Tangan laki-laki yang belum pernah Eleanor lihat sebelumnya itu terulur ke arahnya. "Arka," ucapnya, singkat. Suaranya berat tapi tenang, seperti seseorang yang tak mudah terguncang. Tapi Eleanor hanya menatap tangannya sekilas tanpa ada niat untuk menyambut. Dunia sedang terlalu gelap untuk mengenal orang baru. Apalagi setelah apa yang Kai lakukan padanya. Pengkhianatan itu terlalu segar, terlalu tajam.
“Oh?” Arka menarik kembali tangannya saat sadar tak ada sambutan.
"Oke, gue ngerti... lo lagi gak dalam suasana hati yang enak buat kenalan. Gue gak maksa. Tapi…" Arka melirik kanan kiri, seolah memastikan bahwa mereka tak sedang diawasi sebelum kembali berbicara.
“…tapi izinin gue buat terus ada di samping lo. Tempat ini gak baik buat cewek yang lagi patah hati kayak lo, sendirian."
Eleanor terkejut. Belum sempat menjawab, pikirannya sibuk menebak-nebak—darimana dia tahu? Apa ekspresinya terlalu jelas? Atau dia memang punya radar khusus buat mendeteksi orang patah hati?
"Gue sebenernya ada urusan di sini," lanjut Arka, masih dengan nada rendah dan kalemnya, "tapi gue gak bisa ninggalin lo gini aja."
Ia memperhatikan Eleanor yang masih belum bicara. Perempuan itu hanya menatapnya lurus, seolah sedang menimbang-nimbang apakah harus mengusirnya atau justru mengizinkan laki-laki asing ini tetap duduk di sisinya.
"Jangan ngeliatin gue gitu terus," ucap Arka tiba-tiba, sedikit mengangkat alis. "Gue gak bakal tanggung jawab kalau lo jadi suka sama gue."
Alih-alih berhenti, Eleanor justru makin memandangi wajah laki-laki itu. Dalam kondisi seperti ini, dia tidak mengerti kenapa hatinya sedikit lebih tenang. Tatapan Arka tidak tajam, tidak juga manis. Tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Eleanor merasa… tidak sendirian.
“Lo manis,” gumam Eleanor pelan, tanpa niat menggoda.
Sontak, salah satu teman Arka yang sedari tadi mengawasi dari kejauhan tersedak. Mereka saling pandang, bingung. Arka? Manis?
Arkana Xavier—nama lengkap Arka—lebih dikenal sebagai pria yang dingin dan terlalu logis. Tidak ramah, tidak suka basa-basi, apalagi disebut manis. Namun anehnya, hari ini dia duduk di samping perempuan asing dan terlihat seperti ingin… menjaga?
"Gue manis?" Arka tertawa kecil. “Ya... lo orang kesekian yang bilang gitu.”
Teman-temannya di seberang ruangan nyaris meledak. Kesekian? Sejak kapan? Mereka nyaris bangkit untuk protes.
"Lo udah baikan?" tanya Arka tiba-tiba, pandangannya kini lebih serius.
Eleanor mengerutkan kening.
"Badan lo udah gak gemetar lagi," lanjut Arka, lebih pelan.
Eleanor bahkan tidak sadar tubuhnya sempat gemetar, dan kini mulai tenang. Biasanya, hanya ketiga sahabatnya yang bisa membuatnya merasa cukup stabil. Tapi entah mengapa, kehadiran Arka menghadirkan efek yang sama.
"Lo punya masalah kontrol emosi ya?"
Eleanor menegang. Itu bukan sesuatu yang biasa dia ungkapkan ke sembarang orang. Hanya segelintir teman dekatnya yang tahu soal itu. Tapi entah kenapa, saat melihat mata Arka, rasanya... tak perlu menyembunyikannya.
Beberapa detik berlalu sebelum Eleanor akhirnya membuka mulut.
"Gue Eleanor Louisine. Dan ya… gue emang punya masalah kontrol emosi."
Arka mengangguk pelan, seolah sudah menduganya.
"Eleanor ya? Gue panggil lo..."
"El atau Elea aja."
"El, noted. Lo mau minum apa? Mineral water? Jus?"
Eleanor menyipitkan mata. "Lo karyawan bar nawarin minuman?"
Arka tertawa, tulus kali ini.
"Gue bukan karyawan," katanya.
Namun sebelum ia menjelaskan lebih jauh, suara perempuan lain memotong percakapan mereka.
“Sayang, kamu dateng?” Seorang perempuan dengan gaun mini merah menghampiri Arka dan langsung menggandeng lengannya.
"Aku kangen banget. Gimana kalau kita... pesan kamar?"
Eleanor langsung berdehem, tidak nyaman. Perempuan itu kini menyadari kehadiran Eleanor dan menatapnya dari ujung kepala sampai kaki. Melihat penampilan Eleanor yang rapi namun tidak glamor, dia tampak menyimpan penilaian sendiri.
“Ini siapa?” tanyanya tajam.
Arka langsung menarik tangannya. “Sorry. Gue lagi ada urusan. Nanti aja,” katanya dingin. Lalu dengan cepat menarik Eleanor pergi menjauh dari keramaian.
"Lo gigolo?" tanya Eleanor begitu mereka sampai di sudut yang lebih sepi.
Arka berhenti, menatapnya dengan mata terbelalak. “Kenapa lo mikir gitu?”
Eleanor mengangkat bahu, santai. “Gue cuma nebak. Dan, jawab pertanyaan lo tadi—gue mau wine.”
Arka tertawa lagi, sedikit tercengang tapi tidak marah. Ia memanggil waiter dan memesan satu botol wine, lalu mengajak Eleanor ke ruangan privat.
"Di sini lebih tenang. Teman-teman gue suka bikin suasana jadi ribut kalau gue bawa tamu."
Tak lama, waiter datang membawa wine dan dua gelas. Setelah mengucapkan pamit, mereka berdua pun dibiarkan sendiri.
Arka menuangkan wine ke gelas, menggoyangnya sebentar, lalu menyodorkannya ke Eleanor.
"Coba sedikit dulu," katanya.
Eleanor mengangguk, mencicipi. Rasanya tidak terlalu tajam, dan surprisingly cocok di lidahnya. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung meneguk habis isi gelas.
“Eh?” Arka melotot. “Itu buat dicicip, bukan diminum kayak air putih.”
Eleanor menyandarkan punggungnya di sofa. “Gue baik-baik aja,” katanya ringan. “Tuangin lagi dong.”
"Satu gelas udah cukup buat pemula," Arka mengingatkan.
"Tapi gue belum ngerasain apa-apa."
Arka menatap Eleanor sejenak. Ia tahu seharusnya tidak membiarkan perempuan ini minum terlalu banyak, tapi di sisi lain... ia juga tahu, mungkin inilah satu-satunya cara Eleanor bisa benar-benar melupakan rasa sakit yang belum lama dia telan.
"Alkoholnya belum bereaksi karena lo baru minum," ujar Arka, menatap gelas wine Eleanor yang kini hampir kosong. Suaranya tetap tenang, tapi penuh perhatian.
Efek alkohol memang tidak langsung terasa. Butuh waktu sekitar lima belas hingga empat puluh lima menit untuk benar-benar bekerja dalam tubuh. Sedangkan Eleanor, dia baru meneguk gelas pertamanya beberapa menit lalu.
"Iya, oke. Tapi tolong, kasih gue satu gelas lagi," pinta Eleanor lirih, mengabaikan penjelasan Arka.
Matanya terlihat lebih tenang, tapi sorotnya tetap muram. Luka itu belum reda. Luka akibat pengkhianatan Kai yang masih hangat dan berdarah. Dia sudah mencoba memahami Kai, sudah berusaha jadi kekasih yang pengertian—tidak banyak menuntut, tidak pernah mengeluh. Tapi nyatanya, itu tidak cukup. Kai berselingkuh, dengan Cantika pula. Sahabatnya sendiri.
Sekarang, Eleanor hanya ingin melupakan—setidaknya untuk malam ini.
"Arka..."
"Oke, fine. Tapi cuma segelas," ucap Arka akhirnya, menuangkan wine ke dalam gelas Eleanor. Mereka baru kenal hari ini, tapi entah kenapa, Arka tidak bisa bersikap cuek seperti biasanya.
Dia memang bukan orang jahat, tapi juga bukan orang baik. Hidupnya terlalu abu-abu untuk bisa masuk dalam definisi sederhana. Tapi malam ini, dia tahu satu hal—dia tidak ingin meninggalkan perempuan ini sendirian.
"Makasih." Eleanor meneguk habis isi gelas itu dalam sekali seruput, lalu bersandar lelah di sofa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments