Wanita Tahanan Tuan Muda
Eleanor tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikan oleh kedua matanya. Dunia seakan berhenti berputar sesaat. Kai —lelaki yang selama ini ia anggap sebagai tempat pulang, orang yang ia percayai sepenuhnya— kini sedang berciuman dengan perempuan lain. Namun yang membuat semuanya terasa jauh lebih menyakitkan, perempuan itu bukan orang asing. Dia adalah sahabat mereka sendiri —Cantika.
Keduanya tampak larut dalam ciuman yang terlalu dalam untuk disebut sebagai sebuah kesalahan spontan. Mereka begitu tenggelam dalam dunia mereka sendiri hingga tak menyadari kehadiran Eleanor yang berdiri hanya beberapa meter dari mereka, menatap tak percaya dengan jantung yang seolah berhenti berdetak.
“Oh, jadi ini?” suara Eleanor akhirnya terdengar. Pelan, namun cukup tajam untuk memotong suasana.
Barulah Kai dan Cantika terkejut. Mereka buru-buru melepaskan ciuman mereka, saling menjauh dengan ekspresi penuh kepanikan dan rasa bersalah. Tatapan mereka langsung tertuju pada Eleanor yang berdiri membeku, namun justru bukan mereka yang jadi fokus Eleanor saat itu. Ia menatap seseorang yang berdiri sedikit lebih jauh di belakangnya —Elang.
"El, ini nggak seperti yang lo lihat," ucap Kai cepat-cepat, suaranya terdengar gugup dan terburu-buru.
"Sayang, tolong jangan salah paham. Aku dan Cantika—" Cantika ikut mencoba menjelaskan, namun tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Lo berusaha mati-matian mencegah gue ke sini buat nutupin perselingkuhan mereka?" suara Eleanor bergetar, namun tetap tegas. Tatapannya tertuju pada Elang, tajam dan penuh luka. Ia bahkan tidak menggubris Kai dan Cantika yang mencoba memberikan penjelasan.
Pengkhianatan dari Kai dan Cantika sudah cukup untuk membuat hati Eleanor remuk, tapi kenyataan bahwa Elang —sahabat yang paling ia percayai— ikut menyembunyikan semuanya darinya, membuat luka itu terasa jauh lebih dalam. Lebih mengiris.
Pantas saja Elang sempat mati-matian menahan Eleanor agar tidak datang ke tempat ini. Sekarang semuanya masuk akal. Ada sesuatu besar yang Elang coba tutupi. Ia tahu. Ia tahu tentang perselingkuhan Kai dan Cantika, namun memilih diam. Memilih bungkam.
“Enggak, bukan gitu—”
“Mereka udah berkhianat… dan lo ikut-ikutan?!” suara Eleanor meninggi. Air matanya jatuh, membasahi pipinya, menandai kepedihan yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
Persahabatan mereka berempat sudah terjalin sejak lama. Mereka tumbuh bersama, saling berbagi tawa dan luka. Tapi kini, semuanya hancur hanya dalam hitungan detik. Eleanor merasa seolah ketiga orang yang paling dekat dengannya menusuk dari belakang —dan salah satunya bahkan adalah orang yang ia cintai.
Ia ingin marah, ingin teriak, ingin menghancurkan sesuatu. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk itu. Hatinya terlalu perih.
“El, dengerin gue dulu,” Elang berusaha meraih tangannya, mencoba menenangkan. Namun Eleanor menolak. Ia menarik tangannya sebelum Elang sempat menggenggamnya.
“Gue selalu nganggep kalian sahabat… tapi kenapa? Kenapa lo semua ngelakuin ini ke gue?!” jerit Eleanor sambil menjambak rambutnya sendiri —kebiasaan lamanya yang muncul setiap kali emosinya tak terkendali. Ia berada di ambang batasnya.
“Sayang…”
“Eleanor…”
“El…”
Kai, Cantika, dan Elang memanggil-manggil namanya, panik, khawatir. Mereka tahu Eleanor memiliki masalah dalam mengendalikan emosinya. Tapi Eleanor tidak membiarkan siapa pun mendekat. Ia merasa dikhianati. Ditinggalkan. Dihancurkan.
“Mulai sekarang kalian bukan sahabat gue lagi.” Suara Eleanor terdengar pelan tapi tegas. Matanya bergantian menatap ketiganya, lalu berhenti lama pada Kai.
“Dan kamu… mulai hari ini kita udah nggak punya hubungan apa pun. Kita putus.”
Suaranya tercekat saat mengucapkan dua kata terakhir. Putus. Ia benci mengatakannya. Hatinya berteriak menolaknya. Tapi logikanya tahu bahwa cinta yang dikhianati tak bisa dimaafkan begitu saja.
Kai menggeleng, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
“Enggak, sayang. Aku bisa jelasin. Ini gak seperti yang kamu lihat.”
Tapi Eleanor sudah tidak mau dengar lagi. Ia berbalik dan pergi. Tak memberi ruang pada Kai untuk bicara, menjelaskan, atau sekadar menyentuhnya.
Kai dan Cantika hanya bisa menatap kepergiannya. Elang yang masih berdiri di tempatnya menoleh pada mereka berdua, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan.
“Gue gak habis pikir sama kalian,” katanya dingin.
Sebenarnya, Elang tidak berniat menutupi perselingkuhan mereka. Ia sendiri baru tahu saat itu juga. Saat melihat mereka berciuman, ia bahkan belum sempat berkata apa pun sebelum Eleanor muncul. Ia hanya mencoba mencegah Eleanor dari menyaksikan sesuatu yang akan menghancurkan hatinya. Tapi semuanya sudah terlambat.
“Kalian berdua punya pacar… tapi bisa-bisanya ciuman kayak tadi?”
“Cantika lagi ada masalah sama Nathan. Kami… kami terbawa suasana. Tapi sumpah, kita nggak selingkuh seperti yang kalian pikir,” Kai menjelaskan, putus asa.
Ia berharap Elang bisa membantu menjelaskan ke Eleanor. Kai tahu, di antara mereka semua, Elang-lah yang Eleanor paling percaya. Hanya Elang yang bisa membujuknya, menyentuh hatinya, menurunkan egonya.
Mereka sadar, hubungan mereka rumit. Eleanor lebih terbuka pada Elang. Sementara Kai lebih nyambung bicara dengan Cantika. Mereka tidak pernah mempermasalahkan hal itu sebelumnya. Tapi kini, semua itu menjadi bumerang.
Cantika hanya ingin curhat. Tentang Nathan. Tentang masalah-masalah yang ia alami. Tapi, entah kenapa, semuanya berujung pada ciuman yang seharusnya tidak terjadi.
“Ck, kita bahas itu nanti. Sekarang ada yang lebih penting,” ucap Elang sebelum akhirnya menyusul Eleanor. Kai dan Cantika ikut di belakangnya. Mereka tidak bisa membiarkan Eleanor pergi dalam keadaan emosi seperti itu.
“Mobil El masih di sini, tapi dia nggak ada,” kata Elang saat tiba di parkiran.
“Dia pasti naik taksi,” sahut Kai cepat. Ia tahu betul, saat sedang emosi berat, tangan Eleanor akan bergetar hebat. Ia tidak akan sanggup menyetir.
“Benar juga. Ayo ke apartemen El,” ucap Cantika, mengikuti Elang.
Namun Kai ragu. Ia merasa Eleanor tidak akan pergi ke apartemen. Dalam kondisi seperti ini, ia mungkin akan mencari tempat yang tak biasa.
“Kalian ke apartemen El. Gue cari ke tempat lain,” kata Kai sebelum masuk ke dalam mobilnya dan pergi.
Cantika hanya bisa menatap kepergiannya. Ada penyesalan dalam matanya. Ia tahu betapa dalam cinta Kai pada Eleanor. Dan sekarang, ia sudah menghancurkan semuanya.
Padahal, hanya sesaat. Hanya ciuman singkat. Tapi dampaknya begitu besar.
Ya, Cantika yang mencium Kai. Kai hanya diam. Tapi sekarang, itu tak penting. Luka sudah telanjur menganga.
“Malah ngelamun. Ayo, kita ke apartemen El.”
“Iya…” Cantika buru-buru masuk ke dalam mobil Elang, mencoba menghapus rasa bersalah yang terus menghantuinya.
---
Untuk pertama kalinya, Eleanor menginjakkan kaki ke sebuah bar. Tempat yang bahkan tak pernah terlintas di benaknya untuk dikunjungi. Tapi malam ini, ia kehilangan arah. Ia tidak tahu harus ke mana. Jadi ia memutuskan pergi ke tempat asing —untuk melupakan semua.
Kai pasti akan mencarinya ke tempat-tempat biasa. Itulah kenapa Eleanor memilih tempat yang tidak biasa.
“Lo ngapain berdiri di depan pintu?” suara laki-laki menyadarkannya dari lamunan. Eleanor menoleh, dan mendapati seorang laki-laki berdiri di belakangnya.
Ekspresi kesal di wajah laki-laki itu seketika berubah saat melihat wajah Eleanor yang sembab, tubuhnya bergetar pelan seperti sedang menahan beban yang luar biasa.
“Lo baik-baik aja?” tanyanya lembut, sedikit menunduk agar bisa melihat wajah Eleanor lebih jelas.
Eleanor tidak menjawab. Ia hanya diam. Matanya kosong.
“Ayo masuk bareng gue. Gue bukan orang jahat kok,” ujar laki-laki itu sembari menarik pelan tangannya.
Meski asing, entah kenapa Eleanor mengikuti. Mungkin karena lelah. Mungkin karena dia terlihat tulus. Atau mungkin karena ia hanya ingin seseorang menariknya keluar dari kegelapan malam ini.
Saat masuk ke dalam bar, dua laki-laki lain menyapa mereka.
“Woah, lo bawa siapa tuh? Mangsa baru lo, ya?”
“Bukan,” jawabnya singkat.
“Terus?”
“Ck, bukan urusan lo.”
Ia lalu menarik tangan Eleanor lagi, menjauhi dua temannya. Seolah melindungi.
“Di sini ada minuman non alkohol,” katanya pada Eleanor. Seolah paham bahwa ini kali pertama Eleanor datang ke tempat seperti ini.
“Oh ya, gue Arkana Xavier. Lo bisa panggil gue Arka,” lanjutnya sambil tersenyum kecil.
Eleanor hanya mengangguk. Malam ini aneh. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments