..."Yang terlihat sederhana belum tentu sederhana. Yang terlihat rumit belum tentu menemukan kerumitan. Hanya dari sudut pandang lain mungkin terasa mudah atau sulit." - Zero....
Pagi ini matahari cukup untuk menghangatkan badannya yang kedinginan. Nara berangkat kuliah seperti biasanya. Menaiki bus juga kakaknya yang kembali bekerja. Bersenandung ria sembari menyumpal telinganya dengan headset. Berjalan santai menuju kelasnya, tanpa sengaja berpapasan dengan Hwang In. Memiliki ciri khas dengan senyum kotak membuat Nara sudah hafal jejeg badannya dari kejauhan sekalipun.
“Pagi," sapa Hwang In.
“Pagi. Oh kulihat kamu berangkat memakai mobilmu. Apa kamu anak orang kaya?” Goda Nara. Hwang In terlihat tersenyum malu dan menunduk.
“Jangan malu, disini hampir semua mahasiswanya adalah kalangan atas. kamu tidak perlu malu seperti itu,” ucap Nara menenangkan.
“Hmm ya kamu benar. kamu pasti kamu juga termasuk didalamnya?” Hwang In berujar santai.
“Tidak. Aku hanyalah anak biasa. Aku hanya wanita beruntung yang mendapat beasiswa sampai lulus disini.” Nara mengucapkannya sembari menarik senyumnya. Hwang In hanya mengangguk.
“Maafkan aku,” ucapnya sambil menunduk.
“Untuk apa? kamu tidak perlu seperti itu. Aku tidak pernah merasa tersinggung, kok.” Nara menepuk bahu Hwang In pelan dan lelaki itu tersenyum hangat.
Tiba-tiba Hwang In berhenti dan menatap tajam ke arah kanannya. Nara yang heran pun akhirnya juga ikutan berhenti. Dia mengamati Hwang In heran. "Ada apa dengannya," pikir Nara. Hwang In tetap fokus pada penglihatannya. Seolah hanya ada dirinya dan obyek yang di amati Hwang In di sana.
Nara mengikuti arah pandang Hwang In dan dia terkejut. Seorang wanita tiba-tiba jatuh dari lantai atas dan darah langsung menggenang diarea kepalanya. Nara dapat melihat beberapa mahasiswa mulai menghampirinya dan sebagiannya lagi memberi laporan pada dosen. Jadi, itu yang dilihat oleh Hwang In sedari tadi. Tapi, mengapa dia hanya diam tanpa berkutik sedikitpun?
“Astaga! Hwang In lihatlah ada orang bunuh diri. Ayo kita kesana.” Nara menarik tangan Hwang In. Tapi yang ditarik malah terdiam bak seorang patung. Bahkan Nara pun jadi terkunci oleh pergerakkannya. "Hwang In," lirih Nara.
“Dia punya masalah dengan orang tuanya. Ayahnya berselingkuh dan menceraikan ibunya. Lalu ibunya memilih untuk bunuh diri dan sekarang dia juga memilih jalan yang sama. Bodoh sekali," ucap Hwang In tanpa sadar.
“Huh?” Nara hanya mengangkat alisnya terheran. Hwang In tersadar dari pikirannya saat mendengar Nara berkata. Ia tahu kebiasaanya adalah mengatakan apa yang dia lihat secara spontan.
“Huh. Apa?” jawab Hwang In pura-pura tidak mengerti.
“Apa yang kamu katakan barusan?” Nara menunjuk diri Hwang In. Entah mengapa tapi Nara tidak merasakan kekhawatiran apa pun. Padahal seumur hidupnya ini pertama kalinya Nara melihat seseorang mati dihadapannya.
“Memang aku mengatakan apa?”
“Kamu mengatakan bahwa wanita yang bunuh diri itu punya masalah dengan orang tuanya,” jawab Nara mengulangi.
“Oh lupakan,” jawabnya singkat. Hwang In lalu berjalan menuju kelasnya dan meninggalkan Nara sendirian. Nara hanya melongo dengan apa yang terjadi sekarang. Rasanya ingin menyusul Hwang In namun, bagaimana nasib wanita malang yang melompat itu?
*
Nara mengedarkan pandangannya, menemukan mobil sahabatnya yang terparkir rapi di depan kampus. Dengan gaya jutek, raut muka masam itulah yang Nara lihat dari ekpresi sahabatnya.
Nara menerima ajakan Yeon untuk menemaninya berbelanja ke Mall terdekat hanya untuk memberi kaos kaki baru, jalan-jalan, juga makan. Nara sudah hafal betul dengan gaya hidup wanita itu. Beruntung juga Nara tidak harus naik bus pulang hari ini.
Dan disinilah ia sekarang di depan gerbang sekolahnya menanti satu wanita yang juga akan ikut bersamanya. Jeon Seo Ra.
“Aish. Kapan wanita kelinci itu akan keluar?” Yeon nampak kesal. Masalahnya mereka sudah menunggu selama 30 menit tapi gadis yang ia tunggu masih belum keluar. Memang Seo Ra memilih jurusan yang berbeda dengan Nara dan Yeon. Kalau Nara dan Yeon memilih jurusan kedokteran, Seo Ra memilih tenaga medis dan tim forensik. Jadi jam kuliahnya pun akan berbeda.
“Sabarlah. Dia mungkin masih ada jam kuliah,” ucap Nara sambil bersandar pada mobil mewah milik Yeon.
“Huh? Sabar! Ini sudah 30 menit Nara. Kalau 15 menit lagi dia tidak muncul. Kupastikan dia akan menjadi bahan lombaku minggu depan!”
Yeon merutukinya dengan kesal lalu mendudukkan dirinya di kursi depan mobilnya. Nara yang mendengar itupun hanya merinding dari bawah sampai atas. Minggu depan Nara dan Yeon akan praktek dengan mayat. Itu artinya Yeon akan membunuh Seo Ra. Nara menelan ludahnya dengan susah payah. Dia terlalu takut hanya untuk memikirkannya.
Tidak berselang lama dari umpatannya, Yeon akhirnya gadis yang sedari tadi ditunggunya muncul. Kali ini dengan wajah terengah-engah. Nara dapat memastikan bahwa Seo Ra berlari dari kelasnya ke depan gerbang.
“Dari mana saja kamu gadis sialan? Huh?” Semprot Yeon bahkan gadis itu belum beristirahat sama sekali dan wajahnya juga belum nampak dengan jelas dihadapan Yeon. Tapi Seo Ra tidak pernah merasa tersinggung dengan ucapan sahabatnya itu. Setelah mengatur nafasnya dia mulai bercerita.
“Dengarkan aku, apa kalian ingat wanita yang bunuh diri tadi pagi?” Yeon yang tadinya terlihat kesal pun sekarang mulai memperhatikan Seo Ra. Ia merasa tertarik dengan apa yang diucapkan oleh sahabatnya.
“Hmm. Memang kenapa?” Tanya Yeon ketus.
“Aku tadi ke ruang penyelidik hari ini dan aku menemukan fakta bahwa gadis itu bunuh diri karena masalah keluarga. Sebelum dia bunuh diri, tepatnya sehari sebelum dia mengakhiri hidupnya dia bercerita keluh kesahnya pada Dosen Kesiswaan. Dan dia menceritakan bahwa orangtuanya bercerai dan ibunya bunuh diri. Menurutku itulah alasan ia bunuh diri,” tutur Seo Ra dengan pembawaan khas penyelidik. Yeon mengangguk dan menatap Nara. Nara hanya bingung dengan tatapan Yeon.
"Ho, jadi begitu ya." Yeon mengangguk. Tipikal gadis yang sangat sulit tenang dari amarah.
“Hmm yap. Dan kabarnya ayahnya juga selingkuh loh. Kasihan sekali yah. Aku tidak bisa membayangkan hidupnya.” Seo Ra tiba-tiba merasa iba dengan kenyataan yang menimpa gadis itu.
"Dan alasan itu juga yang membuat temanmu menunggu selama 30 menit. Jangan mengusuri hidup orang. Dasar kurang kerjaan banget sih ngurusin hidup orang!” Yeon membentak Seo Ra dengan keras hingga dia terpaksa menutup telinganya.
“Jangan teriak juga. Kamu membuat telingaku sakit. Bodoh!” Balas Seo Ra berteriak.
“Kamu yang bodoh. Kenapa juga kamu harus menyelidiki alasan gadis itu bunuh diri, heuh!”
“Heeeii inilah hidupku Min Yeon!” Seo Ra menyanggah.
“Jangan memanggilku dengan sebutan itu. Aku lebih tua darimu anak kecil.”
“Ka-“
“Stop! Aku pusing lihat kalian bertengkar melulu. Sudahlah ayo cepat. Buang waktu saja.” Nara berujar sewot.
Nara langsung naik mobil Yeon dan duduk di belakang. Nara berpikir. Hwang In juga mengatakan hal yang sama dengan apa yang dikatakan oleh Seo Ra. Bahkan, yang lebih anehnya Hwang In hanya melihat gadis yang bunuh diri itu dan dia langsung mengatakan penyebab kematiannya. Tanpa mencari tahunya d Bagian Kesiswaan.
Tapi, bagaimana bisa? Padahal jelas-jelas Hwang In tidak tahu tentang apapun. Dia juga murid pindahan. Mana mungkin dia langsung tahu kehidupan orang kampus. Tapi apakah dia diberitahu oleh seseorang alasan gadis itu bunuh diri? Saat itu Hwang In ada bersamanya dan dia tidak mengangkat telepon dari siapapun. Ataukah? Dia juga sama seperti Nara. Seseorang yang memiliki kemampuan? Atau mungkin dia adalah robot yang memiliki kemampuan seperti Nara? Memikirkannya pun membuat Nara bingung.
Nara menatap keluar jendela mobil. Matanya tidak henti hentinya menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan.
“Sebenarnya dunia macam apa ini,” lirih Nara.
***
Seorang lelaki berjalan melalui lorong yang remang. Ia menatap pintu besar dengan desain arsitektur yang megah. Mewah. Seolah kata yang kerap diucapkan oleh ribuan ukiran yang ada di ruangan itu. Dengan langkah tegapnya ia memasuki ruangan itu. Menatap tajam seorang lelaki paruh baya yang duduk menghadap jendela. Seorang lelaki muda dengan perawakan yang tinggi, tegap, tegas, dan rahang yang keras. Membuat siapapun akan jatuh pada pesona yang dimilikinya. Lelaki paruh baya itu menoleh saat ia tahu bahwa ada seseorang yang membuka pintunya. Lelaki paruh baya itu lalu tersenyum melihat putranya datang.
“Oh. Ternyata kamu sudah datang. Duduklah,” pinta lelaki paruh baya itu. Lelaki muda itu tersenyum simpul lalu duduk di sofa di samping ayahnya. “Ada apa kamu kesini Sang Ha?” Tanya lelaki paruh baya itu setelah Sang Ha duduk.
“Hmm apa ayah ingat tentang keluarga Laurentz?” Tanya Sang Ha.
Sang Ha tahu bahwa ayahnya kaget dengan pertanyaannya. Ya, sudah lama keluarga Laurentz musnah dikarenakan pertempuran berdarah 21 tahun yang lalu. Tentu saja membuat Tuan Besar Kim merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang diajukan oleh putra semata wayangnya itu.
“Untuk apa kamu mengungkit tentang keluarga Laurentz lagi, Sang Ha?” Ayahnya menatap mata Sang Ha penuh selidik.
"Hari ini aku bertemu dengan seorang wanita yang mencurigakan. Dia seolah mengatakan dapat melihat masa depanku yang tertabrak truck saat menyeberang. Hal ini hanya akan terjadi di keluarga Laurentz kan ayah?"
“Sang Ha. Ayah tahu bahwa kamu masih tidak bisa menerima kenyataan ini. Tapi, terimalah mulai saat ini, bahwa mereka sudah tidak ada. Mereka sudah mati, Sang Ha.”
Sang Ha tersenyum miris. Sekilas ia teringat kenangan bersama keluarga Laurentz dulu. Sang Ha menatap wajah ayahnya sendu, “Ayah. Aku sebenarnya masih tidak percaya dengan berita kematiannya. Apakah aku boleh meminta ijinmu untuk menyelidiki mereka lebih lanjut?” Sang Ha berujar pelan dan hati-hati. Ia tidak ingin menyakiti perasaan ayahnya yang bisa dibilang sudah melupakannya dan menguburnya dalam-dalam.
“Sudahlah. Kamu hanya perlu menjalani hidupmu yang lebih baik sekarang. Lupakanlah mereka, Sang Ha. Pergi ke kamarmu dan tidurlah!” ucap ayahnya dengan nada memerintah.
Tangan Sang Ha bertaut. Sedikit meragu dengan pertanyaan yang akan dia lontarkan secara gamblang. “Baiklah ayah. Tapi aku harap ayah menjawab pertanyaanku.”
Tuan Besar Kim menatap mata anaknya dan kemudian mengangguk. Sekilas rasa ragu terbesit dibenaknya. Karena ia yakin apapun yang akan dikatakan anaknya pasti hal yang cukup sensitif.
“Kenapa ayah mengajakku ke bumi? Apa tujuan ayah ke bumi?” Tanya Sang Ha dengan setengah menjaga emosinya agar tidak terlepas dari kontrolnya.
“Ayah sudah bilang padamu ayah hanya ingin berada di sini. Karena disinilah ayah dibesarkan,” jawab ayahnya santai. Namun, Sang Ha tahu bahwa itu bukanlah jawaban yang sesungguhnya. Ayahnya berbohong. Sang Ha tahu dengan pasti itu.
“Katakan padaku yang sejujurnya. Aku tahu ayah berbohong padaku. Untuk apa ayah ke bumi? Sedangkan, dunia kita butuh ayah sebagai pemimpinnya. Apa Ayah ingin lari dari tanggungjawab Ayah sebagai pemimpin, demi ego Ayah sendiri? Aku bukanlah anak kecil yang gampang Ayah bohongi. Aku sudah dewasa saatnya aku tahu segala hal!” Sang Ha berburu melepaskan nafasnya.
Tuan Besar Kim melihat anaknya baik-baik. Sang Ha kecilnya telah tumbuh dewasa. Saatnya menjadi pemimpin yang tegas. Wajahnya, rahangnya, wibawanya, dan segala hal yang melekat pada dirinya. Sang Ha bukanlah anaknya yang harus ditimang lagi.
Untuk kesekian kalinya di hari yang menyesakkan dia menghela nafasnya. “Baik, ayah akan ceritakan. Tapi kamu harus berjanji pada Ayah. Jika kamu harus bersedia menjadi pemimpin yang baru dan menggantikan Ayah. Bagaimana? Apa kamu sanggup, Sang Ha?”
Sang Ha menimbang-nimbang permintaan ayahnya itu. Jika Sang Ha bersedia menjadi seorang pemimpin maka, dengan kata lain ia harus siap mengabdi dan meninggalkan bumi. Tempat dimana ia dibesarkan. Dan Sang Ha akan menetap di dunianya sampai akhir hayatnya. Ia akan sangat merindukan bumi. Tapi bagaimanapun ia harus menjalaninya.
“Baiklah ayah. Sang Ha siap akan hal itu. Tapi, kuharap tidak kan ada lagi kebohongan diantara kita, Ayah.” Sang Ha menarik nafasnya pelan. Sudah saatnya ia siap dengan kenyataan ini. Ayahnya beranjak ke sebuah tumpukan buku yang cukup usang yang ada di lemari bukunya. Sang Ha langsung tertuju pada buku yang dibawa oleh ayahnya.
“Ini hanyalah buku biasa Sang Ha, tidak ada hal istimewa di dalamnya. Ini adalah catatan ibumu sebelum dia meninggal. Kamu lihat saja buku itu sekilas dan kamu akan tahu jawabannya. Dan jika kamu sudah menemukan jawabannya maka, kamu tidak perlu lagi penjelasan dari ayah.” Tuan Besar Kim beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah pintu.
Tuan Besar Kim menepuk pundak putranya pelan. “Cari dan buatlah tujuanmu sendiri, Sang Ha. Ayah pasti akan mendukungmu dan apapun yang akan kamu lakukan ayah pasti merestuinya. Kalau begitu ayah akan berjalan-jalan sebentar," sambung Tuan Besar KIm lalu keluar dari ruang istirahatnya yang mewah itu.
Sang Ha menatap punggung ayahnya yang akan segera menghilang di balik pintu. Kemudian matanya mengamati buku yang berada di tangannya. Ini adalah buku milik ibunya. Apakah yang disimpan oleh ibunya selama ini ada di buku ini?
Sang Ha membuka lembar demi lembar buku usang itu. Dia membaca setiap kalimat yang tertulis didalamnya. Banyak yang Sang Ha tidak ketahui. Tentang kematian Mauriz Laurentz, musnahnya keluarga Laurentz dan alasan ayahnya masih ingin tinggal di bumi. Sang Ha menutup buku itu pelan. Matanya menerawang jauh dimasa lalunya. Ia tahu sekarang langkah apa yang akan dia ambil.
Sang Ha hendak mengembalikan buku itu namun, sebuah kertas malah terjatuh. Sang Ha mengambilnya dan membaca kertas itu. Kertas tua dengan foto yang menyertainya. Foto itu adalah foto yang diambil melalui kamera yang masih hitam putih. Sang Ha melebarkan matanya tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia lalu terburu-buru mengembalikannya dan berlari keluar. Ia berencana akan menemui ayahnya secepatnya. Ia sudah mantap sekarang bahwa ia akan membuat tujuan dimana dia akan menyelidiki keluarga Laurentz bahwa mereka masih berada di alam semesta ini.
..."Ini akan menjadi sebuah rahasia di antara kita Mauriz. Aku berjanji akan menjaga rahasia ini sampai mati. Semoga kelahiran bayi ini tidak diketahui oleh bangsa Sting. Tapi, maafkan aku Mauriz aku harus membuang jauh-jauh bayimu. Semoga Bumi akan menjaganya."...
-Umma-
...***...
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments