..."Sudah menipis sudah waktu yang menuntut mati. Kepada burung gagak menelan mangsa, kepada semua pinggiran laut dia bersaksi. Malam puncak selalu datang membawa kebahagiaan bagi mereka yang gugur." - Altar....
Segudang perasaan bahagia tepatri pada indahnya senyum. Hari ini sedikit merepotkan diri dengan masakan pagi. Senyum merekah pada setiap cita rasa yang dihasilkan. Sudah pantaskah dia menjadi seorang istri? Bersemunya gembira ketika menulis pada kotak makan.
"Semoga harimu menyenangkan, Tuan Zion."
Bersiap dengan kotak bekal ditangan. Setelah menyiapkan banyak sarapan untuk ayahandanya, kini menaiki tangga lalu mengetuk pintu kamar ayahnya.
“Ayah, apakah ayah masih tidur?”
Terdengar lama tidak terjawab. Akhirnya Liliana gadis periang ini mencoba membuka pintu. Terkunci tentu saja.
“Hm, lagian masih jam 6 pagi. Mungkin ayah masih tidur. Dia pulang pagi kemarin,” sedikit lirih perkataannya menerka.
Liliana berjalan menuju meja makan. Mempersiapkan secuil kertas mencatat di meja. “Ayah aku meninggalkan banyak makanan untuk ayah. Aku akan ke kantor kepolisian.” Tulisnya.
Setelah mengunci pintu bergegas menuju arena kantor kepolisian. Seperti yang diduga oleh Liliana. Tuan Zion masih bersantai dalam rumah dinasnya sembari meminum secangkir teh. Clause dan Julian juga setia dengan perkelahian pagi. Mendengar keributan perihal es krim yang meleleh di kulkas dan memakannya.
Diketuknya pintu pagar kayu pelan. Tuan Zion berjalan lalu membuka.
“Liliana,” terkejutnya sedikit. Melihat penampilannya yang ceria mungkin saja dia sudah kembali sepenuhnya.
Clause menghentikan aksinya yang menjambak Julian akibat memakan cokelat kesukaannya. “Julian,” panggil Clause sedikit berbisik.
Julian cukup peka dengan apa yang dimaksudkan Clause. Segera dia berbenah diri, menetralkan perkelahian barusan. “Ekhem, silakan masuk saja Putri Liliana.”
Tuan Zion tampak kebingungan dengan sikap Julian yang tiba-tiba bercelatuk. Liliana dengan langkah malu memasuki rumah dinas kepolisian. Julian juga Clause sigap membiarkan keduanya berbicara.
Duduk di teras setelah Clause menyajikan teh juga sebingkis kue. “Apakah ada yang bisa kubantu Liliana?”
“Aku hanya ingin meminta maaf.” Liliana menunduk. Menatap kotak bekal yang dia bawa. “Aku membawakan Tuan Zion kotak bekal juga ada banyak camilan di dalamnya. Tuan Clause juga Tuan Julian bisa memakannya berbarengan.”
Tuan Zion menerima bekal itu. “Terima kasih,” ucapnya.
“Aku menamparmu bukan? Maafkan aku.”
Tuan Zion menggeleng. “Tidak apa. Aku tidak menganggapnya berlebihan.”
Liliana sedikit melega dengan jawaban Tuan Zion. "Jika boleh tahu, apakah Tuan Zion luang minggu ini?"
Berfirasat jika Liliana sudah menaruh hati kepadanya. "Aku takut jika aku mengecewakan. Aku harap lain kali jika akan mengajakku keluar."
"Ah sayang sekali, aku berharap bisa berkunjung ke taman bunga baru yang dibuka di pinggir resort pantai minggu lalu."
Berbincang barang sejenak lalu meninggalkan halaman luas Rumah Dinas Kepolisian.
Clause mengintip dari balik jendela begitu juga Julian. “Menurutmu, apakah putri Liliana menyukai Tuan Zion?”
Berdecak sebal Julian kepada Clause. “Bukankah sudah terlihat. Matamu buta atau bagaimana?”
Clause menyimpan rapat sebuah cerita yang dikisahkan kepada dirinya. Mengenai Liliana dengan Tuan Jack. Hendak memberitahukannya kepada Tuan Zion ketika dia memikirkannya ulang.
Dendam atas kematian atau bahkan perbuatan, menurut Clause sedikit tidak masuk akal.
Jika semua manusia akan menembak atas tertembaknya diri mereka, yang dinamakan permintaan maaf tidak akan pernah ada. Jika begitu, semua manusia akan menjadi penjahat.
