Chapter 40: Kebersamaan Ditengah Bahaya
Di halaman belakang rumah Reinhard, api unggun menyala terang, menyebarkan cahaya yang hangat ke sekeliling. Beberapa tungku berbentuk kecil tampak sibuk dengan daging barbeque yang terpanggang, mengeluarkan aroma menggoda yang memenuhi udara malam. Asap tipis mengalir lembut, berbaur dengan semilir angin, menciptakan suasana yang akrab dan nyaman.
Seluruh keluarga Reinhard berkumpul di sana. Alberd, Alena, Nina, Grinfol, dan Stefani tengah sibuk mengelilingi panggangan, tertawa riang, dan sesekali menyiramkan saus ke atas daging yang sedang dipanggang.
"Ini sudah pas, nih," seru Alberd dengan senyum lebar, mengangkat sepotong daging dari panggangan dan menaruhnya dengan hati-hati di atas piring. Ia menyentuh sedikit saus manis di atasnya, lalu memandangi hasil kerjanya dengan puas.
"Aromanya harum sekali," balas Alena sambil menghirup udara, tampak menikmati setiap sensasi yang tercium.
"Kak, punyaku juga sudah matang!" Nina berteriak ceria, matanya berbinar-binar seiring keceriaannya kembali menghangatkan suasana.
Grinfol yang sedang sibuk mengatur daging di atas panggangan tersenyum dan berkata,
"Ayah senang kamu akhirnya mau keluar kamar, Nina. Semua sudah lama menunggu."
Nina tersenyum lembut, tangannya terulur meraih piring yang diberikan Alberd.
"Aku senang, selama ada kak Alena. Aku tidak takut apapun..."
Alena mengangguk lembut, tersenyum hangat ke arah Nina yang terlihat begitu ceria.
"Dan kakakmu yang tampan ini, apakah kamu melupakan aku?" Alberd menggoda, dengan tawa ringan di suaranya saat ia menyodorkan piring berisi daging barbeque ke arah Nina.
Nina menahan tawa, menerima piring itu dengan senyum.
"Tentu saja, kakakku luar biasa," jawabnya dengan penuh kasih.
Tak lama kemudian, Stefani datang dengan membawa jus segar dan beberapa gelas, meletakkannya di meja dekat Grinfol sebelum duduk di sampingnya.
"Ibu sangat khawatir mendengar cerita kalian, terutama setelah mendengar kalian diserang perampok saat perjalanan pulang," kata Stefani, suaranya penuh keprihatinan.
"Apalagi saat ibu melihat kamu datang sambil memapah kakakmu..."
"Kakak melawan para penjahat itu dan melindungiku," Nina menjawab, matanya berbinar.
"Dia kelelahan karena melawan dan mengalahkan mereka," tambahnya sambil menyiram saus ke atas daging barbeque miliknya.
Grinfol tersenyum bangga, menatap anak-anaknya dengan rasa hormat. "Ayah sangat bangga pada kalian berdua," katanya, nadanya penuh kebanggaan.
Stefani mengangguk, tersenyum lembut.
"Ibu senang kalian baik-baik saja, terutama Nina yang sempat mengurung diri."
Sementara itu, Alena tampak berbeda. Ia memegang piring daging matang di tangannya, tapi tak menyentuhnya. Pandangannya jauh, terlihat seperti ia sedang fokus pada sesuatu yang hanya ia rasakan. Ada ketegangan samar yang terpantul di matanya. Alberd, yang mengamati dengan seksama, mulai merasa ada yang tak beres.
Alberd (transmisi pikiran):
"Sayang, ada apa? Kamu tampak tidak fokus."
Alena (transmisi pikiran):
"Salah satu familiarku menangkap gerakan mencurigakan. Ada dua orang mendekat ke sini. Aku merasa mereka tidak berniat baik."
Alberd (transmisi pikiran):
"Benarkah? Jika mereka datang dengan niat buruk, kita akan dalam bahaya."
Alena (transmisi pikiran):
"Aku akan mengirim dua familiarku untuk mencari lebih jauh. Mungkin ini rencana Simon. Aku merasa dia ada di sekitar sini. Kita harus waspada dan siap menghadapi kemungkinan apapun."
Alberd mengangguk perlahan, tatapannya penuh perhatian. Ia memegang tangan Alena sejenak, memberikan dukungan tanpa kata.
Tiba-tiba, Nina yang sedang asyik menuangkan saus ke daging barbeque miliknya, menatap keduanya dengan penasaran.
"Kakak, kenapa kalian diam saja? Sedang bermain apa? Siapa yang berkedip dia yang kalah?" tanyanya polos, tanpa mengetahui ketegangan yang melanda.
Alberd dan Alena tersenyum sekaligus, berusaha menenangkan situasi.
"Tidak apa-apa, sayang. Ini, tambahkan saus lagi ke barbequemu," balas Alberd sambil menyerahkan botol saus dengan senyum yang lembut.
Chapter 41: Amukan Alberd
Alena tiba-tiba menggenggam tangan Alberd, matanya memancar kekhawatiran saat mengirimkan pesan melalui transmisi pikiran.
"Alberd, mereka datang..." suaranya gemetar, tapi tegas, seakan merasakan ancaman yang kian mendekat.
Tak lama setelah kata-katanya mengalir di udara, suara tembakan menggema, memecah keheningan yang menekan.
"DORR!"
Sebuah ledakan suara terdengar, melesat ke langit.
Dua pria muncul dari balik bayang-bayang, langkah mereka berat dan terukur. Masing-masing memegang pistol, wajah mereka tertutup topeng yang hanya meninggalkan sepasang mata yang menyala dingin.
Tanpa berkata apa-apa, mereka langsung menodongkan senjata ke arah Alena dan Alberd.
