Pagi harinya, tepat pukul empat lewat sepuluh menit. Gladis, sudah dibangunkan oleh bibi atas perintah Tuan Muda mereka.
Hari ini, adalah hari pernikahan Gladis dan Kenny. Gladis, sudah sangat cantik dan anggun dengan mengenakan gaun pernikahan berwarna putih senada dengan jas Kenny. Mereka, keluar dari rumah menuju gedung dimana mereka akan melaksanakan pernikahan.
Tamu undangan telah banyak yang datang, termasuk Ayah Gladis. Ayah, Gladis mencari sosok putrinya. Tak, lama. Datanglah, pria tampan bergandengan dengan wanita cantik menuju altar.
Gladis, menatap Ayahnya. Sambil menepiskan senyumnya. Ia, tersenyum bukan karena bahagia. Melainkan, batinnya tersiksa. Gladis, menepiskan senyumnya agar Ayahnya menyangka dirinya baik - baik saja. Ayahnya pun, mengembangkan senyumnya. Saat, melihat putrinya dalam keadaan baik - baik saja.
Acara pun dimulai, Kenny mulai menyematkan cincin dijari manis Gladis. Begitu pula, sebaliknya. Kenny, langsung mencium kening Gladis. Gladis, pun mencium punggung tangan Kenny. Yang, sudah menjadi suaminya itu. Zoe, tidak lupa. Untuk memotret setiap moment indah mereka ini.
"Cium.. Cium.. Cium.. " teriak para, tamu undangan. Kenny, tersenyum. Kemudian, ia meraih tengkuk Gladis. Dan, menciumnya dengan lembut.
Gladis, kaget dengan apa yang barusan Kenny lakukan. Namun, ia ikut memejamkan matanya. Menikmati, ciuman hangat dari suaminya.
Prok.. Prok.. Prok..
Sorak - sorai bergema ditelinga mereka, karena adegan ciuman tadi. Kini, Kenny dan Gladis sudah berada diatas pelaminan. Menyambut para tamu undangan, yang jumlahnya hanya lima ratus orang saja. Itu, pun hanya kolega, rekan, dan partner kerja Kenny maupun Ayahnya dan Ayah Gladis.
"Sayang, selamat ya. Kamu, sudah menjadi istri tuan Kenny. Maafkan, Papa. Karena Papa Kamu harus menikah sekarang." tutur Papa Mahendra, ia memeluk putrinya.
"Terimakasih Pah, do'akan yang terbaik untuk rumah tanggaku. Papa, nggak perlu minta maaf. Gladis, baik - baik saja." sahut Gladis, sekuat mungkin. Ia menahan air matanya. Agar, tidak jatuh. Seraya membalas pelukan Ayah tercintanya. Kini, Ayah beralih menatap Kenny.
"Tuan Kenny, saya sangat - sangat memohon kepada anda. Tolong, jangan sakiti putri saya atas kesalahan yang tidak sengaja saya perbuat. Tolong, sayangi dan cintai putri saya dengan sepenuh jiwa tuan." tutur Papa Mahendra.
"Saya tidak berjanji bisa membahagiakan putri anda, tapi saya akan berusaha sebaik mungkin. Dan, tolong jangan panggil saya dengan sebutan tuan. Karena, anda adalah Ayah mertua saya sekarang." sahut Kenny, ia menepiskan senyum yang sulit diartikan.
"Baiklah, saya percaya kepadamu. Sekejam - kejamnya Kamu. Kamu, tidak akan sanggup untuk menyakiti seorang perempuan. Apalagi, statusnya adalah istrimu." tutur Papa Mahendra.
"Baiklah nak, semoga Kamu bahagia dengan pernikahanmu ini. Kalau ada masalah jangan sungkan - sungkan untuk bercerita kepada Papa ya. Papa, pulang dulu." pamit Papa, ia kembali memeluk putrinya.
Rasanya, baru kemarin ia melihat putrinya bisa berjalan. Sekarang, ia telah dewasa dan sudah menikah.
"Nat, andai Kamu masih hidup. Kamu, akan melihat putrimu sudah tumbuh dewasa dan sekarang dia duduk dipelaminan bersama suaminya. Ya, putri kecil kita sudah menikah sayang." ucap Papa, didalam hati. Natasya, adalah istri dari tuan Mahendra. Ibu, dari Gladis. Ia, meninggal karena terkena kanker paru - paru.
"Iya Pah, Papa jaga kesehatan. Jangan, lupa makan. Papa, harus selalu sehat. Gladis, sangat - sangat menyayangi Papa." kata Gladis, sambil terisak. Ia, sudah tidak sanggup lagi menahan air matanya.
"Iya sayang, Kamu jaga diri baik - baik. Tuan, tolong jaga putri saya." Kenny, membalas dengan anggukan kepala. Ayah, Gladis berlalu meninggalkan acara.
Tepat pukul enam lewat dua menit, acara telah usai. Mereka, beristirahat sebentar didalam gedung itu. Lalu, meninggalkan gedung. Menuju kediaman Kenny.
Gladis sudah sangat gerah dan merasa pegal, karena menyambut tamu undangan yang berjumlah lima ratus orang itu dengan berdiri, dan memakai high hells.
"Kenapa? Apa kakimu sakit?." tanya Kenny, sambil menatap Gladis yang jalannya agak pincang.
"Ah, tidak tuan. Hanya, sedikit pegal saja." jawab Gladis, ia takut jika mengatakan iya. Maka, pria itu akan marah.
Kenny hanya menyeringai, dengan cepat ia menggendong tubuh Gladis ala brydal. Ia, melemparkannya secara kasar ketempat tidur. Membuat, Gladis meringis kesakitan.
"Auu.. Tuan sakit, kenapa tidak pelan - pelan saja. Lagipula, kalau tidak ikhlas kenapa harus menggendongku segala. Aku, juga tidak memintanya." gerutu Gladis, tanpa sadar. Ia, memegangi bokongnya yang terlempar ke kasur. Saat, tatapan tajam itu mendarat kematanya. Ia, pun sadar akan ucapannya.
"Ah, maaf tuan. Aku, tidak bermaksud begitu. Tidak apa - apa, lakukan lah sesukamu." imbuh Gladis, ia memperbaiki posisinya menjadi duduk.
"Tanpa kau suruh pun, aku akan melakukan apapun yang aku inginkan. Apa kau tau, kenapa aku menggendongmu kemari? Apa kau pikir aku kasihan padamu, karena kakimu sakit? Heh, jangan terlalu percaya diri! Aku melakukan itu, supaya tamu undangan yang melihatnya kita adalah pasangan romantis dan saling mencintai." ucap Kenny, ia tersenyum remeh.
"Ya, tuan terserah kau saja. Aku, juga tidak ada berfikiran seperti itu. Aku, tau kau sangat pandai berakting." jawab Gladis, tanpa rasa takut.
"Kau berani menjawabku hah?." bentak Kenny, ia mulai menindih tubuh Gladis.
"Ah, tidak - tidak. Maafkan aku, aku tidak akan mengulanginya lagi. Tolong, turunlah. Aku, sangat keberatan dan badanku pegal semua tuan." pinta Gladis, dengan wajah memelas.
"Sekarang mandilah kau, jangan lupa memakai pakaian yang ada didalam paper bag itu." tunjuk Kenny, keatas meja itu. Seraya, turun dari tubuh Gladis.
"Tidak tuan, kau saja duluan. Aku, harus membersihkan sisa make up ku dulu." kata Gladis. Kenny, hanya mengangguk. Dan, berjalan masuk kedalam kamar mandi.
"Ya tuhan, tolong aku. Jangan, biarkan pria kejam itu mengambil mahkota yang selama ini aku jaga." ucap Gladis, didalam hati ia, beranjak menuju meja rias.
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments