Bab 8 Penyangkalan

..."'Selamat datang' ucap kami kepada seseorang yang memakai tudung merah. Tanda didadanya hanyalah sebuah jantung berdegup keras menabrak tulang. Nyawamu sudah kami ambil, namun, ada yang menyangkal kematianmu."...

Menangisi kehidupan, merengek dengan ingus mbeler. Siapa yang meringkuk dalam susahnya materi? Hanya seorang perempuan rupawan yang kini berdandan dalam remangnya temaram lampu malam.

"Aku pergi dulu," teriaknya dari arah kamarnya kepada seorang ibunda yang merajut benang. Berlapiskan gaun mewah dengan renda tipis, memakai sepatu berjalan menuju depan lawang.

Seorang itu hanya mengiyakan putrinya menjadi wanita penghibur, pelaris dagangan dengan racikan ibunya. "Dengan apa kamu pergi?"

"Aku akan dijemput." Menoleh barang sebentar. "Aku mungkin akan pulang malam. Jika tidak kembali pukul 2 pagi aku sudah menyematkan alamat di meja kamarku."

Setelah keluar dari gubuk yang dia tempati, sedikit rasa bersalah menghampiri. Dengan banyak kerelaan yang ada, melangkahkan kaki menuju petang yang tenggelam.

Wajahnya cantik tanpa tapi. Hanya itu bekal yang dia punya. Mencoba keluar dari nyamannya kasur jerami, menuju ranjang hangat Tuan yang sudah menyewanya.

Hanya dengan cara ini keluar dari kemiskinan.

Hanya dengan cara ini keluar dari hutang yang sudah lama menumpuk.

Ada kereta mesin terparkir sedikit jauh dari gang dimana letak rumahnya berada. Malam ketika manusia berkumpul menyaksikan pertunjukan sirkus, altar kebak orang berdoa. Perjalanan yang seharusnya dia jumpai ketika remaja akhirnya dia lihat dengan mata indahnya.

Riasan sedikit dengan gelang permata, menuruni kereta setelah sampai pada sisi ramai orang. Berjalan diantara kerumunan menuju lelaki yang sudah dia hafal sedikit wajahnya akibat pertemuan sore kemarin. "Selamat malam Tuan," sapanya dengan ramah.

Dilhatnya dari atas wanita cantik itu lalu merangkul pinggangnya dan memasuki kereta mesin yang lain. Setelah meninggalkan kerumunan kota sedikit riuh sepi senyap yang dia rasa.

...***...

Wajah keceriaan nampak jelas diantara dua bocah yang Tuan Zion bawa. Menggumamkan kata 'wah' ketika memasuk festival sudah lama tidak mereka kunjungi. Yah, setidaknya Tuan Zion maupun lainnya jarang bisa menyaksikan festival. Hanya Kota Homura lah yang memiliki festival bulanan semacam ini.

Kedua bocah meminta uang jajan atau sekedar membelikan minuman. Setelah kenyang akan makanan mereka berdoa pada Dewa mengenai jodoh di masa depan. Sesekali menertawakan apa yang mereka panjatkan. Apakah jodoh mereka akan cantik, bermolek, atau hanya sekedar teman sendiri?

Clause mencuri tawa diantara ketiganya, membuat Tuan Zion menoleh. "Ada apa?"

Clause membuka matanya. Mengambil dupa dan mencipratkan wewangiannya kepada dirinya. "Apakah kita bodoh atau apa? Jodoh di masa depan hanyalah kematian," sambil menggerutu.

Julian tersenyum tertahan, sedangkan Tuan Zion terkekeh. Sudah buyar pemikirannya, Julian mengedarkan pandangannya. Menangkap seseorang yang mencolok dengan baju putih berada di dekat jajanan yang sudah Julian lewati. "Aku akan bersama dengan Bryan. Kalian jalan sendiri ya," lambaikan tangan menuju seseorang yang juga mencari keberadaannya.

"Apakah aku lama?"

"Cukup lama, aku sudah kenyang. Apakah akan melihat sirkus?"

"Masih dua puluh menit lagi. Bagaimana jika mendapatkan makanan untukku."

"Boleh, di sana enak."

Clause terheran, melihat dengan saksama lelaki yang bersama dengan Julian. Lelaki dengan dua pengawal terlihat tidak asing di mata Clause, apakah pernah melihatnya dari koran atau majalah. Atau pernah melihat tanpa sengaja. "Siapa dia?" tanyanya kepada Tuan Zion memilih beberapa gelang rajut.

