Eleanor tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikan oleh kedua matanya. Dunia seakan berhenti berputar sesaat. Kai —lelaki yang selama ini ia anggap sebagai tempat pulang, orang yang ia percayai sepenuhnya— kini sedang berciuman dengan perempuan lain. Namun yang membuat semuanya terasa jauh lebih menyakitkan, perempuan itu bukan orang asing. Dia adalah sahabat mereka sendiri —Cantika.
Keduanya tampak larut dalam ciuman yang terlalu dalam untuk disebut sebagai sebuah kesalahan spontan. Mereka begitu tenggelam dalam dunia mereka sendiri hingga tak menyadari kehadiran Eleanor yang berdiri hanya beberapa meter dari mereka, menatap tak percaya dengan jantung yang seolah berhenti berdetak.
“Oh, jadi ini?” suara Eleanor akhirnya terdengar. Pelan, namun cukup tajam untuk memotong suasana.
Barulah Kai dan Cantika terkejut. Mereka buru-buru melepaskan ciuman mereka, saling menjauh dengan ekspresi penuh kepanikan dan rasa bersalah. Tatapan mereka langsung tertuju pada Eleanor yang berdiri membeku, namun justru bukan mereka yang jadi fokus Eleanor saat itu. Ia menatap seseorang yang berdiri sedikit lebih jauh di belakangnya —Elang.
"El, ini nggak seperti yang lo lihat," ucap Kai cepat-cepat, suaranya terdengar gugup dan terburu-buru.
"Sayang, tolong jangan salah paham. Aku dan Cantika—" Cantika ikut mencoba menjelaskan, namun tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Lo berusaha mati-matian mencegah gue ke sini buat nutupin perselingkuhan mereka?" suara Eleanor bergetar, namun tetap tegas. Tatapannya tertuju pada Elang, tajam dan penuh luka. Ia bahkan tidak menggubris Kai dan Cantika yang mencoba memberikan penjelasan.
Pengkhianatan dari Kai dan Cantika sudah cukup untuk membuat hati Eleanor remuk, tapi kenyataan bahwa Elang —sahabat yang paling ia percayai— ikut menyembunyikan semuanya darinya, membuat luka itu terasa jauh lebih dalam. Lebih mengiris.
Pantas saja Elang sempat mati-matian menahan Eleanor agar tidak datang ke tempat ini. Sekarang semuanya masuk akal. Ada sesuatu besar yang Elang coba tutupi. Ia tahu. Ia tahu tentang perselingkuhan Kai dan Cantika, namun memilih diam. Memilih bungkam.
“Enggak, bukan gitu—”
“Mereka udah berkhianat… dan lo ikut-ikutan?!” suara Eleanor meninggi. Air matanya jatuh, membasahi pipinya, menandai kepedihan yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
Persahabatan mereka berempat sudah terjalin sejak lama. Mereka tumbuh bersama, saling berbagi tawa dan luka. Tapi kini, semuanya hancur hanya dalam hitungan detik. Eleanor merasa seolah ketiga orang yang paling dekat dengannya menusuk dari belakang —dan salah satunya bahkan adalah orang yang ia cintai.
Ia ingin marah, ingin teriak, ingin menghancurkan sesuatu. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk itu. Hatinya terlalu perih.
“El, dengerin gue dulu,” Elang berusaha meraih tangannya, mencoba menenangkan. Namun Eleanor menolak. Ia menarik tangannya sebelum Elang sempat menggenggamnya.
“Gue selalu nganggep kalian sahabat… tapi kenapa? Kenapa lo semua ngelakuin ini ke gue?!” jerit Eleanor sambil menjambak rambutnya sendiri —kebiasaan lamanya yang muncul setiap kali emosinya tak terkendali. Ia berada di ambang batasnya.
“Sayang…”
“Eleanor…”
“El…”
Kai, Cantika, dan Elang memanggil-manggil namanya, panik, khawatir. Mereka tahu Eleanor memiliki masalah dalam mengendalikan emosinya. Tapi Eleanor tidak membiarkan siapa pun mendekat. Ia merasa dikhianati. Ditinggalkan. Dihancurkan.
“Mulai sekarang kalian bukan sahabat gue lagi.” Suara Eleanor terdengar pelan tapi tegas. Matanya bergantian menatap ketiganya, lalu berhenti lama pada Kai.
“Dan kamu… mulai hari ini kita udah nggak punya hubungan apa pun. Kita putus.”
Suaranya tercekat saat mengucapkan dua kata terakhir. Putus. Ia benci mengatakannya. Hatinya berteriak menolaknya. Tapi logikanya tahu bahwa cinta yang dikhianati tak bisa dimaafkan begitu saja.
Kai menggeleng, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
“Enggak, sayang. Aku bisa jelasin. Ini gak seperti yang kamu lihat.”
Tapi Eleanor sudah tidak mau dengar lagi. Ia berbalik dan pergi. Tak memberi ruang pada Kai untuk bicara, menjelaskan, atau sekadar menyentuhnya.
Kai dan Cantika hanya bisa menatap kepergiannya. Elang yang masih berdiri di tempatnya menoleh pada mereka berdua, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan.
“Gue gak habis pikir sama kalian,” katanya dingin.
Sebenarnya, Elang tidak berniat menutupi perselingkuhan mereka. Ia sendiri baru tahu saat itu juga. Saat melihat mereka berciuman, ia bahkan belum sempat berkata apa pun sebelum Eleanor muncul. Ia hanya mencoba mencegah Eleanor dari menyaksikan sesuatu yang akan menghancurkan hatinya. Tapi semuanya sudah terlambat.
“Kalian berdua punya pacar… tapi bisa-bisanya ciuman kayak tadi?”
“Cantika lagi ada masalah sama Nathan. Kami… kami terbawa suasana. Tapi sumpah, kita nggak selingkuh seperti yang kalian pikir,” Kai menjelaskan, putus asa.
Ia berharap Elang bisa membantu menjelaskan ke Eleanor. Kai tahu, di antara mereka semua, Elang-lah yang Eleanor paling percaya. Hanya Elang yang bisa membujuknya, menyentuh hatinya, menurunkan egonya.
Mereka sadar, hubungan mereka rumit. Eleanor lebih terbuka pada Elang. Sementara Kai lebih nyambung bicara dengan Cantika. Mereka tidak pernah mempermasalahkan hal itu sebelumnya. Tapi kini, semua itu menjadi bumerang.
Cantika hanya ingin curhat. Tentang Nathan. Tentang masalah-masalah yang ia alami. Tapi, entah kenapa, semuanya berujung pada ciuman yang seharusnya tidak terjadi.
“Ck, kita bahas itu nanti. Sekarang ada yang lebih penting,” ucap Elang sebelum akhirnya menyusul Eleanor. Kai dan Cantika ikut di belakangnya. Mereka tidak bisa membiarkan Eleanor pergi dalam keadaan emosi seperti itu.
“Mobil El masih di sini, tapi dia nggak ada,” kata Elang saat tiba di parkiran.
“Dia pasti naik taksi,” sahut Kai cepat. Ia tahu betul, saat sedang emosi berat, tangan Eleanor akan bergetar hebat. Ia tidak akan sanggup menyetir.
“Benar juga. Ayo ke apartemen El,” ucap Cantika, mengikuti Elang.
Namun Kai ragu. Ia merasa Eleanor tidak akan pergi ke apartemen. Dalam kondisi seperti ini, ia mungkin akan mencari tempat yang tak biasa.
“Kalian ke apartemen El. Gue cari ke tempat lain,” kata Kai sebelum masuk ke dalam mobilnya dan pergi.
Cantika hanya bisa menatap kepergiannya. Ada penyesalan dalam matanya. Ia tahu betapa dalam cinta Kai pada Eleanor. Dan sekarang, ia sudah menghancurkan semuanya.
Padahal, hanya sesaat. Hanya ciuman singkat. Tapi dampaknya begitu besar.
Ya, Cantika yang mencium Kai. Kai hanya diam. Tapi sekarang, itu tak penting. Luka sudah telanjur menganga.
“Malah ngelamun. Ayo, kita ke apartemen El.”
“Iya…” Cantika buru-buru masuk ke dalam mobil Elang, mencoba menghapus rasa bersalah yang terus menghantuinya.
---
Untuk pertama kalinya, Eleanor menginjakkan kaki ke sebuah bar. Tempat yang bahkan tak pernah terlintas di benaknya untuk dikunjungi. Tapi malam ini, ia kehilangan arah. Ia tidak tahu harus ke mana. Jadi ia memutuskan pergi ke tempat asing —untuk melupakan semua.
Kai pasti akan mencarinya ke tempat-tempat biasa. Itulah kenapa Eleanor memilih tempat yang tidak biasa.
“Lo ngapain berdiri di depan pintu?” suara laki-laki menyadarkannya dari lamunan. Eleanor menoleh, dan mendapati seorang laki-laki berdiri di belakangnya.
Ekspresi kesal di wajah laki-laki itu seketika berubah saat melihat wajah Eleanor yang sembab, tubuhnya bergetar pelan seperti sedang menahan beban yang luar biasa.
“Lo baik-baik aja?” tanyanya lembut, sedikit menunduk agar bisa melihat wajah Eleanor lebih jelas.
Eleanor tidak menjawab. Ia hanya diam. Matanya kosong.
“Ayo masuk bareng gue. Gue bukan orang jahat kok,” ujar laki-laki itu sembari menarik pelan tangannya.
Meski asing, entah kenapa Eleanor mengikuti. Mungkin karena lelah. Mungkin karena dia terlihat tulus. Atau mungkin karena ia hanya ingin seseorang menariknya keluar dari kegelapan malam ini.
Saat masuk ke dalam bar, dua laki-laki lain menyapa mereka.
“Woah, lo bawa siapa tuh? Mangsa baru lo, ya?”
“Bukan,” jawabnya singkat.
“Terus?”
“Ck, bukan urusan lo.”
Ia lalu menarik tangan Eleanor lagi, menjauhi dua temannya. Seolah melindungi.
“Di sini ada minuman non alkohol,” katanya pada Eleanor. Seolah paham bahwa ini kali pertama Eleanor datang ke tempat seperti ini.
“Oh ya, gue Arkana Xavier. Lo bisa panggil gue Arka,” lanjutnya sambil tersenyum kecil.
Eleanor hanya mengangguk. Malam ini aneh. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian.
Tangan laki-laki yang belum pernah Eleanor lihat sebelumnya itu terulur ke arahnya. "Arka," ucapnya, singkat. Suaranya berat tapi tenang, seperti seseorang yang tak mudah terguncang. Tapi Eleanor hanya menatap tangannya sekilas tanpa ada niat untuk menyambut. Dunia sedang terlalu gelap untuk mengenal orang baru. Apalagi setelah apa yang Kai lakukan padanya. Pengkhianatan itu terlalu segar, terlalu tajam.
“Oh?” Arka menarik kembali tangannya saat sadar tak ada sambutan.
"Oke, gue ngerti... lo lagi gak dalam suasana hati yang enak buat kenalan. Gue gak maksa. Tapi…" Arka melirik kanan kiri, seolah memastikan bahwa mereka tak sedang diawasi sebelum kembali berbicara.
“…tapi izinin gue buat terus ada di samping lo. Tempat ini gak baik buat cewek yang lagi patah hati kayak lo, sendirian."
Eleanor terkejut. Belum sempat menjawab, pikirannya sibuk menebak-nebak—darimana dia tahu? Apa ekspresinya terlalu jelas? Atau dia memang punya radar khusus buat mendeteksi orang patah hati?
"Gue sebenernya ada urusan di sini," lanjut Arka, masih dengan nada rendah dan kalemnya, "tapi gue gak bisa ninggalin lo gini aja."
Ia memperhatikan Eleanor yang masih belum bicara. Perempuan itu hanya menatapnya lurus, seolah sedang menimbang-nimbang apakah harus mengusirnya atau justru mengizinkan laki-laki asing ini tetap duduk di sisinya.
"Jangan ngeliatin gue gitu terus," ucap Arka tiba-tiba, sedikit mengangkat alis. "Gue gak bakal tanggung jawab kalau lo jadi suka sama gue."
Alih-alih berhenti, Eleanor justru makin memandangi wajah laki-laki itu. Dalam kondisi seperti ini, dia tidak mengerti kenapa hatinya sedikit lebih tenang. Tatapan Arka tidak tajam, tidak juga manis. Tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Eleanor merasa… tidak sendirian.
“Lo manis,” gumam Eleanor pelan, tanpa niat menggoda.
Sontak, salah satu teman Arka yang sedari tadi mengawasi dari kejauhan tersedak. Mereka saling pandang, bingung. Arka? Manis?
Arkana Xavier—nama lengkap Arka—lebih dikenal sebagai pria yang dingin dan terlalu logis. Tidak ramah, tidak suka basa-basi, apalagi disebut manis. Namun anehnya, hari ini dia duduk di samping perempuan asing dan terlihat seperti ingin… menjaga?
"Gue manis?" Arka tertawa kecil. “Ya... lo orang kesekian yang bilang gitu.”
Teman-temannya di seberang ruangan nyaris meledak. Kesekian? Sejak kapan? Mereka nyaris bangkit untuk protes.
"Lo udah baikan?" tanya Arka tiba-tiba, pandangannya kini lebih serius.
Eleanor mengerutkan kening.
"Badan lo udah gak gemetar lagi," lanjut Arka, lebih pelan.
Eleanor bahkan tidak sadar tubuhnya sempat gemetar, dan kini mulai tenang. Biasanya, hanya ketiga sahabatnya yang bisa membuatnya merasa cukup stabil. Tapi entah mengapa, kehadiran Arka menghadirkan efek yang sama.
"Lo punya masalah kontrol emosi ya?"
Eleanor menegang. Itu bukan sesuatu yang biasa dia ungkapkan ke sembarang orang. Hanya segelintir teman dekatnya yang tahu soal itu. Tapi entah kenapa, saat melihat mata Arka, rasanya... tak perlu menyembunyikannya.
Beberapa detik berlalu sebelum Eleanor akhirnya membuka mulut.
"Gue Eleanor Louisine. Dan ya… gue emang punya masalah kontrol emosi."
Arka mengangguk pelan, seolah sudah menduganya.
"Eleanor ya? Gue panggil lo..."
"El atau Elea aja."
"El, noted. Lo mau minum apa? Mineral water? Jus?"
Eleanor menyipitkan mata. "Lo karyawan bar nawarin minuman?"
Arka tertawa, tulus kali ini.
"Gue bukan karyawan," katanya.
Namun sebelum ia menjelaskan lebih jauh, suara perempuan lain memotong percakapan mereka.
“Sayang, kamu dateng?” Seorang perempuan dengan gaun mini merah menghampiri Arka dan langsung menggandeng lengannya.
"Aku kangen banget. Gimana kalau kita... pesan kamar?"
Eleanor langsung berdehem, tidak nyaman. Perempuan itu kini menyadari kehadiran Eleanor dan menatapnya dari ujung kepala sampai kaki. Melihat penampilan Eleanor yang rapi namun tidak glamor, dia tampak menyimpan penilaian sendiri.
“Ini siapa?” tanyanya tajam.
Arka langsung menarik tangannya. “Sorry. Gue lagi ada urusan. Nanti aja,” katanya dingin. Lalu dengan cepat menarik Eleanor pergi menjauh dari keramaian.
"Lo gigolo?" tanya Eleanor begitu mereka sampai di sudut yang lebih sepi.
Arka berhenti, menatapnya dengan mata terbelalak. “Kenapa lo mikir gitu?”
Eleanor mengangkat bahu, santai. “Gue cuma nebak. Dan, jawab pertanyaan lo tadi—gue mau wine.”
Arka tertawa lagi, sedikit tercengang tapi tidak marah. Ia memanggil waiter dan memesan satu botol wine, lalu mengajak Eleanor ke ruangan privat.
"Di sini lebih tenang. Teman-teman gue suka bikin suasana jadi ribut kalau gue bawa tamu."
Tak lama, waiter datang membawa wine dan dua gelas. Setelah mengucapkan pamit, mereka berdua pun dibiarkan sendiri.
Arka menuangkan wine ke gelas, menggoyangnya sebentar, lalu menyodorkannya ke Eleanor.
"Coba sedikit dulu," katanya.
Eleanor mengangguk, mencicipi. Rasanya tidak terlalu tajam, dan surprisingly cocok di lidahnya. Tanpa berpikir dua kali, ia langsung meneguk habis isi gelas.
“Eh?” Arka melotot. “Itu buat dicicip, bukan diminum kayak air putih.”
Eleanor menyandarkan punggungnya di sofa. “Gue baik-baik aja,” katanya ringan. “Tuangin lagi dong.”
"Satu gelas udah cukup buat pemula," Arka mengingatkan.
"Tapi gue belum ngerasain apa-apa."
Arka menatap Eleanor sejenak. Ia tahu seharusnya tidak membiarkan perempuan ini minum terlalu banyak, tapi di sisi lain... ia juga tahu, mungkin inilah satu-satunya cara Eleanor bisa benar-benar melupakan rasa sakit yang belum lama dia telan.
"Alkoholnya belum bereaksi karena lo baru minum," ujar Arka, menatap gelas wine Eleanor yang kini hampir kosong. Suaranya tetap tenang, tapi penuh perhatian.
Efek alkohol memang tidak langsung terasa. Butuh waktu sekitar lima belas hingga empat puluh lima menit untuk benar-benar bekerja dalam tubuh. Sedangkan Eleanor, dia baru meneguk gelas pertamanya beberapa menit lalu.
"Iya, oke. Tapi tolong, kasih gue satu gelas lagi," pinta Eleanor lirih, mengabaikan penjelasan Arka.
Matanya terlihat lebih tenang, tapi sorotnya tetap muram. Luka itu belum reda. Luka akibat pengkhianatan Kai yang masih hangat dan berdarah. Dia sudah mencoba memahami Kai, sudah berusaha jadi kekasih yang pengertian—tidak banyak menuntut, tidak pernah mengeluh. Tapi nyatanya, itu tidak cukup. Kai berselingkuh, dengan Cantika pula. Sahabatnya sendiri.
Sekarang, Eleanor hanya ingin melupakan—setidaknya untuk malam ini.
"Arka..."
"Oke, fine. Tapi cuma segelas," ucap Arka akhirnya, menuangkan wine ke dalam gelas Eleanor. Mereka baru kenal hari ini, tapi entah kenapa, Arka tidak bisa bersikap cuek seperti biasanya.
Dia memang bukan orang jahat, tapi juga bukan orang baik. Hidupnya terlalu abu-abu untuk bisa masuk dalam definisi sederhana. Tapi malam ini, dia tahu satu hal—dia tidak ingin meninggalkan perempuan ini sendirian.
"Makasih." Eleanor meneguk habis isi gelas itu dalam sekali seruput, lalu bersandar lelah di sofa.
"Alkoholnya belum bereaksi karena lo baru minum," ucap Arka memberitahu bahwa alkohol tidak secepat itu bereaksi pada tubuh peminumnya.
Secara umum, efek alkohol akan terasa dalam waktu lima belas menit sampai empat puluh lima menit. Sementara Eleanor baru beberapa menit lalu meminumnya.
"Iya, oke. Tapi tolong kasih gue wine nya segelas lagi," pinta Eleanor tidak terlalu mendengarkan perkataan Arka.
Emosinya sudah tenang, tapi hatinya masih merasakan sakit atas pengkhianatan yang sudah Kai lakukan. Selama ini, Ia selalu berusaha menjadi kekasih yang baik untuk Kai. Ia mengerti kesibukan Kai, tidak banyak menuntut. Namun, usahanya sia-sia. Kai justru berselingkuh dengan Cantika dibelakangnya. Sekarang Ia butuh alkohol untuk sejenak melupakan pengkhianatan Kai.
"Arka..."
"Oke, fine. Cuma segelas," Arka kembali menuangkan wine ke dalam gelas Eleanor. Mereka baru bertemu hari ini, tapi Arka tidak bisa menjadi dirinya sendiri di hadapan Eleanor.
Arka tidak berbohong mengaku dirinya bukan orang jahat, sayangnya Arka juga bukan orang baik. Ia berada di tengah-tengah antara baik dan jahat. Tergantung dengan siapa Ia berurusan.
"Makasih," Eleanor kembali meneguk habis wine nya setelah mengucap terimakasih pada Arka.
Tidak berselang lama, Eleanor merasa kepalanya sedikit pusing. Alkohol yang diminumnya mulai bereaksi. Arka yang menyadari itu mendekat dan menanyakan keadaan Eleanor.
"Lo baik-baik aja?" tanya Arka khawatir. Ia tidak pernah merasa sekhawatir ini terhadap orang lain yang baru dikenalnya.
"Iya, gue baik-baik aja. Cuma pusing sedikit," Eleanor tersenyum menatap Arka.
Mereka bertukar pandangan untuk beberapa saat, tanpa mengatakan apapun. Sampai Eleanor mengerjapkan matanya dan bicara.
"Kai," Eleanor mengangkat tangannya menyentuh pipi Arka.
"Kai?" kening Arka berkerut, "siapa Kai?"
Eleanor tidak menjawab. Pendengarannya menjadi kurang baik karena pengaruh alkohol.
"Sayang."
Arka merasakan sesuatu dalam dirinya saat Eleanor memanggilnya sayang. Arka tahu panggilan itu untuk laki-laki bernama Kai, bukan untuknya. Tapi masalahnya sekarang Eleanor bicara di hadapannya.
"El," Arka terkejut saat melihat Eleanor menangis setelah memanggilnya sayang.
"Kamu tahu kan aku sayang banget sama kamu?" tanya Eleanor lirih.
Oke, Arka bisa menyimpulkan jika laki-laki bernama Kai adalah alasan Eleanor datang ke bar dan sepertinya laki-laki itu sudah menyakiti Eleanor sampai membuat Eleanor menangis seperti ini. Entah luka seperti apa, yang jelas pasti Kai pelakunya.
"Kamu..." Eleanor menunjuk dada Arka, "...kamu itu milik aku, Kai."
"Ck!" Arka menahan tangan Eleanor yang menunjuk-nunjuk dadanya. Anehnya, Ia tidak kesal karena kelakuan Eleanor, melainkan karena Eleanor terus menyebut nama Kai.
"Iya, gue milik lo."
Cup!
Eleanor memberikan kecupan di bibir Arka yang Ia lihat sebagai Kai. Ia tidak peduli bagaimana perasaan Kai terhadapnya, yang terpenting Kai harus mengetahui perasaannya. Ia menyayangi dan mencintai Kai melebihi dirinya sendiri.
"Bibir kamu dan seluruh badan kamu ini milik aku, aku enggak suka perempuan lain nyentuh kamu."
Eleanor bicara sambil menatap bibir Arka dan menyapu bibir itu dengan ibu jarinya. Arka menggigit bibir bagian dalamnya, merasa terangsang oleh sentuhan lembut Eleanor di bibirnya.
"Iya, oke," Arka bersikap seolah-olah dirinya adalah Kai. Ia bahkan membiarkan Eleanor melakukan apapun terhadap dirinya. Termasuk membiarkan tangan Eleanor yang mulai nakal meraba-raba dada bidangnya.
"Aku gak suka kamu terlalu dekat dengan Cantika, tapi aku gak bisa larang kamu karena aku sadar aku juga dekat dengan Elang."
Arka menghela nafas mendengar percintaan rumit Eleanor. Entah siapa lagi laki-laki bernama Elang yang Eleanor bicarakan.
"Aku tahu kita bersahabat lama, tapi bisakah kamu melihat aku sebagai wanita?"
Cup!
Eleanor kembali mencium bibir Arka. Kali ini tidak hanya sekedar kecupan, Ia melumat dalam-dalam bibir laki-laki yang Ia lihat sebagai Kai itu.
Arka tidak menolak, tangannya justru menarik pinggang Eleanor supaya semakin dekat dan merapat padanya.
Saat ciuman mereka mulai memanas, Eleanor tiba-tiba saja menghentikan aktivitas mereka sepihak, membuat Arka merasa sedang dipermainkan oleh perempuan itu.
"Bagaimana kalau kita pindah?"
"Pindah?"
Eleanor mengangguk lemas, "iya, pindah. Tempat ini kurang cocok, kita butuh kasur."
"Lo mau apa, hm?" Arka menangkup wajah Eleanor.
Sepertinya, Eleanor tidak sepolos yang Arka pikirkan. Buktinya Eleanor ingin mengajak laki-laki bernama Kai bermain di kasur. Arka tidak bodoh, Ia cukup mengerti yang Eleanor inginkan.
"Kita udah dewasa, Kai. Aku yakin kamu tahu apa yang aku mau sekarang."
"Oke, gue tahu. Tapi lo harus lihat dulu wajah gue baik-baik. Gue bukan Kai, gue Arkana Xavier."
Eleanor menatap wajah Arka. Ternyata benar laki-laki di depannya bukan Kai, Ia hanya berhalusinasi melihat Arka sebagai Kai.
"Arka?" Eleanor mengerjapkan mata, memastikan laki-laki di depannya benar-benar Arka, bukan Kai.
Anehnya, saat mata Eleanor kembali terbuka, Ia kembali melihat Arka sebagai Kai. Ia mencoba mengerjapkan matanya berkali-kali untuk memastikan siapa laki-laki di depannya, tapi Ia justru semakin bingung karena Arka dan Kai terlihat bergantian di depannya.
"Iya, gue Arka. Cowok yang lo temui di depan bar."
Mata Eleanor akhirnya bisa melihat dengan baik bahwa laki-laki di depannya Arka, bukan Kai. Dan tadi Ia berciuman dengan laki-laki asing ini.
"Maaf, tadi gue—"
Cup!
Arka menghentikan ucapan Eleanor dengan sebuah kecupan, lalu laki-laki itu membisikkan sesuatu di telinga Eleanor.
"Gue tahu, tapi lo harus bertanggungjawab udah bikin gue terangsang," bisiknya sebelum menggendong Eleanor untuk pergi ke tempat lain.
Mereka meninggalkan tas Eleanor yang berisi dompet serta handphone di ruangan itu.
-
-
"El masih belum angkat telpon gue," ucap Elang memberitahu Kai dan juga Cantika.
Baik Elang, Kai maupun Cantika sudah mencari Eleanor ke banyak tempat, tapi mereka tidak menemukan Eleanor dimanapun sampai tengah malam. Sekarang, mereka sedang berada di apartemen Eleanor, menunggu Eleanor yang entah kapan akan pulang.
"Ini salah gue, El pasti kecewa banget sama kita," Cantika menunduk merasa bersalah.
"Enggak, ini bukan cuma salah lo. Tapi salah gue juga," ucap Kai menimpali.
Kalau saja Kai tidak membiarkan Cantika menciumnya, pasti semuanya tidak akan seperti ini. Eleanor tidak akan pergi dan memutuskan hubungan dengan mereka.
"Kalian berdua emang salah," geram Elang.
Sebelum kejadian hari ini, Elang sudah sering mengingatkan Kai dan cantikan untuk tidak berlebihan dalam bersahabat. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang mendengarkan dan malah membalikan semuanya pada Elang.
Elang dan Eleanor dianggap sama saja, padahal jelas-jelas mereka berbeda. Iya, Eleanor lebih terbuka dengan Elang, tapi mereka tidak pernah sampai berpelukan apalagi berciuman.
"Lo tahu Kai? selama ini El selalu overthinking dan merasa kalau lo enggak punya perasaan apapun sama dia."
"Gue cinta sama El, kalian tahu itu," ucap Kai menegaskan perasaannya.
"Tapi lo gagal bikin El percaya sama perasaan lo."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!