Bab 1 Suasana Embun

..."Segala hal dimulai sejak pagi, kesibukan, juga angan, menangisi kehidupan sudah banyak dilakukan manusia. Hanya saja, mereka terlalu bersimpati akan esok pagi dengan suasana yang sama." - Zero....

Sinar matahari memaksa masuk lewat celah-celah jendela yang terbuka. Membuat seseorang yang sedang tertidur pulas dikasurnya terbangun. Sosok itu mengeliat kecil dan membuka matanya perlahan. Sinar terang langsung menusuk indra penglihatannya.

Setelah mengumpulkan kesadarannya lalu bangun dari kasur. Menyibak selimut asal dan langsung menuju ke kamar mandi. dia tahu bahwa dia tidak punya banyak waktu lagi untuk bermalas-malasan karena dia yakin bahwa jam telah menunjukkan pukul tujuh pagi.

Gadis ini sangat suka pemandangan pagi, melihat orang orang yang sibuk dengan kegiatannya, menyaksikan orang terlambat dan sebagainya. Hal itu merupakan sensasi tersendiri bagi dirinya dipagi hari yang sibuk.

Menyangga badannya dengan kedua tangannya pada wastafel. Menatap pantulan dirinya di cermin kecil. Menatap wajahnya sendiri yang memang banyak dikagumi banyak orang.

Wajah yang kecil dengan hidung yang mancung. Bibir tebal yang menghiasi wajahnya tidak lupa dengan warna merah muda yang menggoda. Rambut panjang berwarna emas sebatas pinggang yang bergelombang dengan tubuh proporsional. Banyak yang mengira bahwa dia adalah model. Tapi, apalah dia hanyalah gadis biasa yang tinggal dalam sebuah apartemen kecil. Hanyalah gadis kecil imut berusia 21 tahun sedang menjalani dunia perkampusan. Tinggal bersama sang kakak yang terpaut usia 5 tahun.

Gadis cantik yang bernama Kim Nara. Dia hanyalah anak remaja yang sekarang menempuh pendidikan disalah satu Universitas di Seoul. Nara bersekolah di Korean Internasional University. Dimana kampus itu adalah kampus idaman bagi sebagian besar penduduk Korea. Nara bisa masuk kesana karena beasiswa yang dia dapat sewaktu di SMA dulu. Dia juga tergolong anak yang pintar dan rajin. Tentunya dengan segala prestasi yang dia bawa.

Kakaknya bernama Jung Byul, adalah pemuda yang mempunyai semangat tinggi dan pekerja keras. Byul sangat menyayangi adiknya, oleh sebab itu Byul bekerja demi membiayai Nara kuliah. Walaupun Nara mendapat beasiswa disana bukan berarti dia terbebas dari pembiayaan. Masih ada hal seperti buku pelajaran dan tambahan biaya ekskul jika ada.

Sebenarnya keluarga Byul adalah keluarga kaya, bahkan Byul adalah pewaris satu-satunya dikeluarga Jung. Namun, sebelum menjadi pewaris perusahaan, Byul diuji oleh ayahnya. Dan dia harus tinggal sebagai orang kalangan miskin. Agar suatu saat jika Byul berada di atas maka, dia tidak akan menyakiti orang yang ada dibawahnya.

Kim Nara dan Jung Byul. Mereka bukanlah kakak adik kandung yang lahir dari rahim yang sama. Bahkan Nara tidak pernah tahu mengapa dia dan kakaknya memakai marga yang berbeda. Terlalu rumit untuk dipikirkan. Tapi Nara tidak bodoh untuk menyadari bahwa dia hanyalah anak angkat dari keluarga kaya itu. Bahkan Nara pernah bertanya pada kakaknya. Siapa dan darimana dia berasal. Dan jawaban kakaknya hanyalah satu, 'suatu saat kau pasti tahu'. Selalu kata sialan itu yang keluar dari mulut kakaknya. Hingga pada akhirnya Nara menyerah untuk bertanya.

Nara selesai bersiap-siap. Saatnya ddia menyiapkan sarapan. Nara dan Byul terbiasa sarapan dengan roti isi yang sederhana. Karena itu adalah menu yang mudah dibuat dalam keadaan terdesak sekalipun. Nara sedang berkutat di dapur kecil miliknya hingga dia rasakan rasa dingin yang menempel di pipi mulusnya. Nara menoleh dan menemukan wajah cerah kakaknya itu sembari menyodorkan kaleng dingin air soda.

"Apakah baik meminum soda di pagi hari?"

"Menurutku aman," jawabnya asal.

"Ishh. Kau ini," ucap Nara dengan bibir yang dimanyunkan. Byul hanya terkekeh kecil dan duduk di kursi makannya.

Nara selesai memasak dan menata makanan dimeja. Dia memperhatikan kakaknya tajam. Kakaknya hanya memakai kaos kusutnya dan juga celana panjang khas baju tidur. Nara heran, bukankah ini hari Senin seharusnya kakaknya memakai jas hitam dengan dasinya. Tapi entah mengapa dia hanya memakai kaosnya itu.

"Kurasa ini adalah hari Senin," Nara duduk di kursinya lalu menyendok makanannya.

"Hari ini aku libur. Tapi sebagai gantinya minggu besok aku harus berangkat kekantor. Jadi, aku akan mengantarkanmu ke kuliah hari ini." Byul menatap adiknya yang nampak kebingungan itu. Byul bekerja disebuah perusahaan yang cukup terkenal. Dan dia adalah kepala bagian produksi.

"Wahhh, jadi hari ini aku tidak perlu naik bus lagi. Hehe," Nara terkekeh dengan wajah cerianya. Membayangkan bus sesak sudah membuat dia pusing seketika. Dari mana dia akan sesenang ini jarang sekali kakaknya ada di rumah dan mengantarnya kuliah. Karena memang terkadang dia sibuk dengan pekerjaannya.

"Cepat habiskan makananmu dan kita akan berangkat sebentar lagi." Byul tersenyum saat tahu bahwa adiknya pasti senang dia akan diantar olehnya. Byul tahu sangat minimnya waktu untuk bersama membuat Nara.

Nara melambaikan tangannya pada Byul saat dia berjalan ke dalam kampusnya. Byul tersenyum sekilas ke arah Nara dan melajukan motornya. Sebenarnya Byul sangat kalut hari ini. Oleh sebab itu, dia mengambil cuti sehari untuk menenangkan pikirannya. Tapi agar tidak kena marah Nara dia berbohong bahwa dia libur hari ini. Sebenarnya sama saja. Cuti dan libur. Hanya tergantung permintaan saja.

Byul menatap universitas Nara melalui kaca spionnya. Dan dia sangat miris akan hal itu. Adiknya bahkan tidak tahu tentang dirinya dan semua kebohongan yang dia ciptakan. Namun, dia tidak ingin egois. Suatu saat Byul akan membongkar semuanya dan menjelaskannya pada Nara. Tapi, tidak untuk saat ini. Dia tidak sanggup.

"Maafkan aku Nara," ucapnya dalam hati.

...***...

Nara menatap temannya dengan tatapan benci. Dia sangat membenci ini. Saat teman-temannya menyontek tugas yang diberikan oleh dosennya. Dengan perasaan kesal dia berjalan ke arah gadis berkulit pucat, Yeon. Yeon yang sedang membaca buku pun hanya melirik sekilas pada Nara dan kemudian fokus membaca lagi. Dia sangat tahu apa yang dipikirkan oleh gadis itu saat Nara menghampirinya. Wanita itu hanya ingin mengeluh.

"Yaya, aku tahu Nara. Kau pasti akan mengeluh karena mereka mencontek pekerjaanmu. Ya kan? Kalau hanya untuk itu pergilah aku muak mendengarnya," ucap Yeon yang padahal dia tidak melirik Nara sedikitpun.

"Hei! Min Yeon, kenapa kau malah mengusirku padahal temanmu ini sedang kesusahan. Dasar!" Tanpa sadar Nara meneriaki Yeon tepat didepan mukanya. Dengan kasarnya Yeon mengusap wajahnya yang terkena cipratan kasih dari Nara.

"Kau makan apa sih Nara! Gila bau banget. Jijik tau!" Protes Yeon pada Nara yang telah mengotori wajah mulusnya. Nara mengangkat tangannya dan mencium bau nafasnya sendiri. Wangi. Mungkin penciuman Yeon yang salah.

"Wangi tuh. Kau sedang flu yah?"

"Kau kira aku penyakitan apa? Huh!" Sentak Yeon.

"Ya kalau enggak yaudah diam saja. Gak usah marah-marah juga." Nara lalu melengos dan duduk ditempatnya. Tidak lama dosen yang akan mengajar kelas Nara pun datang. Semua anak di kelas itupun menatap dosen itu dengan wajah bertanya-tanya. Dosen itu tidak sendirian melainkan dengan seorang lelaki muda bersama dengannya.

"Selamat pagi semuanya. Hari ini kita kedatangan mahasiswa baru. Dia adalah murid pindahan dari British University, Amerika. Baiklah silahkan perkenalkan dirimu." Dosen itupun mempersilahkan lelaki tadi untuk memperkenalkan diri.

"Selamat pagi semuanya. Perkenalkan nama saya Kim Hwang In. Saya mahasiswa pindahan dari British University, Amerika. Saya pindah ke universitas ini karena orang tua saya dialih tugaskan di Korea. Dan hanya sekolah ini yang memiliki jurusan kedokteran yang bagus. Oleh sebab itu, mohon bimbingannya," ucap lelaki bernama Hwang In itu sambil membungkukkan badannya.

"Baiklah Hwang In silahkan duduk. Dan kita akan mulai pembelajarannya...," ucap dosen itu kemudian memerintahkan mahasiswanya untuk membuka buku pelajaran.

Hwang In duduk di dekat jendela. Tepatnya disamping Yeon. Karena memang anak itu yang tidak punya teman sebangku. Hwang In tersenyum pada Yeon ramah dan Yeon hanya menganggukan kepalanya.

"Hai, namaku Hwang In. Siapa namamu nona?" Hwang In mengulurkan tangannya, Yeon membalas uluran tangan Hwang In. Yeon tersenyum ramah. Hanya seperti cara mereka berkenalan dalam waktu singkat.

"Min Yeon," ucap Yeon dingin. Hwang In hanya mengangguk dan tersenyum getir.

"Dia memang seperti, jangan kamu terlalu memikirkan sikapnya." Nara berbisik pada Hwang In. Yeon yang mendengarnya pun langsung menatap tajam Nara. Sedangkan Nara hanya memiringkan kepalanya seakan tidak terjadi apa-pun. Sungguh rasanya Yeon ingin menendang wajah sahabatnya itu sekarang juga.

...*...

Seusai pulang dari kuliahnya Nara duduk di bangku taman. dia sedang menunggu kakaknya yang akan menjemputnya sebentar lagi. Disana Nara dapat melihat dengan jelas universitasnya yang besar itu dan jalan raya.

Nara menatap seseorang yang akan menyebrang jalan. Seorang lelaki dengan perawakan yang tegap dan berkharisma. Nara menatap orang itu lama sampai dia bisa melihat kilasan-kilasan memori tentang masa depannya. Nara melihat bahwa dia akan ditabrak oleh truk yang kehilangan kendali saat menyeberang jalan. Nara dapat melihatnya dengan jelas, seakan selayaknya film yang terus memutar.

Nara lalu berlari kearah lelaki yang akan menyeberang. Masih dia lihat lelaki itu meraih ponselnya yang ada di saku kanannya dan berjalan santai. Nara meraih tangan lelaki itu dan menariknya kembali ke seberang. Lelaki itupun tersentak dan menjatuhkan ponselnya. Disaat yang sama sebuah truk langsung lewat dihadapan lelaki itu secepat kilat.

"Syukurlah kamu selamat. Apa tidak ada yang terluka, Tuan?" tanya Nara ramah pada lelaki itu. Namun, bukan tatapan terima kasih atau ramah yang dia tunjukkan. Melainkan tatapan suram yang mengerikan. Nara heran dengan sikap lelaki itu. "Ada ap-" Nara hendak bertanya tapi ucapannya terpotong.

"Kau!" Lelaki itu menudingkan telunjuk jarinya tepat di mata Nara. Nara memundurkan langkahnya karena kalau tidak tangan itu pasti menusuk mata Nara. "Apa yang kamu lakukan huh?"

Nara mengerjapkan matanya pelan. Masih mencerna kata-kata yang ditujukan untuknya itu. "A-aku menolongmu," jawab Nara gugup karena dia sangat dekat dengan lelaki itu.

"Menolong? Menolong dari apa?" tanyanya yang masih menuding mata Nara. Nara yang kesal pun menepis tangan yang menudingnya itu.

"Heh! Seharusnya kau berterima kasih padaku. Kalau tidak kau pasti mati ditabrak truk itu, dasar bodoh!"

"Ulangi sekali lagi kau mengataiku apa?"

"Bodoh! Memang kenapa? Kau memang bodoh. Jelas jelas aku menolongmu tapi kau malah marah-marah. Kalau begini caranya aku menyesal telah menolongmu!" sungut Nara kesal.

"Helo nona. Apa kau sedang mimpi di siang bolong? Aku tidak mungkin mati tertabrak truk. Tidak akan ada orang yang tahu masa depan seseorang. Jangan gila. Ohh dan satu lagi. Ponselku rusak, dan kamu seharusnya bertanggungjawab akan hal itu!"

Sekilas Nara berpikir. Benar. Tidak akan ada orang yang bisa melihat masa depan. Lalu apa yang Nara lakukan tadi? Apakah dia hanya berhalusinasi? Nara seperti orang bodoh sekarang.

"Baiklah Tuan, aku minta maaf. Dan aku akan mengganti ponselmu." Nara pasrah dengan perkataan lelaki itu. Dia benar mungkin Nara hanya sedang bermimpi.

"Haha. Apa kau bilang? Kau mau mengganti ponselku? Punya uang berapa kau?" Lelaki itu menatap tajam ke arah mata lekat Nara dengan tatapan mengintimidasi dan meremehkan.

"Ohh. Oke. Aku paham Tuan. Baiklah. Kalau kau hanya ingin menginjak harga diri seseorang lebih baik aku tidak pernah bertemu denganmu. Jika kau merendahkan niat baikku untukmu, itu artinya kau hanyalah orang yang sombong. Terima kasih!"

Nara melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Sungguh dia sangat terhina dengan perkataan lelaki itu. Nara memang tidak punya uang banyak tapi dia masih punya rasa tanggungjawab. Tapi lelaki bodoh itu justru menginjaknya. Nara berharap agar dia tidak bertemu dengan lelaki itu lagi atau orang yang sejenis dengannya.

...***...

Mengusir penat, Nara merebahkan dirinya dikasurnya. Menatap pemandangan matahari sore yang tenggelam dari jendelanya yang terbuka. Dia memikirkan kata-kata lelaki yang tanpa sengaja dia temui tadi. Bahwa manusia tidak akan ada yang tahu tentang masa depan seseorang. Lalu, jika tidak ada hal seperti itu. Maka, siapa Nara?

Nara mengusap kasar wajahnya. Selama ini dia berpikir bahwa dirinya diberi kekuatan khusus dari Tuhan. Selama ini pula, Nara sudah berusaha percaya pada kemampuannya. Tapi, Nara tidak pernah membuktikan kemampuannya itu. Nara bangkit dari waktu santainya dan segera mandi. Dia berencana menanyakan ini kepada kakaknya. Kalau Nara punya kemampuan lebih itu berarti kakaknya juga mempunyainya.

Nara sedang bersantai dengan kakaknya sambil menonton televisi. Nara masih kalut dengan pikirannya apakah dia harus bertanya atau tidak. Dengan ragu-ragu Nara memberanikan dirinya untuk bertanya.

"Hmm, kak?" panggil Nara lirih. Byul yang sedari tadi terpaku menatap layar televisi menoleh pada adiknya itu.

"Hm? Ada apa?" tanyanya dengan mulut yang masih aktif mengunyah makanan.

"S-sebenarnya apa kakak juga bisa melihat masa depan seseorang?" Byul tersentak dengan perkataan adiknya itu. Ini yang sangat dia hindari. Dia tidak ingin membahas soal kemampuan Nara untuk saat ini. Byul menatap wajah adiknya lekat. Wajah polos yang dengan bodohnya Byul lukai.

"Apa maksudmu Nara?" tanya Byul santai.

"Sebenarnya saat aku menunggu kakak menjemputku. Tadi, aku melihat seseorang yang tengah menyeberang dan saat aku menatapnya lama aku melihat masa depannya akan tertabrak truk yang melaju. Jadi, aku berusaha menyelamatkannya. Tapi dia malah bilang bahwa tidak ada orang yang mampu melihat masa depan orang lain. Jadi, aku bertanya padamu apakah itu benar?" Nara menatap mata milik kakaknya itu. Berharap bahwa kata-kata seperti 'suatu saat kau akan tahu' tidak terucap dibibir kakaknya.

"Jadi kau memikirkan perkataan lelaki itu?" Byul bertanya balik. Nara hanya mengangguk sebagai jawaban. Memang benar dia memikirkan perkataan lelaki itu. "Tidak ada yang harus kau pikirkan. Kembali ke kamarmu. Ini hampir malam," ucap Byul lantang dan tegas. Tapi bukannya beranjak menuruti kata kakaknya Nara malah terdiam ditempatnya.

"Tapi kau belum menjawabku."

"Tidak ada yang harus aku jawab. Semuanya pasti akan kau mengerti suatu saat nanti." Byul mengalihkan pandangannya dari Nara dan menatap layar televisinya. Nara merasa kesal dengan kenyataan yang ditutup-tutupi kakaknya. Berulang kali Nara bertanya tapi jawabannya selalu sama.

"Aku bukanlah anak kecil lagi yang bisa kau bohongi kak. Aku ingin tahu siapa diriku. Siapa aku sebenarnya. Bahkan aku pernah berpikiran bahwa aku hanyalah robot yang diciptakan karena bisa melihat masa depan. Aku bukan berbeda kak. Tapi aku memang aneh. Manusia teraneh yang pernah diciptakan. Kau tahu kak, aku muak dengan semua ini! Siapa aku kak? Aku tahu kakak pasti tahu tentang diriku yang sesungguhnya. Kumohon kak. Jawab aku!" Nara sudah tidak kuat menahan amarahnya.

"Nara! Jangan berpikiran bodoh. Kembali ke kamarmu. Sekarang!"

"Tidak! Sebelum kau menjawabnya."

"Apa kau tidak dengar Nara? Kembali ke kamarmu sekarang!" Tanpa sadar Byul membentak Nara. Nara tidak dapat lagi membendung air matanya. Dia mulai menangis tapi tanpa isakan. Hanya air matanya yang mengalir tanpa terkontrol. Byul yang mengetahui Nara menangis menghela nafasnya kasar. Lalu memeluk tubuh adiknya itu.

"Maafkan kakak, aku tidak bermaksud membentakmu. Maafkan aku. Sekarang kembalilah ke kamarmu dan tidurlah," ucap Byul menenangkan. Byul tahu bahwa dia keterlaluan, dia sudah membiarkan kebohongan meracuni pikiran adiknya. Ingin rasanya dia berkata dengan lantang dihadapan adiknya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tapi apalah. Byul tidak ingin Nara menganggapnya sebagai orang bodoh yang percaya akan kemampuannya.

...***...

...Bersambung......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!