Mata Tuan Zion melirik sekilas. "Dia Bryan Rall. Tuan Muda Klan Rall. Bukankah seharusnya kamu juga tahu?"

"Wuah," puji Clause.

Tuan Zion mengernyitkan keningnya. "Mengapa kamu terpesona dengannya?"

"Dia sangat tampan." Masih dia pandangi lelaki memakai js putih dengan Julian yang berjalan berdampingan menuju banyak pusat aksesoris. "Apakah dia sudah bertunangan?"

Clause melirik wajah Tuan Zion yang terasa menjijikkan kepadanya. "Ada apa dengan wajahmu?"

"Kamu terasa seperti menyukainya."

"Hei, apakah kamu menganggap aku tidak suka perempuan?"

"Aku tidak bilang begitu," sanggahnya. Akhirnya pilhannya tertuju pada gelang rajutan berwarna ungu dengan ujung simpul emas. Memberikan satu kepada Clause dan membawa satu lagi untuknya.

"Berapa total semuanya?"

Clause mengangguk ketika melihat sematan gelang ungu itu. Terseyum karena ditengahnya berbentuk boneka beruang berwarna emas.

Mengedarkan pandangannya ke seluruh pedagang. Ada yang membawa anaknya berjalan di atas pasir. Membantu membuat istana pasir di pojok bermain. Atau eskrim yang meleleh pada anak yang menjilatnya cepat. Pasangan muda membawa cinta, juga gairah mereka yang mencari pasangan. Setelah pulang dari festival akan ada manusia yang bermadu kasih. Entah mengapa Clause tersenyum getir.

"Apa kamu juga ingin memilikinya?" Suara berat tan Zion menyapa indra pendengaran. Begitu jelas sampai getaran nada yang dihasilkan. Tuan Zion berbisik kepadanya, jelas terlihat.

Clause menggosok telinganya, menarik diri dari jangkauan Tuan Zion. Fokus pandangannya tertuju pada kereta mesin yang terparkir berada di sisi luar festival. Menarik rantai jam yang selalu dia bawa. Sebuah arloji berharga dari seseorang istimewa.

"Bukan, saya bukan dari Kota Homura."

Samar Clause mendengar Tuan Zion asyik berbincang dengan pedagang. Rasa kakinya ingin berjalan menghampiri kereta mesin. Seketika mencuri langkah, Clause mendekatkan dirinya, menepis jarak diantara benda dingin itu. Seakan ada bayangan yang menyerupai sesuatu.

Sebentar lagi festival puncak akan dilaksanakan. Entah mengapa kereta mesin itu tampak begitu adem. Clause membuka pintu bagian depan, seketika terjingkat karena katak yang melompat keluar. Hampir saja dirinya menjerit seperti perempuan.

Menyadari wakilnya menghilang dri pandangan menuju kereta mesin, Tuan Zion menarik diri dari pembicaraan. Setelah mengucapkan banyak terima kasih. "Clause, jangan membuka kereta mesin yang bukan milikmu." Tuan Zion menarik tangan Clause menjauh. "Apa yang kamu lihat?"

"Aku hanya melihat ada seseorang di dekat kereta mesin itu," Clause menyangkal.

"Iya, karena berpemilik. Sudahlah."

Clause menghentikan langkah Tuan Zion. Menghadang langkahnya. "Tampak seperti orang asing. Mungkin seperti orang yang pernah kamu tanyakan kepadaku. Lelaki bertudung merah."

Degup jantung Tuan Zion berhenti seketika. Lelaki bertudung merah yang selalu mengacaukan pemikirannya akhir-akhir ini sedikit membuat resah. Setelah menemuinya dua kali Tuan Zion yakin jika ada yang menguntit dirinya dan Clause. Entah keduanya atau salah satu.

Melihat wajah Tuan Zion yang menegang membuat Clause mempertimbangkan perkataannya barusan. "Apakah ada yang salah?"

"Apa yang kau katakan, Clause? Kamu melihat lelaki bertudung merah."

"Aku hanya melihatnya sekilas, dia ada disekitar kereta mesin."

Tuan Zion menenangkan pemikirannya. Hanya mengajak anak itu kembali ke kerumunan. Sedang Julian dan Bryan melihat sirkus seperti yang sudah direncanakan.

Percikan kembang api mewarnai malam penuh bintang. Tidak perlu awan yang mewarnainya, nyatanya, semua mata akan terpukau dengan indahnya buatan manusia. Clause bertepuk tangan akan atraksi semburan api panas dari mulut. Memanen recehan bagi pemain sirkus yang haus cuan.

Ketika malam bergeser menuju dini hari hanyalah sebuah tarian tradisional juga acara bakar lampion, menerbangkannya sampai ke angkasa. Lalu asapnya akan hilang seiring dengan waktu berjalan.

Indahnya dunia sudah dinikmati bersama.

Mari menyingkirkan pemikiran buruk tentang dunia.

Namun....

Mungkin bagi seseorang terbungkus rapi dalam lilitan jubah merah kemarin adalah malam terakhir baginya. Indahnya dunia dengan sirkus juga atraksi indah sudah tidak dapat dia lihat. Kepada siapa keringat bercucuran sehabis perang ditunjukkan?

Mungkin pada tanah sedikit basah dan liat dia berikan, seseorang dengan nyawa melayang.

Sedang, cuitan ibunda mengkhawatirkan sang Putri tidak kunjung datang dari lekasnya pekerjaan yang dia janjikan.

Katanya, tidak sampai pukul dua dini hari.

Katanya, tidak lama akan menunggu.

Katanya, jangan tidur sampai sang putri pulang.

Hingga, esok pagi dengan banyaknya sinar matahari menjelang. Sang putri tidak kunjung datang. Sedang, lelahnya menggerogoti. Sedang, pikirannya kacau. Sedang, hatinya remuk. Dimana dia akan mencari? Tidak akan memaafkan jika dia mendapati putrinya berkhianat, janjinya pada diri sendiri.

Seorang ibunda berjalan tanpa alas kaki. Tidak dia hiraukan tatapan orang yang mengejek dalam batin. Membawa sebekal alamat yang mungkin sudah tidak valid.

Bahu bersenggolan dengan lelaki berperawakan sedang terburu karena meninggalkan jasnya. "Maaf, Tuan." Sang ibunda hanya terus menunduk. Lalu pergi dengan terburu.

Apakah ada yang menolongnya jika dia miskin?

Adakah keadilan untuk dirinya.

"Bibi," panggil lelaki yang bersenggolan untuk dirinya. "Tunggu dulu." Clause dengan cepat menghampiri ibunda yang terus saja menghindar. Dia hanya menoleh ke kanan ke kiri mencari sebuah nomor rumah. Clause berhasil berhenti di depan ibunda. "Saya kepolisian. Clause Zegar. Maaf lancang, saya melihat Anda membawa sebuah alamat dan apakah Anda mencari seseorang?"

Sang Ibunda hanya menggeleng. Sorot matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam.

Seorang yang mengintip dari balik batang pohon bengkok menyeringai.

Berkelok langkah kakinya menuju kantor kepolisan, tempat Clause akan bertugas. Memakai jasnya dengan cepat. Pertemuannya kali ini akan membawanya kembali ke rumah persinggahan Airis. Ada sekitar 12 orang yang mengawasi rumah tersebut tetapi tidak ada satupun yang melaporkan keberadaan tubuh Airis berada.

"Mengambil jas memerlukan waktu 1 jam, Clause?" Tanya kaptennya ketika wajah Clause baru sampai di depan gerbang.

"Iya," jawabnya singkat.

Kereta mesin dinyalakan, dengan sedikitnya harapan yang mereka bawa. Apakah akan menemukan titik terang? Ada kebuntuan dalam penyelidikan. Lelaki yang dibawa Clause bahkan tetap bungkam setelah banyaknya penyiksaan yang dilakukan oleh tim Interogasi. Jalan satunya hanya kembali ke tempat kejadian.

Tuan Zion mungkin bernafas dengan lega, setelah tidak adanya kasus yang dilaporkan.

Clause memastikan barangnya telah dibawa seutuhnya. Memastikan kereta mesin yang membawa Julian juga sudah siap. Barulah menengok ke belakang ketika dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Julian datang bersama dengan sopirnya. Ada yang mengganjal di mata Clause di waktu yang sama.

Mengenai seseorang membawa hati yang hancur menuju kantor kepolisian terdekat, membawa sepenggal nyawa. Ketenangan bahkan sudah tidak dapatkan. Tanpa rasa sakit kakinya walau penuh luka tetap membawa asa.

Clause memerhatikan ibunda yang sama yang dia lihat sewaktu mengambil jas. Ibunda dengan alamat yang mungkin Clause juga tidak tahu dimana letaknya. "Clause," panggil Tuan Zion keras dari dalam kereta mesin. Yang dipanggil hanya menoleh sekilas, lalu mengabaikannya dan kembali pada ibunda itu.

"Bibi," panggil Clause.

Tuan Zion mengikuti langkah Clause segera. "Ada apa Nyonya?"

"Putriku, apakah kamu bisa mencari putriku?"

Julian mengamati dari balik jendela kereta mesinnya sedikit mendengus sebal karena keterlambatan yang dibuat Clause.

"Sudah berapa hari putrimu menghilang?"

Ibunda itu menggeleng. "Dia berjanji akan kembali sebelum jam dua dini hari. Tetapi, dia tidak kunjung pulang. Dengan maraknya kasus kehilangan aku hanya takut putriku salah satu korbannya."

Clause sedikit tertohok. Kekhawatiran ibunda akan putrinya yang sungguh luar biasa datangnya. "Apakah Anda tahu kemana perginya?"

"Dia meninggalkan alamat ini?"

Tuan Zion mengambil alamat yang berada di tangan ibunda itu dan menggeleng. "Saya tidak tahu alamat ini. Sebagai gantinya, saya akan memerintahkan anak buah saya untuk menemani Anda menemukan putri Anda. Mohon tunggu sebentar."

Tuan Zion beranjak pergi. Clause mengarahkan ibunda itu untuk memasuki kantor dan menunggunya di ruang tamu. Setelah menyerahkan sandal- yang entah milik siapa wanita itu nampak sedikit lega. Sedikit kekhawatiran terkuras berharap akan ditemukan oleh kepolisian.

"Kita bertemu tadi, mengapa kamu tidak langsung mengatakannya?"

"Aku hanya takut dengan orang asing."

Clause hanya menghela nafasnya. "Jika aku boleh tahu siapa nama putrimu?"

"Amanda," jawabnya.

Tuan Zion behenti setelah mendengar kata Amanda, nama yang pernah tertera dalam buku milik lelaki gila itu. Kasusnya berhubungan dengan Airis. Mencoba menjaga jarak dengan Clause yang masih berbincang dengan ibunda itu.

"Apakah ada yang mengajaknya pergi?"

"Ya, dia bekerja di rumah bordil dua hari yang lalu. Dan ini adalah pekerjaan pertamanya."

Setelah meninggalkan ibunda dengan segala kegelisahannya. Tim Pencarian yang dibentuk oleh tuan Zion secara dadakan segera bersiap. Jalan utama agar kepolisian tetap melambung adalah kepercayaan masyarakat. Tuan Zion sudah menyandang hal itu. Terlahir dari Komandan Kepolisian. Latar belakang keluarganya jelas tidak akan diragukan lagi.

Memfokuskan tugasnya pada masalah Airis. Rumah dengan banyak reruntuhan itu seperti dibangun kembali. Bekas api yang melahap hanya sedikit saja. Sedangkan, 12 orang yang menjaga seperti biasa berkeliaran mengais bukti.

"Apakah ada petunjuk?" Tuan Zion memberi salam kepada salah satu anggotanya yang mungkin tidak menyadari kehadirannya.

"Kami menemukan ruang bawah tanah yang digunakan Airis untuk membut kosmetik."

"Kami juga menemukan satu bidan yang membantu mencarikannya 'bahan' untuk membuat kosmetik."

"Semua data itu ada di sini."

"Kerja bagus." Tuan Zion mengambil papan informasi itu, membacanya sekilas. "Bidan itu?"

Clause mengintip pada jeruji besi yang berada di atas kereta mesin. Bidan wanita berusia 27 tahunan sedikit ketakutan. "Apa kamu takut?"

"Tuan Zion selalu membereskan apa yang kamu perbuat, bukan?"

Clause mengangkat alisnya. "Kamu kenal dengannya?"

"Kenal," jawabnya.

"Dimana Airis?"

Wanita itu gelapan. Bola matanya memutar ke atas dan melirik sisi kanannya. "Tidak tahu."

"Jawaban yang keren."

Clause berkacak pinggang berteriak, "Tuan Zion wanita ini tahu di mana Airis berada. Kita hanya perlu membawanya ke kantor."

"Ya, bawa dia!" perintah Tuan Zion.

"Apa- tunggu." Perawat itu sedikit menarik jas yang dipakai oleh Clause.

"Apa?" sungut Clause.

"Kamu tidak bisa langsung membawaku. Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi diantara kalian dengan Airis. Aku ini hanya pemasok."

"Hora, kamu baru saja mengakui kesalahanmu." Tunjuk Clause tepat di hidungnya.

"Kalaupun tidak, kalian juga akan membuat aku buka mulut, bukan?"

"Pintar juga," Clause memuji.

"Lanjutkan interogasi dengan wanita itu. Aku dan Clause akan kembali masuk ke dalam."

Suara Tuan Zion sepenuhnya mengalihkan pandangan Clause dari wanita itu. Diekorinya kaptennya menuju dalam rumah. Tengah Altar. Persembahan. Dewa. Semua adalah makanan makhluk asing. Lelaki itu hanya mengaktifkan apa yang dia tahu. Jadi itulah yang dilakukan Indriyana. Indriyana tidak menggunakan kosmetik seperti yang dilakukan oleh Airis. Bahannya jelas berbeda.

"Orang macam mereka itu otaknya sudah gila!" sungut Clause ketika melihat banyaknya tumpukan daging bayi yang belum diolah.Membusuk sepenuhnya, sedangkan Julian nampak asyik dengan organ tubuh itu.

"Julian," panggil Tuan Zion.

"Praktik ilegal. Dalam undang-undang kita hal ini belum dipermasalahkan jika kedua belah pihak setuju. Perawat itu mungkin hanya pesuruh. Airis tidak menjajakannya, dia hanya memakainya sebagai bahan pribadi. Kemungkinan kasus ini akan lebih mudah dari yang kita bayangkan." Julian memegang beberapa daging busuk lalu meletakkannya dalam plastik khusus. "Sudah sepenuhnya menyatu satu sama lain. Aku tidak bisa menguji DNA nya."

"Tidak perlu," Tuan Zion menjawab tegas.

Langkah menepis untuk melihat Clause juga Julian dari dekat. Melihat kedua manik anak buahnya. "Kita akan menyerahkan kasus ini pada 12 anak buahku. Aku akan menunjuk salah satu mereka menjadikannya ketua."

Keputusan mutlak sudah disuarakan.

Ada apa dengan wajah serius itu?

Julian begitu Clause sangat kebingungan. Melihat dengan cepat kaptennya putuskan. "Mengapa?"

"Karena, kasus mayat kering sama sekali tidak disangkutpautkan dengan Airis."

"Apa kalian tidak menyadari sesuatu? Seseorang telah mengawasi kita, pergerakan, rencana, tata cara," lanjut Tun Zion. "Perbedaan bayi dan orang dewasa itu terlalu jauh."

Ketiga pasang mata saling beradu. Menciptakan ketegangan diantara mereka. Menepis jarak untuk terus berbaik sangka pada manusia. Nyatanya, tidak menghasilkan apa-apa.

"Musuh kita bukan manusia."

Suara pemecah keheningan Tuan Zion menggetarkan hati Julian dan Clause. meninggalkan suara bising angin berembus melewati celah ruang bawah tanah.

Julian melihat tumpukan bayi yang membusuk. Tubuh Airis kemungkinan melarikan diri melewati tengah Altar, dimana Clause pernah mengatakan banyak genangan darah.

Seseorang mungkin mengawasi kita dari jauh.

Bermata unik itu berpaling dari rimbunnya semak.

...Bersambung.......

...***...

Mungkin ada yang lebih pintar dari tupai melompat sehingga hal biasa menjadi basi.

Ada yang meraung dalam kengerian.

Ada yang mengubah rencana tanpa persetujuan pihak lain.

Ada yang berbelok dalam tikungan.

Rencana awal sedikit berubah.

Pada sosok yang ini mengubur jasad berbalutkan kain merah pada mereka yang disebut dengan tonjolan daratan.

Bukit yang melintasi, memenuhi sepanjang mata memandang.

"Tikus kita terlalu cepat berevolusi."

......***......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!