Bab 6 Bintang Kehidupan

..."Ingatlah sebuah pasir bintang yang telah diberikan oleh seseorang bertudung merah. Nona menginjak pecahan kaca yang rapuh, apabila Nona masih hidup maka, itu adalah kekuatan kami yang memberikanmu asa."- Altar....

Seseorang masuk degan sedikit takut, langkah ragu, juga pemandangan yang terus dilirik kanan-kiri. Melangkahkan kaki dengan cepat menuju ruangan dengan pintu terbuka. Seorang wanita bergaun merah siap, merentangkan tangan menyambut gendongan yang dibawa. Terbungkus rapi dalam kain putih, darah berbecak.

"Terlalu lama," ucap seseorang dengan bibir merah muda tersenyum nakal.

"Sesuai dengan permintaan Anda. Janin ini berusia 6 bulan."

Suara menggema dalam ruangan. Ada seorang lelaki yang bersedia dengan perapian, dupa, juga lantai altar yang begitu rumit. Rantai yang terhubung satu sama lain menuju keempat tiang.

"Sudah siapkah?" Lelaki dengan tudung hitam bersiap perang.

...***...

Siapa yang menyangka menjadi wanita mudah? Nyatanya penuh dengan pengorbanan dan suka rela, keikhlasan hati, juga lapang dada. Memakai rambut palsu juga sepatu berhak tinggi. Payudara yang besarnya melebihi setengah dadanya. Para kicauan burung juga berbisik mengejek lelaki yang menyamar menjadi istri Tuan Con.

"Siapa yang akan mau menjadi istrimu jika begini."

Begitu rutuknya pada dirinya sendiri. Kaca cermin yang setia menemani semenjak sejam lalu sudah membuat lelaki di ambang pintu mendengus sebal. Julian dengan tawa lebarnya ketika melihat wajah Clause, atau merutuk pada penata riasnya yang sudah tidak sabar memperlihatkan kepada dunia betapa catiknya lelaki yang dia rias.

"Ah sudah hampir selesai," ucapan girang seorang wanita yang kini memakaikan pita rambut palsu.

Tuan Zion menanti, mengagendakan jika hari ini akan selesai dengan cepat, namun, dikacaukan dengan dandanan Clause yang melebihi jam terbangnya. "Aku tidak menyangka akan melebihi satu jam. Sebenarnya apa yang kamu pakai Clause?"

"Aku hanya menuruti perintahmu, sialan!" Memelankan suara kepada 'sialan' yang dia rutuk.

"Aku mendengar."

"Persetan dengan itu," dengus Clause.

Clause datang dengan mini dress simpel, tas berwarna abu-abu senada dengan dress yang dipakai hanya berbeda satu tone warna. Gelang kaki, juga gelang tangan, jepit rambut juga anting-anting. Yah, memang Clause bertindik semenjak dia masuk dalam akademi pelatihan khusus. Menanggalkan perhiasannya karna larangan yang berlalu. Nyatanya, sering memakai jika tidak ada tugas.

Tuan Zion mengamati seluruh penampilan Clause. Merasa ada yang kurang. "Satu lagi." Tuan Zion menyematkan cincin pasangan di jari manis kanannya.

"Yah! menjijikkan." Clause mengibaskan jemarinya.

"Aku juga jijik," balasnya sembai menyematkan dijari manisnya sendiri.

Julian tidak kuasa menahan tawanya sedangkan, para dayang begitu semangat dan antusias. Menyempatkan keduanya untuk berfoto pada dinding ruang tamu rumah yang mereka tinggali.

Tuan Zion menutup jendela kereta mesinnya. "Julian, aku mengandalkanmu."

"Saya siap Tuan," hormatnya dengan suara lantang.

"Aku akan membunuhmu, Julian," sungut Clause.

Tuan Zion hanya menghela nafasnya. "Mengapa kalian selalu bertengkar?"

"Dia yang memilihkan dress ini untukku, kan? Kamu tahu, ini sangat ketat!" tunjuk Clause tepat di wajah Julian.

"Aku tidak memilih. Aku memang memilikinya."

"Hah!"

"Karena aku membelikannya untukmu." Julian berkesiap dengan pukulan Clause yang akan menampik kepalanya. "Maaf Clause, semoga hari ini beruntung. Awas ada singa ganas di kereta mu!" Julian berteriak sembari berlalu menuju ke dalam kereta yang akan membawanya.

Clause melongo, melirik lelaki yang sudah mengawasinya sedari tadi. hanya memutar bola matanya malas lalu melajukan kereta menuju rumah persinggahan yang Airis tuliskan.

Kemolekan siapa yang akan merayu lalat sekalipun? Gaun merah menjuntai perhiasan bernilai ratusan. Seseorang yang disebut sebagai Ratu Sejati sudah hadir dalam kedua manik pasangan suami-istri. Berdiri anggun selayaknya bidadari diantara pagar rumah megah tiada tanding.

Tidak memilki lumut, tidak memiliki tanaman sama sekali. Warna hijau yang dihasilkan menghiasi rumah tumbuh liar secara acak. Hanya dipangkas untuk dirapikan.

"Selamat datang Tuan Con dan Nyonya Con." Menundukkan kepala menyambut keduanya. Yang diherankan sejak datang, wajah istri Tuan Con nampak asing.

Clause menggandeng lengan 'dia' yang dipanggil Tuan Con. Menunduk sopan pada 'bintang' dihadapannya. "Terima kasih karena sudah menyambut kami, Nyonya Airis. Perkenalkan istriku. Con Camelia."

"Nama yang indah." Airis memotong jarak diantara mereka. "Bolehkan jika aku melihat istrimu dari dekat?"

"Silahkan," jawab Tuan Con.

Airis mencolek dagu Clause, mengangkat sedikit tinggi. Sejajar dengan dirinya yang memakai sepatu hak tinggi. Senyuman diwajah Clause juga enggan dia lunturkan. Airis memegang tangan Clause dengan lembut. Tidak begitu lentik tetapi cukup kecil. Sedang, mata Airis terus menunjuk ke dalam iris Clause.

Menciptakan sedikit ketegangan diantara keduanya. "Kamu memiliki tangan yang unik ya," puji Airis.

"Terima kasih," jawab Nyonya Con.

Beralih pandang menuju Tuan Con."Apa yang ingin kamu rubah Tuan Con?"

"Wajahnya, dia masih memiliki keriput."

Clause hendak mengumpat jika bukan suami menyebalkan yang mengatakannya.

Airis hanya tersenyum lalu membimbing mereka masuk ke dalam rumah. Sepanjang mata mengawasi hanyalah rumah kosong tanpa perabot. Hanya satu yang membuat Tuan Con terus menatap wanita itu. Dia sangat percaya pada pelanggannya. Sejak awal Aris tidak merasakan kecurigaan.

Pintu yang terbuka kembali tertutup berdecit mengisi kekosongan yang menggema. Seringaian muncul di wajah Airis. Membalikkan badannya lalu menunjuk kepada dua orang dihadapannya. "Apa yang akan kalian lakukan?"

"Hah?" Nyonya Con nampak begitu kebingungan.

Wajah Airis berubah. Keterkejutan nampak kentara.

Tuan Zion begitu Clause menyadari ada yang ganjal di dalam rumah Airis. Ada sebuah benang yang terhubung di semua sudut. Masing-masing dari ujung benang adalah simbol keempat mata angin. Dupa yang dinayalakan juga ada sedikitnya tiga peti mati.

"Tunggu, apa yang akan kamu lakukan, Nyonya Airis?" Nampak wajah Tuan Con kebingungan. Sedikit ketakutan dengan apa yang dilaukan Airis ketika tahu dia mulai berdoa. Hawa mencekam juga sekelilingnya berembus angin tanpa diundang.

Setelah banyaknya doa yang terpanjatkan. Airis menoleh ke belakang untuk melihat kedua tamunya. Mempersilakan keduanya untuk duduk di atas peti mati yang disiapkan.

"Saya belum menjelaskan bagaimana ritualnya."

Clause terlonjak kaget. Banyak orang waras yang bersedia menyembah berhala, setan, jin, dewa yang dianggap sakral untuk mendapatkan kekuatan mistik. Mereka yang tidak percaya akan dianggap bodoh, mereka yang percaya akan senantiasa terlindungi.

"Saya tidak memakai bahan apa pun untuk membuat sebuah ramuan."

Airis mulai berjalan menuju meja tengah Altar. membuka bagian tengah lalu menunjukkan sebuah bungkusan kain bercak darah. "Inilah yang akan Anda gunakan untuk mempercantik istri Anda, Tuan Con."

"Sebuah kain?" Tuan Con kebingungan.

"Bukan, tapi janin yang akan menjadi rahasianya."

Jantungnya terasa akan copot mendengar penjelasan Airis. Wanita itu juga membawa pisau dibalik gaunnya. "Apa kamu menyadarinya?" bisik Clause.

"Iya," jawab Tuan Zion.

Tuan Con dan istrinya saling berpandangan tidak mengerti. "Bagaimana kami mendapatkannya?"

"Terserah kalian." Airis meletakkan kain itu kembali. Duduk dengan santai menyilangkan kakinya di atas peti mati yang berhadapan dengan Tuan Con dan istrinya.

Tuan Zion tidak mengerti harus menjawab bagaimana situasi mencekam. Airis menjadi waspada."Jadi ini yang dinamakan bedak ajaib yang sempat dia ceritakan waktu itu?" Bertanya dalam benak hanya kepada otaknya yang masih mencerna.

...*...

Menjejalkan pisau dimulutnya, lelaki dengan mata hijau emerald datang. Memanjat lantai dua rumah. Memasuki kamar yang menurutnya mencurigakan. Memotret, mengambil sampel, mengambil sidik jari. Dengan cepat dia lakukan. Seseorang sedang membuat gaduh di lantai bawah ada kalanya jika dia menyelamatkan semua orang.

Buku kuno, sihir, juga foto wanita terbingkai rapi mengalihkan pandangannya. "Manusia gila itu masih kenal dengan Indriyana."

Melihat bagaimana buku kuno menceritakan mengenai penumbalan yang pernah gempar pada masanya. Pandangan Julian teralih, adanya bercak darah yang terciprat didekat foto Indriyana, dengan cepat memasukkannya pada plastik bukti.

Sedikit menengok ke lantai bawah ketika dua orang yang menjadi tamu diberitahu racikan sesuatu. Julian hendak berlari tanpa suara ketika ada seseorang bertudung membungkam mulutnya lalu melemparkan Julian menuju lantai bawah. Sempat dia lihat mata lelaki itu memancarkan aura yang sedikit berbeda.

Dari manusia pada umumnya.

"Tung-"

Tuan Zion sigap dengan perlawanan yang dilakukan oleh pihak Airis. Menangkap tubuh Julian yang hampir saja membentur lantai. Sedangkan, Clause sigap menarik leher Airis. Secepat kilat kejadian hingga membuat perapian membakar. Kaki Airis tepat berada di tengah Altar dan menekan pematik api.

Pisau yang hampir saja menggores lengannya berhasil dia tepis.

"Sudah aku duga jika kalian ada kepolisan yang menyamar! Tapi ini adalah wilayahku."

"Ritual sihir, penumbalan manusia, kamu pelakunya!" Teriak Clause, membuang sepatu hak tinggi menganggu. Lalu membungkam Airis.

"Dewa akan menyukai kalian."

Clause mengernyit, api yang muncul dari seluruh rumah membuat ketiganya panik. Ada seseorang yang menghilang dari panasnya api yang berkobar. Tuan Zion mengamati darimana sumber api yang melahap rumah itu. DItempat Airis berdiri ada sebuah altar bintang yang hanya bisa dilhat dari atas. Jika begitu, maka, Julian yang mengaktifkan apinya.

Seseorang telah dikorbankan.

Siapa?

Tuan Zion memeluk kepala Julian, memastikan nadinya masih berdenyut, sedangkan, Clause masih berdiri disana dengan tegak. Siapa yang akan mati?

"Clause, bisakah kamu menyingkir dari sana?"

Clause hendak mengangkat kakinya ketika rasa panas mengaliri tubuhnya. Darah yang megalir dari tempat dia berdiri membuat Tuan Zion buru-buru menggendong Julian dan menghampiri Clause.

Dengan api sebanyak itu, juga seberapa tubuh Clause terluka. Tuan Zion tidak akan sempat.

Sambaran api yang berada pada matanya membutakan arah. Pada akhirnya, Tuan Zion melihat tudung hitam basah dilemparkan kepada dirinya dan ditarik paksa oleh seseorang yang dia kenal sebagai anak buahnya. Julian diambil paksa dan meninggalkan gedung yang disebut rumah.

Reruntuhan dengan cepat ambruk.

Debu yang memasuki matanya mengaburkan pandangan. Nafas yang berderu cepat membuat matanya dengan cepat menyesuaikan teriknya matahari. Tuan Zion berada dirumput ilalang. Sedikit berisik anak buahnya mencari pertolongan. Ada yang menyerukan seseorang terluka.

Tuan Zion bangkit, membuat perawat yang berada di dekatnya terkejut. "Anda mengalami sedikit luka bakar dilengan Tuan. Biar saya obati dulu."

"Clause!" Teriak Zion mencari.

Julian menghampiri Tuan Zion cepat. Terduduk di depannya sekilas menampar pipinya. "Kamu gila! Ini misi yang berbahaya!" Air mata yang tidak terbendung mengalir sempurna. Dengan sedikit luka dikepala, Julian nampak begitu emosional.

"Seharusnya kamu mengatakan jika ini misi berbahaya!" Julian menampar Tuan Zion sekali lagi.

"Maafkan aku, ini tidak seperti yang diinformasikan."

Ada sedikit penyesalan dibenak Tuan Zion. Mengorbankan salah satu prajuritnya tiada tanding. Gila, hanya dengan kegilaan yang dia dapatkan.

Julian sangat ingin meraung, menyerukan suara kerasnya menuju ke angkasa.

"Berisik sekali!" Teriak suara yang dia kenali. Julian menyeret lelaki sedikit tua, keriput, juga memiliki pisau bedah di tangannya, terkulai lemas seperti nyawanya diambil separo.

"Clause."

Masih dengan rok sisa setengah. Memperlihatkan pahanya yang hampir tidak ditutupi. Seringaian bangga terukir diwajah lelaki itu. "Kasus ini selesai!"

Julian menghampiri Clause. Lelaki itu baik-baik saja. Tanpa luka sedikitpun hanya beberapa luka gores ringan akibat memindahkan reruntuhan.

Kelegaan yang ada dibenak Tuan Zion mengusiknya. "Maafkan aku, Clause."

"Ah, sudah lama aku tidak mendengar kata maaf dari mulutmu."

"Dimana Airis?"

"Dia mungkin mati, entahlah. Darah yang menuju tengah Altar adalah miliknya." Clause menggeleng.

"Begitu ya."

Clause memiringkan kepalanya. "Dan ada apa dengan wajahmu, Tuan Zion? Pipimu merah."

Julian nampak sedikit terkejut. Melirik Tuan Zion bersip menunggu apa jawaban yang akan dikeluarkan.

"Ah, ini hukuman yang dilemparkan kepadaku," jawabnya kikuk.

Mentari siang menjelang sore itu sudah usai menemani pertarungan mereka. Ada yang sedang mengintip dari dahan pohon rindang, bersam sdengan burung pipit hinggap di bahu kanannya. Bertudung merah sembari memiringkan kepala bosan.

Bersambung....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!