Karena kematian Tuan Jack berada di pinggiran Bukit Azur, hal itu disangkut pautkan dengan Dewa Gunung atau apalah itu yang diberitakan oleh masyarakat, sedang mengamuk dan meminta tumbal. Ada setidaknya penganut kuil keramat, dewa-dewa, dan kepercayaan masyarakat mengenai Tuhan yang beragam.
Dengan helaan nafas berat Clause membuka pintu. Bersedeku dengan bekal yang dibawa oleh Liliana.
“Kalian bisa memakannya,” perintah Tuan Zion.
“Bukankah milikmu.” Clause berteriak mengingat lelaki itu sudah melaju masuk ke dalam.
“Clause,” panggil Tuan Zion bersuara berat. Cukup dekat sehingga bulu kuduknya merinding. Clause menoleh, didapatinya Tuan Zion yang memicingkan matanya. “Apa kamu yang memberikan harapan kepada gadis muda itu?”
“Maksudnya?”
“Aku memilih tunanganku sendiri. Dan aku tidak mau berurusan dengan gadis itu.”
Julian bertepuk tangan di belakang Clause. Dengan suara gagah mengabarkan dia menolak gadis yang bahkan menurut Julian sangat cantik.
“Kamu menolaknya?” Tanya Clause cepat.
“Dia tidak mengatakan berniat menjadi tunanganku. Tetapi, itu pasti ulahmu.”
Clause mengiyakan perkataan Tuan Zion. “Aku tidak suka,” lanjut Tuan Zion.
“Maafkan aku,” lirih Clause
Melihat wajah menunduk seperti itu, walau begitu dia masih mengunyah makanan yang diberikan oleh Liliana. Melihat sebuah kilatan yang di leher Clause membuat Tuan Zion tersenyum
Mengacak rambut Clause lalu masuk ke dalam rumah. Bersiap dengan pagi yang riuh. “Kamu masih menyimpan cincinnya.”
Berjalan riang, sungguh pagi dengan bunga-bunga mekar di dalam hatinya. Liliana membuka pintu rumah. Terheran dengan aroma masakan yang masih menguar dari meja makan. Dilihatnya siapa gerangan yang memasak setengah siang sekarang? Apakah ayahnya sudah lapar?
Matanya sedikit terbelalak, dengan penampakan meja makan yang masih utuh masakannya pagi tadi. Nasi juga tidak disentuh. Letak piring sendok masih sama seperti yang dia tinggalkan. Meja makan kering tanpa jejak adanya manusia makan.
Liliana bergegas menuju kamar ayahnya. Sedikit terkejut dengan pintu yang masih belum dibuka. Lalu menuruni tangga menuju penyimpanan kunci cadangan. Ayahnya sakit atau dia lupa bangun. Sebuah nota yang dilihat Liliana di depan pintu kamarnya, ayahnya akan mengantar barang pukul 10 pagi. Sedangkan, 2 menit menuju jam dimaksudkan.
“AYAH!” teriak Liliana cepat. Ketika mencoba membuka kunci pintu kamar ayahnya
Kosong.
Hanya ada kasur dan selimutnya terbungkus rapi tidak terpakai. Ayahnya tidak tidur semalaman di kamar itu. Liliana mencari-cari. Dalam almari, dalam kamar mandi, dalam kolong tempat tidur. Kosong.
Sepatu ayahnya juga masih tertinggal di dekat rak. Tas ayahnya masih tergeletak di mejanya. Lampu tidur masih menyala, juga sebuah pesan kecil di atas kasur.
“Seandainya ayah tidak melihat dunia menyakitimu, ayah akan terus bersamamu di sisi. Selamanya, melihat kamu tumbuh dewasa, menikah dan memiliki keluarga kecil yang engkau suka. Ayah akan tetap menjadi ayahmu ketika itu.”
Degup jantung Liliana tidak karuan. Ada apa dengan sepenggal surat?
Rasa berpamitan, kah?
Segera langkah kecilnya menyusuri trotoar. Ketakutan akan dunia membuat Liliana menabrak anak kecil. Seakan meminta belas kasih diantara mata Liliana yang hanya terbutakan sang ayah. Ayahnya tidak akan pergi meninggalkan Liliana!
Itu adalah kalimat yang akan dia genggam seumur hidupnya.
Kemanakah langkah kaki akan terus membawanya. Sampai pada pinggiran hutan Bukit Azur dia berhenti. Dilihatnya lelaki yang ditemuinya pagi tadi sedang membicarakan sesuatu dengan anak buahnya.
Sudah seminggu semenjak jasad Tuan Jack ditemukan dimutilasi. Keluarga korban meminta kasusnya tidak disebarluaskan untuk kepentingan bisnis. Nyonya Jack hanya mengatakan jika dia sudah merelakan kepergian sang suami.
Liliana melihat semua manik mata yang menuju ke arahnya. Menghampiri Tuan Zion dengan papan informasi.
“Ap-a,” suaranya hampir habis. Terdengar berlari.
Tuan Zion menghampiri Liliana. “Ada apa kamu kemari?”
Sedangkan Clause sudah menangkap secarik kertas yang dipegang oleh Liliana.
“Apa yang terjadi dengan ayahmu?” tanya Clause tiba-tiba.
“Apa kamu tahu sesuatu?” Liliana mendelik, meminta jawaban pasti dari Clause yang secara tepat membaca situasi.
“Ayahku menghilang. Apakah dia meninggal?”
Keterkejutan jelas tampak di mata Tuan Zion juga Clause.
“Apakah dia salah satu korban mutilasi?”
Pertanyaan mampu membuat keduanya bengong sesaat. Korban Mutilasi, Kasus Mayat Kering apakah semuanya saling berhubungan?
“Kami tidak mengerti, Liliana. Bisakah kamu menengkan dirimu dan berceritalah dengan kami.” Clause menuntun Liliana untuk duduk pada sebuah batang kayu yang sedikit lapuk.
Tuan Zion memberikan air untuk menenangkan Liliana, masih penasaran dengan isi surat yang dia dekap erat. “Bisakah kamu menunjukkannya?”
Tergerak hatinya menunjukkan surat yang dia dekap.
“Ayahmu meninggalkan surat ini di kamarnya?” Clause bertanya.
“Iya, apakah dia salah satu dari tumbal dewa gunung marah?” tuntut Liliana sebuah keadilan.
“Siapa yang dimaksudkan dewa gunung kami juga belum mengerti, Liliana. Selama belum ada bukti bahwa Dewa Gunung benar ada, kami akan berusaha membantu dengan mencari ayahmu.”
Liliana mengangguk. “Tetapi, apakah selanjutnya akan aku?”
Jemari dia gigit, ketakutan atau berbayang kematian yang hampir saja membunuh dirinya. Bayangan mengenai lelaki yang telah merenggut keperawanannya. Juga apakah itu orang yang sama yang akan menghabisinya. Apakah rasanya meninggal akan sama seperti saat itu?
“Huwaaa!” Liliana menjerit. Mengacak rambutnya sebal. Dia menolak dengan keras apa yang dimaksud kematian. Terus meronta-ronta minta diselamatkan.
“Tenang Liliana.” Clause berusaha menghentikan gerakan tangan Liliana.
Tuan Zion sigap mengunci pergerakan tangan Liliana. Juga dirinya yang terus kena pukul kaki tangannya.
“Hentikan! Ayah jangan tinggalkan aku!”
“Julian!” panggil Tuan Zion. Walau begitu Julian juga sebenarnya memperhatikan dari jauhnya lokasi.
Julian mengambil beberapa dosis yang berada di tasnya. Liliana sudah tidak bisa mereka kendalikan. Kekuatan gadis itu dengan dua orang lelaki yang takut menyakitinya seakan kalah. Julian terpaksa menyuntikkan obat penenang sebelum akhirnya kesunyian sedikit melanda
“Amankan Liliana ke rumah sakit kepolisian. Kita akan mengawasinya sementara waktu.”
Clause juga Julian mengangguk
Masih menunggu dalam remangnya lorong. Begitu hebat panjatan sebuah doa yang didengar Tuan Zion melewati badannya.
Seseorang dengan keadaan kritis hampir sekarat, atau manusia cacat dengan harapan hidup tinggi. Mereka yang berjuang melawan penyakit, mereka yang senantiasa menaruh asa pada putri yang depresi. Pemandangan seperti apa yang dilihat dalam lorong Rumah Sakit? Alasan Tuan Zion tidak pernah mau menjadi dokter adalah melihat perjuangan mereka.
Itu menyakitkan
“Psikolog telah menangani Liliana. Kita bisa lega barang sejenak.” Clause muncul dengan jas terlepas.
Wajah bijaksana Tuan Zion juga masih dia tampakkan. “Sepertinya kita butuh liburan.”
“Minggu aku libur.”
Tuan Zion tertawa kecil. “Sialan, siapa yang berhak meliburkanmu?”
“Kamu,” jawab Clause.
Hingga mengikuti jejak langkah Tuan Zion meninggalkan rumah sakit.
Mengumpulkan semua bukti dan data yang masih menggantung dalam ruangan kecil berisikan tiga orang. Mengunci pintu tidak membiarkan lalat masuk sekalipun.
“Baiklah. Kita akan memulai rapat kita hari ini.”
Clause meletakkan kepalanya di atas meja. “Ini hari Minggu. Dan aku libur.” Melihat anak itu memakai piercingnya membuat Tuan Zion menggeleng.
Julian nampak lesu dengan memainkan bolpoin.
“Nanti sore kita akan ke pantai.”
Seakan mendapatkan suntikan semangat. Julian juga Clause bersorak gembira.
“Kamu yang traktir makan malam.”
“Aku mau beli kelapa muda, udang, lalu berselancar.”
Tuan Zion menghela nafasnya. “Lakukan sesuka kalian.”
Tawa kegembiraan sudah mampir dalam indahnya wajah keduanya. Tuan Zion lega melihatnya. "Baiklah, mari kita bahas satu per satu."
"Siap Tuan!" jawab mereka serempak.
"Dari mayat Amanda kita melihat kesamaan antara semua mayat yang telah ditemukan. Serbuk besi yang kita anggap sebagai serbuk halusinogen. Pada mayat Tuan Jack juga terdapat hal serupa tetapi, tubuhnya dibunuh mutilasi. Kemungkinan besar, dia bukan salah satu korban. Tidak termasuk dari daftar pembunuh."
Clause menginterupsi. "Mengenai pembunuh aku sudah mencoba membuat sketsa wajahnya. Kira-kira apakah sesuai dengan apa yang kamu lihat Tuan Zion?" Clause menunjukkan dua buah lukisan di kertas gambarnya. Menempelkannya pada papan milik mereka.
"Aku merasa aku juga bisa mengingat sedikit wjahnya." Clause meyakinkan diri ini. "Dengan begini setidaknya kita mencurigai pembunuhnya."
Tuan Zion berpikir sejenak. "Aku akan memberian tugas kepada tim untuk mencari seseorang dengan identitas seperti ini. Meski begitu aku juga ingin melihat wajahnya terpampang dipencarian orang hilang."
"Bukankah akan menimbulkan kekacauan. Saat ini pojok orang hilang
menjadi sorotan," Julian menyangkal.
"Tetapi kita bisa memberitahukan ciri-cirinya tanpa menyebutkan nama atau meletakkan sketsa wajah."
"Pojok orang hilang tanpa nama," simpul Tuan Zion. "Hanya melalui sketsa?"
"Bisakah?"
"Masuk akal." Julian menjentikkan jarinya atas ide Clause.
Tuan Zion mengangguk. Hanya dengan sogokan kecil dalam berita jika dia mengkalkulasikannya. Semakin dikejar, tikus akan semakin berlari dan sembunyi secara sembarangan.
"Dari periode kasus mayat kering saja sudah memakan jarak satu bulan antara korban satu dengan yang lainnya. Anggap saja merekalah yang menjadi target." Tuan Zion menarik semua benang merah diantara mereka.
Tuan Geta,
Putri Shyui,
Amanda,
Kesamaan diantara ketiganya adalah wajah mereka rupawan. Usia juga masih muda, belum pernah menikah, bangsawan, juga tinggal di Kota Homura."
Tuan Zion menyangga dagunya. "Sedangkan membuang korban yang bukan dari daftar mereka, dibunuh dengan cara yang wajar. Tubuh utuh tidak mengering. Seperti Tuan Ferden dan Tuan Jack."
"Liliana menginformasikan atas kehilangan ayahandanya. Apakah mungkin jika Tuan Anthony ada kaitannya dengan korban tidak terdaftar?" Clause menduga.
Julian tertarik dengan itu, mendongak kepalanya dari gambar para korban. "Apakah Tuan Anthony tahu mengenai pembunuh atau korban selanjutnya. Sebelum tersebar, pembunuh membunuh Tuan Anthony dan mayatnya dibuang entah kemana?"
Tuan Zion menyandarkan dirinya di sofa. "Aku tidak ingin mendahului takdir. Tetapi, aku sangat yakin jika Tuan Anthony sudah tiada. Satu-satunya yang membuat aku curiga adalah Bukit Azur."
"Kuil yang berada di puncak bukit Azur, tempat orang mengatakan Dewa Gunung." Clause jengah dengan kata Dewa Gunung. "Penenun kain yang tinggal di sana. Bagaimana bisa orang tuamu menyewa penenun dari jauh?"
Julian mengangkat bahunya. "Entahlah, tanyakan saja pada mereka."
"Clause, apakah kamu pernah menanyakan mengapa diadakan festival sebulan sekali kepada masyarakat sekitar?" Tuan Zion tetiba mengingat akan pertanyaan yang semenjak dia datang selalu menghantui.
"Tidak, tanyakan saja kepada Julian. Dia salah satu pendiri Klan Vegas bukan."
"Julian," lirih Tuan Zion. Bahkan Tuan Zion melupakan anak itu berasal dari bangsawan. "Bisa kamu jelaskan?"
Julian menganguk mantap. "Tentu saja, aku tahu segala cerita masa lalu negeri ini."
"Para nenek moyang kita percaya dengan adanya Tuhan yang diturunkan melalui nabi. Salah satu jelmaan mereka adalah sekarang yang mewakili keempat arah mata angin. Anggap saja mereka adalah dewa yang melayani Tuhan. Selain itu, festival ini digunakan oleh penduduk sekitar sebagai sarana memuji Tuhan dan perayaan keagungan. Mungkin aku bisa mengatakan salah satu ibadah untuk Tuhan."
Tuan Zion juga Clause mengangguk. Baru pertama kali mendengar cerita semacam itu.
"Perayaan ini dilakukan setiap sebulan sekali di mana bulan purnama tiba. Saat itulah pintu langit terbuka dan semua orang akan memanjatkan doa paling serius."
"Apa ini cerita lengkap atau hanya secara singkat?"
"Aku hanya diajari itu. Selanjutnya juga hanya masalah cerita nenek moyang membangun negeri ini. Klan Vegas dan Klan Rall yang membangun perekonomian dan lainnya. Jika kamu hanya menanyakan alasan festival maka hanya itu jawabannya."
Tuan Zion sejenak berpikir. Melaukan perayaan dengan biaya semahal itu. "Siapa yang mendanai festival itu?"
"Kedua klan," jawab Julian cepat.
"Jika yang dikatakan Julian, bulan purnama." Clause sempat menyadari sesatu. "Harusnya mereka dibunuh pada malam bulan purnama," lanjutnya.
Julian terkejut. "Kamu benar juga," lirihnya. "Pada tanggal diketemukannya mayat mereka seusai festival. Apakah pembunuh mengincar orang yang berada di festival?"
"Ketakutan terbesar Liliana adalah menjadi korban selanjutnya, mungkinkah?" Tanya Clause penasaran.
"Lalu apa langkah yang akan kita ambil? Kita tidak mungkin menyelamatkan semua orang." Julian mendengus.
"Kita bisa menyembunyikan Liliana dan mengawasinya sepanjang hari sampai selesainya malam festival. Jauh dari festival. Dan untuk orang yang berada di festival. KIta akan mendata semua orang yang masuk lalu mengabsen mereka saat pulang sehingga kita tahu siapa yang akan hilang." Tuan Zion menautkan kedua jemarinya.
"Ini akan memerlukan banyak waktu."
Clause mengambil arlojinya. Mulai memperhatikan bagaimana detak detik berjalan pelan. "Kita bisa melakukannya jika acara festival ini dimajukan. Kita akan mempunyai banyak waktu untuk mendata semua penduduk yang masuk. Pasukan militer juga kepolisian juga harus dikerahkan." Melirik Julian. "Kita juga membutuhkan bantuan Klan Vegas."
Sedikit terkejut Julian mendengar rencana itu. Melakukan bersama Klan. Apakah akan dianggap sebagi ketidakpercayaan atau semacamnya? Julian nampak ragu menimbang ide itu.
"Aku akan membantu," Tuan Zion bersuara.
"Apa kalian yakin?" Julian nampak ragu.
"Kami akan bersamamu," Clause mengangguk yakin.
Julian yakin. "Baiklah. Aku akan membuat janji dengan ayahanda."
Kabar burung sudah akan dilegakan. Ada yang terus berhati-hati dalam langkahmu, Tuan. Jangan sampai tersandung apalagi tersungkur. Jika beruntung esok hari masih didapati sebuah nyawa.
...***...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments