Keesokan paginya, sinar matahari menembus celah tirai kamar apartemen Keynan, menyelimuti ruangan dengan cahaya hangat keemasan. Namun, hal itu tidak cukup untuk membangunkan Axeline yang masih terlelap dalam tidurnya.
Keynan, yang sudah terjaga sejak tadi, hanya bisa tersenyum melihat wajah damai Axeline. Tubuhnya masih memeluk wanita itu dari belakang, menikmati kehangatan yang terasa begitu nyata. Perlahan, ia mengecup bahu telanjangnya, membiarkan bibirnya menelusuri kulit lembut yang membuat Axeline menggumam pelan dalam tidurnya.
Keynan terkekeh kecil, menikmati momen ini seolah tidak ingin semuanya berlalu. Apalagi saat Axeline mengubah posisi, kini tubuhnya berhadapan dengannya, napasnya yang teratur menghangatkan kulit Keynan.
"Apa aku keterlaluan semalam?" bisiknya, jemarinya terangkat mengusap lembut pipi Axeline. Tatapannya dipenuhi kehangatan, seolah tidak ingin melewatkan sedikit pun momen berharga ini.
Keynan terdiam menatap Axeline dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Ada sesuatu yang mengisi hatinya, sesuatu yang sudah lama ia pendam selama ini.
"Apa bisa kita seperti ini terus? Apa bisa kita hidup bersama?" lirihnya, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Dengan penuh perasaan, ia mendekatkan wajahnya, mengecup singkat bibir Axeline sebelum kembali menatapnya dengan senyum kecil di sudut bibirnya, sebuah senyum yang menyimpan harapan, sekaligus ketakutan akan jawaban yang belum tentu sesuai dengan keinginannya.
Axeline mengerjapkan matanya perlahan, merasakan sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh bibirnya. Hembusan napas hangat menerpa wajahnya, membuatnya sedikit mengernyit dan menjauh, mencoba memfokuskan penglihatannya yang masih samar.
"Selamat pagi, sayang," suara Keynan terdengar rendah dan lembut, nyaris seperti bisikan.
Axeline, yang masih setengah sadar, hanya tersenyum kecil dan mengangguk pelan. Matanya kembali terpejam, menikmati kehangatan yang menyelimuti nya. Namun, beberapa detik kemudian, dahinya berkerut, perasaan aneh mulai menyusup ke dalam benaknya.
Saat ia kembali membuka mata, kesadarannya mulai pulih sepenuhnya, dan ia langsung tersentak begitu menyadari wajah Keynan yang begitu dekat dengannya.
"Astaga! Apa yang kau lakukan di sini, Kak?" pekiknya panik. Ia refleks bergerak menjauh, mencoba menegakkan tubuhnya. Namun, gerakan itu justru membuat selimut yang sedari tadi menutupi tubuhnya melorot hingga ke pinggangnya.
"A-aku ..." Keynan menelan ludahnya, tubuhnya menegang. Tatapannya tertahan pada pemandangan indah di depannya, kulit putih Axeline yang dihiasi jejak merah samar, bukti dari pergulatan semalam yang mereka lewati.
Axeline mengeryit heran. Dia mengikuti arah tatapan Keynan dan detik itu juga, matanya membelalak sempurna. "Akh ..." Dengan panik, ia segera menarik selimut dan menutup tubuhnya rapat-rapat. Pipinya memanas, sementara pikirannya kacau, mencoba mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi.
"A-apa yang terjadi? Kenapa aku …" Axeline menggigit bibirnya, suaranya bergetar saat matanya menelusuri keadaan sekitarnya.
Namun, ucapannya terhenti begitu ia menyadari jika Keynan juga dalam keadaan yang sama dengannya. Tanpa sehelai benang pun.
Axeline membelalakkan mata, tangannya buru-buru menutup mulutnya. "Ja-jangan-jangan kita …"
Keynan menatapnya dengan ekspresi tenang. "Kau tidak ingat? Semalam kau terpengaruh obat perangsang dan kita …" Ia sengaja menggantung ucapannya, memberi ruang bagi Axeline untuk mengingat sendiri apa yang terjadi.
Dan perlahan, potongan-potongan ingatan itu mulai muncul di kepala Axeline. Wajahnya memucat saat ia mengingat Mita yang menjebaknya, pria asing yang hampir menodainya, lalu Keynan yang datang menyelamatkannya. Tapi yang paling jelas dalam ingatan nya adalah dirinya sendiri, dirinya yang meminta Keynan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan.
Keynan mengamati perubahan ekspresi Axeline, lalu bertanya dengan suara rendah, "Kau sudah ingat?"
Axeline menggelengkan kepalanya cepat, seolah ingin menolak kenyataan. "Tidak mungkin …" gumamnya pelan. "Aku … aku tidak mungkin melakukan itu …"
Dengan panik, Axeline segera mencari bajunya yang berserakan di lantai. Tangannya gemetar saat ia hendak meraihnya, namun sebelum sempat melakukannya, suara ponselnya tiba-tiba berdering, membuat tubuhnya kembali menegangkan.
Gerakannya terhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat saat ia meraih ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar.
"Daddy?" gumamnya, suara pelan nyaris tidak terdengar.
Ia menggigit bibir bawahnya dengan tubuh yang menegang. Tiba-tiba, rasa takut menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Angkat saja," perintah Keynan dengan santai.
Axeline menelan ludahnya kasar. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya.
"Ha-halo, Dad?"
Namun, suara yang terdengar di seberang sana bukan suara ayahnya, melainkan suara Keyra, ibunya yang terdengar begitu khawatir.
"Astaga, Axeline! Kau ke mana saja, hah? Kenapa baru mengangkat telepon dari Mommy?"
Axeline menutup matanya erat. Sudah bisa ia tebak, ibunya pasti khawatir karena sejak semalam ia tidak memberi kabar.
"Ma-maaf, Mom. Aku ..."
"Aku apa, hah?" Suara Keyra terdengar makin tegas. "Harusnya kau jujur saja jika ingin menginap di vila untuk berpesta. Tidak perlu meminta Keynan untuk meminta izin!"
Axeline mengernyit. Pesta? Vila? Apa maksud ibunya? Dengan kening berkerut, ia menoleh ke arah Keynan yang tampak santai, bersandar di headboard dengan wajah datar seolah tidak terjadi apa-apa.
Sebelum Axeline sempat bertanya, suara ibunya kembali terdengar, kali ini lebih lembut namun tetap penuh perhatian. "Ini sudah hampir siang. Apa kau sudah sarapan? Jangan sampai telat makan, Lin. Nanti maag mu kambuh."
Axeline menelan ludah lagi, rasa bersalah mulai menguar di dadanya. "I-iya, Mom."
"Ya sudah. Mommy tutup dulu teleponnya dan cepat pulang."
Axeline menghela napas lega setelah panggilan itu berakhir. Dia menatap layar ponselnya sejenak sebelum melirik Keynan yang masih duduk santai di tempat tidur.
"Kau bilang pada mereka jika kita menginap di villa?" tanya Axeline dengan nada curiga.
Keynan mengangkat bahu ringan. "Jika tidak begitu, mereka pasti khawatir dan terus mencarimu."
Axeline menggigit bibirnya. Dia tahu Keynan berbohong demi menutupi kejadian semalam. Tapi tetap saja, rasanya tidak nyaman.
"Aku harus pulang sekarang," ucapnya, berusaha turun dari tempat tidur. Namun, saat ia membungkuk untuk mengambil bajunya yang tergeletak di lantai, Keynan dengan cepat menarik lengan Axeline, dan mendorongnya hingga terlentang, sementara ia berada di atas tubuhnya.
"He-Hei! Apa yang kau lakukan?" pekik Axeline kaget.
Keynan menatapnya dalam, lalu bergerak mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. "Kita harus bicara, Lin," ucapnya dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan, kak." Axeline memalingkan wajahnya, menghindar dari kontak mata langsung dengan Keynan.
"Tidak, Lin. Kita harus bicara, ini tentang kita," ucap Keynan tegas.
Axeline membeku. Entah kenapa, jantungnya mulai berdebar tidak beraturan. "Tentang kita? Memangnya, apa yang perlu kita bahas tentang kita? Kau ingin Aku meminum obat pencegah kehamilan? Baik, setelah ini aku akan meminumnya. Kau ingin aku menjauh dari mu? Aku sedang melakukannya, kak. Lalu, apa yang ... " ucapan Axeline terhenti, saat tiba-tiba Keynan membungkam bibirnya dengan sebuah ciuman.
Kedua matanya melebar, tangannya mengepal erat, namun tubuhnya diam seolah tidak berdaya untuk melawan.
"Aku menginginkan mu, Axeline ," lirih Keynan.
DEG!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
jaran goyang
𝙠𝙖𝙪... 𝙗𝙠𝙞𝙣 𝙖𝙦 𝙠𝙚𝙨𝙚𝙡 𝙮𝙖 𝙠𝙚𝙮
2025-03-03
0
Nar Sih
keynan udah candu lin ,,😂
2025-03-03
0
+86
bastet!
2025-03-03
0