, tetap diam sejenak, menatap tubuh korban dengan tatapan kosong yang penuh pertanyaan. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Ini bukan kebetulan," bisiknya dalam hati. “Ada sesuatu yang lebih besar di balik ini.”
Beberapa jam kemudian, Amina duduk di meja dapurnya, menyeruput teh chamomile hangat. Pikirannya masih terjaga, mencoba menenangkan gelisah yang datang setelah insiden tadi malam. Berita tentang pembunuhan itu sudah menyebar ke seluruh Paris, dipenuhi spekulasi: balas dendam, persaingan bisnis, atau mungkin sebuah perhitungan lama yang harus diselesaikan. Namun, sesuatu dalam hatinya berkata bahwa ini lebih dari sekadar kejahatan biasa.
“Gila, pembunuhan di hotel mewah itu… Terlalu banyak yang bisa diungkap,” pikirnya, meletakkan cangkir teh ke meja dengan perlahan. “Tapi kenapa aku merasa seperti ada yang menginginkan aku terlibat? Tidak ada kebetulan dalam dunia ini, Amina.”
Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdebar lebih cepat: Inspektur Merle.
“Pagi, Amina,” suara Merle terdengar serak, seolah-olah dia sudah beberapa kali terbangun sebelum menelepon. "Kau masih di Paris?"
“Selalu. Ada apa?” jawab Amina, suaranya santai, meski tahu ini bukan panggilan biasa.
"Ada sesuatu yang kau perlu lihat," ujar Merle, dengan nada yang cukup mendesak. "Pembunuhan kemarin… tidak seperti yang kita kira. Aku ingin kau datang ke hotel itu. Sekarang juga."
Amina menarik napas dalam-dalam, matanya menyipit, menilai setiap kata yang diucapkan Merle. Tentu saja, dia tahu inspektur itu. Penuh perhitungan, namun selalu membuka peluang bagi orang seperti Amina. "Aku tahu sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Aku datang."
Saat Amina tiba di hotel mewah itu, suasana sepi dan dingin menyambutnya. Lampu-lampu neon dari luar memantulkan bayangan gelap di sepanjang lorong hotel. Polisi masih sibuk bekerja di dalam kamar suite. Bau antiseptik yang kuat memenuhi udara.
Di dalam kamar, Amina mendekat pada tubuh korban. Seorang pria, tampak seakan berusia empat puluhan, mengenakan setelan jas mahal. Namun, matanya yang kosong dan lidah yang membeku membuatnya tampak lebih tua dari usianya.
"Ini bukan kebetulan, kan?" tanya Amina, mengarahkan pandangannya pada Merle yang berdiri di sampingnya.
"Tentu saja tidak," jawab Merle, menatap tubuh korban dengan tajam. "Aku yakin ini bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan aku butuh bantuanmu untuk membukanya."
Amina menatap sekitar, matanya meluncur ke setiap sudut ruangan. Pikirannya mulai bekerja, mengumpulkan potongan-potongan yang tersebar. "Kita akan menemukan petunjuk," gumamnya, dan saat itulah ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada bayangan yang bergerak di balik tirai jendela, hanya bisa dilihat oleh sudut mata.
"Merle, perhatikan itu," Amina berbisik, tetapi saat dia menoleh kembali, bayangan itu sudah menghilang.
Ketegangan mencekam ruangan, sementara pikiran Amina terus berputar. Ini lebih dari sekadar sebuah kasus, ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih gelap.
Keesokan harinya, kabar tentang pembunuhan itu menyebar seperti api yang membakar rumput kering. Di setiap sudut Paris, dari stasiun metro yang sesak hingga kafe-kafe yang selalu ramai, orang-orang hanya membicarakan satu hal: pembunuhan brutal yang terjadi di sebuah hotel mewah. Amina De La Croix, detektif berhijab yang terbiasa dengan teka-teki gelap, melangkah keluar dari kantornya dengan tenang. Matanya yang tajam mengamati kerumunan yang terpecah-pecah, orang-orang yang tampak tertarik pada berita ini, seolah pembunuhan itu adalah hiburan bagi mereka.
"Selamat pagi, Amina!" sapa seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu di trotoar. "Kau dengar tentang itu?"
Amina mengangguk sambil menyeka tetes hujan yang mulai turun. "Berita yang tak bisa dihindari," jawabnya dengan nada datar, meskipun pikirannya sudah melayang jauh. Dia tahu, ini bukan sekadar gosip pasar. Ada sesuatu yang lebih dalam, dan dia merasa tertarik, meskipun tetap hati-hati.
Saat ia melangkah menuju kantornya yang sederhana, sebuah amplop hitam menunggu di meja kerjanya. Tanpa pengirim. Tanpa nama. Segel berwarna hitam dengan simbol yang tak dikenalnya. Amina meraih surat itu, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Isi surat itu singkat—terlalu singkat.
"Selesaikan ini, atau lebih banyak darah yang akan tertumpah."
Amina meletakkan surat itu di meja, menatapnya lama. Jantungnya berdegup cepat. "Tantangan," pikirnya. Dia sudah terlibat jauh lebih dalam dari yang dia kira.
Tanpa ragu, ia menyusun rencana. "Ini pasti ada hubungannya dengan kasus itu," gumamnya pada diri sendiri, meskipun tidak ada orang di sekitar yang bisa mendengarnya.
Langkahnya mantap saat ia melangkah menuju hotel tempat pembunuhan itu terjadi. Begitu tiba, ia merasakan atmosfer yang berat, seolah-olah udara pun menahan napas. Hotel yang semula megah itu kini terasa sunyi, dengan cahaya lampu redup yang menyinari dinding-dinding penuh noda sejarah. Polisi dan petugas keamanan berdiri seperti patung, menjaga agar tidak ada yang mengganggu tempat kejadian perkara.
Amina mengeluarkan kartu identitasnya dengan percaya diri. "Saya di sini untuk bekerja," ucapnya pada seorang polisi yang menatapnya dengan ragu.
"Amina, ini bukan tempat untuk wanita seperti Anda." Suara polisi itu terdengar keras, tapi Amina hanya tersenyum tipis. "Saya rasa Anda tidak punya pilihan."
Dengan izin yang diberikan, Amina melangkah masuk. Kamar suite itu berantakan, penuh dengan kekacauan yang jelas menunjukkan ada sesuatu yang lebih dari sekadar pembunuhan acak. Darah merah mencolok di atas sprei putih, dan ruangan itu penuh dengan aroma cemar, yang tercampur dengan bau antiseptik. Tetapi bukan itu yang menarik perhatian Amina.
Matanya melintas pada dinding, di mana sesuatu yang tidak biasa terlukis samar, sebuah simbol aneh yang tersembunyi sebagian di balik tirai yang jatuh. Amina mendekat, merasakan ketegangan di udara, seperti ada yang sedang mengamatinya.
"Hm, ini… bukan hanya pembunuhan biasa," pikir Amina, menahan napas. Ia meraih sarung tangan dari tasnya dan menyentuh simbol itu dengan hati-hati. Ini bukan sekadar lukisan—ada sesuatu yang tersembunyi, dan Amina tahu persis bagaimana cara untuk membuka lapisan itu.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di luar ruangan. Amina cepat-cepat mundur ke sudut, menyembunyikan dirinya dalam kegelapan. Seorang polisi lewat tanpa menyadari keberadaannya. Jantungnya berdegup kencang, namun dia tetap tenang.
Setelah beberapa saat, Amina kembali meneliti simbol tersebut dengan seksama. Di baliknya, ada pola, seperti garis yang menghubungkan titik-titik yang membentuk gambar samar. "Apa ini?" pikirnya, semakin yakin bahwa ini bukan hanya petunjuk acak.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya. Suara pria yang tidak dikenalnya terdengar di ujung telepon. "Anda tidak sendirian dalam ini," katanya dengan suara rendah, berbisik seolah tahu persis apa yang Amina temukan. "Saya tahu apa yang Anda temukan. Tapi hati-hati, mereka jauh lebih berbahaya dari yang Anda kira."
Amina menarik napas panjang, tetap tidak terkejut. "Siapa Anda?" tanyanya, tapi suara itu sudah menghilang. "Kekuatan bawah tanah... mereka tahu lebih banyak dari yang aku pikirkan."
Dia tahu, ini bukan sekadar permainan biasa. Sesuatu yang lebih besar sedang bergerak di balik layar, dan Amina baru saja menginjakkan kaki dalam dunia yang penuh bahaya.
Malam itu, ia kembali ke hotel, suasana yang lebih mencekam menyambutnya. Lampu redup, suara langkah kaki yang menggema, dan keheningan yang membuatnya merinding. Ia menuju ke kamar suite lagi. Kali ini, matanya sudah lebih tajam, lebih siap.
Ia kembali ke dinding tempat simbol itu tergantung. Dengan hati-hati, ia melanjutkan pemeriksaan. Begitu mendekat, ia melihat detail lain yang tidak ia sadari sebelumnya. Di balik simbol itu, ada garis-garis yang membentuk pola yang lebih kompleks, seperti koordinat atau petunjuk untuk lokasi tertentu.
"Tunggu... ini bukan hanya pesan. Ini petunjuk untuk menemukan sesuatu," gumam Amina, menggigit bibir bawahnya. Pikirannya berputar cepat, tetapi jantungnya mulai berdetak lebih kencang.
Namun, sebelum ia bisa menganalisis lebih jauh, ia mendengar suara lagi, gerakan cepat di luar ruangan. Kali ini, Amina tidak menunggu. Ia mundur ke sudut, bersiap menghadapi apapun yang akan datang.
"Siapa di luar sana?" bisiknya dengan tajam. Dunia ini ternyata lebih rumit dari yang ia kira. Dan Amina baru saja membuka pintu ke kegelapan yang lebih dalam.
Amina menatap ke luar jendela kantor dengan pandangan kosong, pikirannya penuh. Semalam, simbol aneh yang ia temukan di dinding kamar hotel terus mengusik. Garis-garis samar itu seperti menyembunyikan sesuatu yang lebih besar, sebuah pesan yang belum bisa ia ungkapkan. Ia bisa merasakannya, sesuatu yang lebih gelap sedang mengintai, menunggu untuk terungkap. Ia menarik napas panjang, menekan perasaan cemas yang merayapi dadanya. Terkadang, perasaan itu justru lebih berbahaya daripada misteri itu sendiri.
"Pikirkan, Amina," bisiknya pada dirinya sendiri. "Ini adalah langkah pertama untuk memecahkan semuanya. Jangan mundur sekarang."
Dengan keputusan bulat, ia meninggalkan meja kerjanya. Jalanan Paris pagi itu cukup lengang, dan udara dingin membelai wajahnya. Amina menyusuri trotoar yang masih basah oleh embun pagi. Meski kota ini penuh dengan kemewahan, ia tahu ada banyak sisi gelap yang tersembunyi, dan pembunuhan di hotel itu hanya sekilas dari apa yang sebenarnya terjadi. Ada dunia yang lebih dalam, lebih berbahaya—dunia yang ingin ia tembus.
Di balik kafe yang sepi, Amina menemukan lorong sempit yang membawanya ke tempat yang tak dikenal. Suasana di dalam bar itu hampir tak terlihat dari luar, penerangan remang-remang, suara percakapan yang teredam, dan aroma asap rokok yang menyengat. Hanya mereka yang mengerti dunia ini yang berani masuk. Seorang pria, wajahnya penuh bekas luka, berdiri di pojok ruangan. Matanya yang dingin menatapnya dengan waspada.
"Datang untuk mencari jawaban?" suara pria itu kasar, "Atau hanya ingin ikut terjun ke dalam dunia yang tidak akan pernah kau pahami?"
Amina tidak bergeming. Ia tahu apa yang ia cari, dan ia takkan mundur.
"Saya mencari nama-nama yang bisa menghubungkan saya dengan orang-orang yang mengendalikan ini semua," jawabnya tegas. Tangannya menggenggam tas kulit yang terasa lebih berat dari biasanya. "Saya ingin tahu siapa yang berada di puncak."
Pria itu terdiam sejenak, seakan menilai seberapa dalam keberaniannya. Lalu, ia mengangguk dan menyerahkan selembar kertas yang sudah usang, penuh coretan.
"Ini bisa membawamu lebih dekat," katanya dengan suara pelan, "tapi ingat, semakin dekat kau dengan mereka, semakin besar risikonya."
Amina membuka kertas itu, matanya menyusuri setiap nama yang tertulis. Semua nama itu berkaitan dengan sesuatu yang jauh lebih besar, lebih mengerikan dari yang ia bayangkan. Ia bisa merasakan berat beban yang kini dipikulnya, tapi rasa takut itu hanya membuatnya lebih tekun.
"Apakah kamu tahu apa yang sedang kau hadapi?" pria itu bertanya, kini lebih terdengar khawatir. "Mereka akan memburu siapa saja yang mengancam mereka. Termasuk kamu."
Amina menatap pria itu, tatapannya keras. "Saya sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur sekarang."
Ia berbalik dan meninggalkan bar itu tanpa kata-kata lebih lanjut, membawa daftar nama yang baru saja diterimanya. Hatinya berdebar, namun langkahnya mantap. Setiap nama di kertas itu mewakili kekuatan yang mengendalikan dunia gelap ini dan Amina akan mengungkap siapa mereka.
Kembali di apartemennya, Amina memulai pencarian dengan hati-hati. Setiap nama di daftar itu adalah petunjuk, dan Amina tahu bahwa di balik kekuatan besar ini ada jaringan yang lebih dalam, lebih luas. Dia menyusuri data di layar komputernya, mencoba menghubungkan setiap nama dengan informasi yang ia miliki sebelumnya.
Namun, saat semakin dalam ia menyelami dunia gelap itu, Amina mulai merasakan kehadiran yang mengawasinya. Sesuatu atau seseorang terus mengikutinya, bahkan dalam kesendirian ini. Ia merinding, merasa seolah ada mata yang tak terlihat menatap setiap langkahnya.
"Ada yang tidak beres," gumamnya, merasa tidak nyaman.
Beberapa hari berlalu, dan Amina semakin menyadari bahwa apa yang ia hadapi jauh lebih rumit dan berbahaya. Nama-nama di daftar itu ternyata mengarah pada jaringan mafia yang mengendalikan hampir seluruh aspek kehidupan di Paris. Dari perdagangan narkoba hingga perjudian ilegal, mereka menguasai semuanya. Tidak hanya itu, Amina mengetahui bahwa mereka bahkan menyusup hingga ke jajaran pejabat tinggi.
Malam itu, Amina bertemu dengan seorang informan lain yang sudah lama dia cari. Pria itu terlihat gugup, seolah tahu bahwa ia sedang bermain dengan api. Di ruang bawah tanah yang pengap dan gelap, suara langkah kaki mereka terdengar nyaring di ruang yang sepi.
"Ini daftar yang lebih lengkap," kata informan itu, seraya menyerahkan sebuah amplop tebal. "Tapi, ingat—ini bukan hanya mafia biasa. Ada sesuatu yang lebih besar yang menggerakkan mereka."
Amina membuka amplop itu dan mulai memeriksa daftar baru. Tujuh nama tertera di sana, semuanya adalah kepala dari tujuh mafia yang mengendalikan kota. Di bawah nama-nama itu, terdapat tulisan kecil yang mengindikasikan koneksi mereka dengan bisnis ilegal yang lebih luas—dan di bawah itu, ada satu nama yang tidak dikenal, namun sangat memengaruhi jalannya semua transaksi.
"Siapa ini?" Amina bertanya, menunjuk pada nama terakhir di bawah daftar.
Informan itu menatapnya dengan cemas. "Itu... Itu bukan orang yang bisa kamu dekati. Mereka lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan terlalu mendekat."
Namun sebelum Amina bisa mengajukan pertanyaan lebih lanjut, pria itu berbalik dan menghilang begitu saja, meninggalkan Amina dengan pertanyaan yang lebih besar daripada sebelumnya.
Amina menatap layar komputernya dengan mata yang lelah. Ia baru saja menerima daftar nama mafia yang lebih panjang dari yang ia duga. Namun, seiring dengan itu, ada perasaan aneh yang mulai menyelimuti dirinya. Seperti melangkah ke dunia yang tak terjamah, tempat yang hanya diketahui oleh orang-orang yang hidup dalam bayang-bayang.
“Ini seperti labirin yang tak berujung,” gumamnya pelan, tangannya menekan keras tumpukan berkas di meja. Hati Amina berdegup cepat, dan ia tahu sebuah perasaan yang ia tak bisa abaikan bahwa ada sesuatu yang besar, lebih besar dari yang ia kira, yang sedang mengawasi setiap langkahnya.
Di balik setiap nama yang ia gali, semakin ia merasa ada yang berusaha menghapus jejak. Beberapa nama hilang begitu saja. Seperti kabut yang mengaburkan pandangan. Seperti bayangan yang merayap pergi begitu ia mendekat.
“Ada yang lebih besar dari ini,” pikirnya, menarik napas panjang. “Seseorang yang benar-benar mengendalikan semuanya dari balik bayangan.”
Nama yang terus muncul di setiap titik yang ia gali—Alexander Rothschild. Nama itu seperti jeritan yang tak terucap, sebuah legenda yang tidak pernah terungkap. Namun, Amina merasakan hawa dingin yang mengalir di punggungnya begitu mendengar nama itu. Rothschild. Nama yang hanya berani dibisikkan dalam percakapan gelap. Sebuah teka-teki yang seakan tak bisa dijawab.
Amina menunduk, menulis nama itu di atas kertas dengan huruf besar. “Jika aku bisa menemukan dia, aku bisa menghentikan semuanya.”
Namun, tak ada yang mudah. Informan yang pernah memberi petunjuk mulai merapatkan mulutnya. Beberapa menghilang begitu saja, seperti disapu angin. Amina melirik jam di dinding, seakan tak percaya sudah seberapa lama ia berada dalam pencarian ini. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, tetapi matanya tetap tak lepas dari layar komputer.
“Pencarian ini sudah terlalu lama,” pikirnya, matanya menyipit, menilai hasil kerja kerasnya.
Dia menghela napas, lalu membuka kembali berkas yang tergeletak di samping komputernya. Nama Rothschild semakin jelas. Namun, semakin mendekati kebenaran, semakin ia merasakan bahaya yang mengintai.
Sebuah ketukan keras terdengar dari pintu kantornya.
Amina langsung terkejut dan menoleh. Hatinya berdegup cepat. “Siapa itu?” Suaranya serak, tubuhnya bergetar. Tak ada yang datang ke sini setelah jam kerja. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membuka sedikit celah.
Di luar, seorang pria dengan jaket hitam berdiri. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan. Amina menatap tajam.
“Kau yang mengganggu mereka?” Pria itu bertanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan.
“Siapa kamu?” jawab Amina dengan nada datar, meskipun hatinya berdebar.
Pria itu tersenyum samar. "Aku sudah mendengar tentangmu, Amina. Kau terlalu berani. Rothschild bukanlah musuh yang bisa kau taklukkan. Berhentilah sebelum semuanya terlambat."
Amina menyentuh lengan bajunya, merasakan getar ketegangan yang mengalir. "Aku tak bisa mundur sekarang. Sudah terlalu banyak yang aku temukan. Terlalu banyak nyawa yang tergantung pada apa yang aku temukan."
Namun pria itu tidak mengangguk, malah mundur, menambahkan, “Hati-hati, Detektif. Api itu bisa membakar siapa saja. Termasuk dirimu.”
Pintu ditutup dengan keras. Amina merasakan hawa dingin mencekam tulang belakangnya. “Apa maksudnya dengan itu?” gumamnya pelan. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu. Rothschild adalah titik akhir yang harus ia capai. Tidak peduli berapa banyak nyawa yang harus dikorbankan.
Keesokan harinya, Amina melangkah keluar dari gedung dengan langkah tegas. Udara pagi yang dingin menyapa wajahnya. Ia tahu hari ini adalah titik balik. Pencarian ini semakin mendalam, semakin gelap.
Namun, di tengah keramaian kota, ia merasa ada yang berbeda. Sesuatu yang tak terlihat. Wajah-wajah yang tampak biasa, namun ada sesuatu yang mengintai di baliknya. Amina merasakan mata-mata itu. Mereka mengikuti gerak-geriknya, mengejarnya dari bayang-bayang.
“Rothschild memang lebih besar dari yang aku kira,” pikirnya, matanya menyapu jalanan dengan penuh kewaspadaan. Ia menatap setiap orang yang lewat, berharap menemukan petunjuk, sebuah tanda yang bisa membawanya lebih dekat.
Setelah berjam-jam berjalan menyusuri kota, Amina akhirnya menemui seorang informan. Pria itu berdiri di sebuah kedai kopi kecil, matanya gelap dan penuh ketakutan.
“Amina,” katanya terbata-bata. “Rothschild… dia bukan seperti yang kalian kira. Dia punya cara untuk menghancurkan siapa saja yang mengganggu. Kamu harus berhenti!”
Amina menatap pria itu dengan tatapan tajam. “Berhenti? Tidak ada jalan mundur. Aku sudah hampir sampai.”
Pria itu menghela napas panjang dan berkata, “Kau sedang bermain dengan api, Amina. Jangan biarkan api itu membakarmu.”
Namun Amina tidak bisa berhenti. Apa yang ia rasakan lebih dari sekadar penyelidikan. Ada perasaan yang lebih kuat, kebenaran yang harus ia ungkapkan. Ia tahu, semakin ia menggali, semakin banyak orang yang mencoba menutupinya.
"Aku tak akan mundur," bisiknya dalam hati.
Dengan tekad yang membara, Amina melangkah lebih jauh, menuju api yang akan menentukan hidup dan matinya, serta masa depan kota ini.
Langkah-langkahnya menggema di jalanan sepi, dan suara itu seakan menjadi mantra yang terus mengikutinya: "Jangan biarkan api itu membakarmu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!