Mata Alberd langsung tajam, tubuhnya tergerak cepat. Alena, yang tidak pernah lengah, segera merapatkan dirinya di sampingnya, siap bertindak. Keduanya berdiri tegak, tubuh mereka memancarkan ketegangan.
Sementara itu, Stefani yang terkejut berlari ke arah Nina, memeluknya erat setelah menabrak pemanggang daging yang berantakan. Nina tampak terkejut, tubuhnya kaku dalam pelukan ibunya, wajah yang tadinya ceria kini berubah pucat pasi.
Grinfol berdiri dengan tegas, meletakkan tangannya di bahu Alberd,
"Kita akan menghadapinya.." ucapnya, lalu menoleh ke arah Alberd.
"Anakku, bawa ibu dan adikmu kedalam" seru Grinfol ke Alena.
"Tidak.. ayah cepat bawa Ibu dan Nina, aku yang akan menghadapi ini bersama Alena." teriak alberd.
"Ayah! Percayalah, kami bisa menghadapinya. Sekarang!" lanjutnya dengan napas yang berat, matanya tidak pernah lepas dari kedua pria yang mengancam mereka.
"Aku menemukan jejak Simon... aku tahu dimana dia berada," ujar Alena dengan suara yang dingin, penuh determinasi.
"Baiklah, kamu pergi. Serahkan yang ini padaku," jawab Alberd, nada suaranya lebih keras, tegas.
Alena mengangguk, dan dalam sekejap, sayap hitam mekar dari punggungnya, menyelimuti suasana dengan aura kelam. Tanpa menunggu lebih lama, tubuhnya melesat ke udara, meninggalkan dua pria yang terpaku.
Kedua pria yang berdiri dihadapan Alberd terpaku melihat apa yang mereka saksikan.
Kedua saling pandang, ketakutan jelas terlihat di wajah mereka.
"Itu... itu monster! Ini gila!" teriak salah satu dari mereka, mulutnya terbuka lebar, terengah-engah.
Di sisi lain, Grinfol hanya bisa berdiri, matanya terbuka lebar melihat perubahan yang terjadi pada Alena. Tangannya menggenggam Stefani dan Nina yang kini masih dalam cengkeraman ketakutan.
Sementara Stefani jatuh pingsan setelah menyaksikan Alena melesat terbang.
"Pergi, Ayah! Jangan ragu!" teriak Alberd, matanya berkilat tajam.
Grinfol hanya bisa mengangguk, meraih istrinya yang pingsan dan membawanya menjauh dari tempat itu.
Tiba-tiba, sebuah suara tembakan menggema, mengiris udara dengan kejam.
"DOORR!"
Grinfol jatuh terjerembab, tubuhnya roboh di atas tanah dengan darah mengalir deras dari punggungnya.
"Ayahhh!!!" teriak Alberd, matanya melebar penuh kepanikan dan kemarahan. Dia menoleh, melihat ayahnya terluka parah.
Nina, yang menyaksikan kejadian itu, tidak mampu menahan diri. Air mata mengalir deras di pipinya, dan dengan isak tangis, ia berlari ke arah Grinfol, meraih tubuh ayahnya yang terkulai ditanah.
Napas Alberd terasa semakin berat, panas kemarahan membakar dalam dirinya. Dengan pandangan penuh dendam, dia berbalik, menatap tajam dua pria yang masih berdiri di hadapannya.
Dia mengepalkan tangannya dengan kuat, nyala api meluap dari kepalan tangannya.
Tanpa peringatan, Alberd melesat, tubuhnya bergerak bak bayangan. Dalam sepersekian detik, pukulannya mendarat di dada pria yang telah menembak ayahnya.
Pria itu terlempar ke belakang, menghantam pagar dengan keras, tubuhnya terhuyung dan mulutnya memuntahkan darah, sebelum akhirnya tubuhnya terkulai tak bernyawa.
Satu pria lagi, yang kini melihat peluang, segera menodongkan pistol ke arah Alberd. Namun, sebelum dia sempat menarik pelatuk, tendangan keras menghantam lehernya, diikuti dengan pukulan telak di perut yang membuat pria itu melayang beberapa meter, tubuhnya langsung kaku, tak bernyawa.
Alberd membungkuk, meraih pistol yang terjatuh, lalu mengarahkan larasnya ke sekitar, memastikan tidak ada ancaman lain.
Di kejauhan, seorang pria lain yang mencoba mengendap-endap ke arah Nina yang masih terisak, tiba-tiba menjerit kesakitan. Seekor kelelawar, melesat cepat, menggigit tangannya.
"Aahhh!" Pria itu terpekik, menggigil kesakitan, namun sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, sebuah tembakan terdengar lagi.
"DOORR!"
Pria itu langsung jatuh terjerembab ke tanah, tubuhnya tidak bergerak lagi.
Dari kejauhan, Alberd berdiri dengan pistol yang masih mengeluarkan asap dari larasnya, wajahnya dingin dan tak terbaca. Dia melemparkan senjatanya, lalu berlari ke arah ayahnya yang terluka dan Nina yang masih terkejut, tubuhnya masih gemetar.
Dengan kekuatannya, Alberd menyembuhkan luka Grinfol, lalu dengan hati-hati membawa mereka semua ke dalam rumah, menjaga mereka tetap aman.
Alberd keluar dari rumah, dan seolah merasakan kedatangan sesuatu, dia menoleh. Kelelawar yang menyerang pria itu terbang mendekatinya, seolah ingin memberitahukan sesuatu.
"Bawa aku ke tampat Alena berada" ucap Alberd dengan suara tegas.
Kelelawar itu berputar di udara, lalu terbang dengan cepat, memimpin jalan. Alberd segera mengikutinya, dengan mata penuh tekad.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments