Chapter Kedua Buku Itu

“Mata itu menipumu. Hanya ada pupil liar di dalamnya, yang membesar saat kau jauh, mengecil saat kau mulai dekat. Dan di sisi kacanya yang lengkung, akan ada bayangan yang seolah-olah itu adalah bayangan Tuhan.”

Kata-kata Razis terasa benar di benakku. Aku mulai berpikir di saat itu, apa salahnya kalau aku mencobanya? Mungkin selama ini aku tidak menyukai Vika karena aku belum terlalu mengenalnya? Mungkin saja cinta itu tumbuh karena sudah terbiasa?

“Kamu mau mencobanya?” Razis menanyaiku kembali.

“Jika suatu saat nanti aku juga nggak bisa menyukai Vika, lalu mengakhiri hubungan dengannya, dia akan baik-baik saja kan?” tanyaku memastikan.

“Kamu nggak perlu mengkhawatirkan itu! Kamu bisa lihatkan berapa kali aku putus sama cewek-cewek di SMA ini? Setelah aku putus dengan mereka, semua baik-baik saja! Aku bisa membangun hubungan kembali, dan merekapun juga begitu,” urai Razis mencontohkan beberapa hubungannya yang telah berakhir.

Razis memang terkenal Playboy di sekolahku. Hampir setiap murid di sekolahku tahu tentang kisah percintaannya. Namun, pamornya tak pernah pudar. Setiap kali putus, selalu saja ada cewek baru yang didapatkannya. Seakan-akan hubungannya yang berakhir memang dinanti-nanti oleh wanita lain di sekolahku itu.

Sejak saat itu, hidupku mulai sedikit berubah. Jalanku selalu ditemani oleh vika. Walaupun hubungan yang kujalin dengan Vika tanpa rasa suka, tapi aku tetap mencoba untuk selalu menemaninya di setiap saat senggang di sekolah. Aku telah menjalani hubungan tak biasa pertama dalam hidupku dengan seorang wanita bernama Vika Aediva.

Hari-hari terus berlalu dengan cepat, Aku dan Vika telah merasa semakin dekat, namun cinta tak jua melekat. Aku hanya selalu bisa menganggapnya sebagai teman biasa. Meski perhatiannya selalu ada untukku, kasih sayangnya sangatlah sempurna padaku, tapi semua itu belum bisa membuat hatiku luluh.

Di suatu malam yang teramat suram, langit berwarna hitam kelam. Bintang dan bulan tiada muncul menatap malam. Membuat sepi terasa semakin nyata, tapi bibirku tetap berwarna oleh senyuman yang mengusir lelah, karena cerita-cerita lucu dari Vika datang membela cakrawala jiwa yang tengah gundah.

Pesan dari Vika datang silih berganti di HP Nokia berlayar kuning milikku. Akupun terus membalas pesan dari Vika seiring waktu yang terus bergulir di malam itu. Alat komunikasi genggam yang baru dibelikan ayahku seminggu yang lalu, membuatku kecanduan dengan alat itu. Lagi pula benda elektonik yang disebut Handphone itu baru masuk beberapa bulan ini di kampungku. Jenis komunikasi itu sedang marak-maraknya di kalangan anak muda seusiaku.

Sangat lama aku dan Vika saling bertukar pesan, jam dinding kamarku telah menunjukan pukul sembilan malam. Tidak lama, pesan dari operator seluler menyelip di atas pesan dari Vika. Pesan itu menyatakan bahwa pulsaku telah habis. Pulsa yang kubeli sepuluh ribu rupiah siang itu, tak bertahan lama untuk membayar biaya pengiriman pesan yang seharga Rp300/pesan waktu itu.

Aku tak bisa lagi membalas pesan dari Vika. Ku letakkan handphone di samping kiri kepalaku, lalu kucoba untuk memejamkan mata. Tiba-tiba, handphone ku berdering, nama Vika tertera di tampilan layar telpon genggam itu.

“Pulsaku habis,” jawabku mengangkat panggilan handphone.

“Aku beliin ya?” ucap Vika menawarkan.

“jangan! Sudah malam.

“Bentar!” ujarnya mengakhiri panggilan.

Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Sikap baiknya yang terlalu berlebihan kepadaku kembali terbukti malam itu. Aku kembali merebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang dilapisi sprei berwarna putih. Dengan satu tangan di letakkan di belakang kepala, aku terus memikirkan betapa besarnya kepedulian Vika terhadapku. Tapi mengapa aku belum juga bisa memberikan perasaanku padanya?

Tak lama kemudian, aku tersentak dari lamunanku. Handphoneku kembali bergetar. Vika menelponku lagi.

“Udah masuk pulsanya Fan?” tanya Vika dalam panggilannya.

“Belum. Kenapa?

“Aku udah mengisinya dua puluh lima ribu barusan! Masa nggak masuk? Coba cek dulu!

Aku coba memeriksa saldo pulsa di handphoneku. Hanya angka Rp179 yang tertera di layanan operator saat itu.

“Pulsaku belum bertambah,” ungkapku pada Vika.

“Kok bisa? Bentar ku cek dulu sama yang jual,” ucap Vika mematikan handphonenya.

Lamaku menunggu kabar dari Vika, namun kabar itu tak kunjung datang. Kubaringkan tubuhku dengan handphone yang ku letakkan di dadaku. Sambil menunggu pesan dari Vika, ku pejamkan mataku yang terasa agak berat. Tanpa kusadari, entah jam berapa aku tertidur malam itu.

Paginya handphoneku berdering sangat keras. Aku sengaja menaikan volume di handphoneku semalam, agar aku terbangun jika ada pesan atau panggilan yang masuk. Ku melihat ada ikon pesan di layar Handphoneku itu, namun di atas gambar amplop di layar kecil itu ada angka 07.15.

“Ya ampun! Aku kesiangan!” sentakku segera meluncur dari tempat tidur.

Hari itu aku terlambat datang ke sekolah. Waktu lima belas menit tak cukup bagiku untuk mempersiapkan segala kebutuhan sekolah di senin pagi itu. Buku pelajaran yang belum masuk kedalam tasku, pakaian sekolah yang belum disetrika, dan aku tak makan sarapan apapun di senin pagi hari itu. Dan pada jam istirahat di sekolah hari itu, aku hanya berdiam di dalam kelas, mengerjakan tugas yang belum selesai, karena lupa membuat tugas sekolah yang seharusnya ku selesaikan di rumah.

Saat lonceng sekolah berdenting menandakan waktu pulang, aku segera berlarian keluar ruangan. Perutku terasa lapar karena belum makan apapun sejak dari pagi. Namun, ternyata Vika telah berdiri di depan kelasnya, menatap tajam ke arahku. Aku menghampirinya, karena aku tahu dia pasti sedang menungguku. Aku belum sempat menemuinya di hari itu.

“Nunggu siapa?” tanyaku berpura-pura.

“Nunggu seseorang!” jawabnya dengan kesal.

“Siapa tuh orangnya?” balasku tersenyum.

“Ya jelas kamulah orangnya!

“Ooo... Tapi kenapa masih cemberut? Aku kan udah ada di sini! Lama-lama pasang muka kayak gitu, nanti manisnya hilang lo!

Vika merapikan rambut lurusnya yang menjuntai hingga ke punggung. Poninya yang menyatu dengan alis, kembali dirapikannya dengan jepitan kupu-kupu yang hampir tergelincir. Sedikit pujian dariku tadi, mampu menghadirkan senyuman manis yang cukup lama di bibir tipisnya.

“Kenapa pesanku nggak di balas?” tanya Vika kemudian.

“Kan nggak ada pulsa.

“Aku udah isi lagi pagi tadi. Kenapa nggak balas juga? Padahal aku mau ngajak makan pas jam istirahat.

Aku meraba-raba kantong celanaku. “Ya ampun! Hpku ketinggalan di rumah! tadi pagi aku bangunnya kesiangan, jadi buru-buru aja berangkatnya. Jadi lupa deh bawa hp,” jelasku tersenyum hambar.

“Kok bisa kesiangan? Mama kamu nggak bangunin?

“Orang tuaku lagi nggak di rumah. Beliau pergi ke rumah bibi! ada acara keluarga di sana. Aku sendirian aja di rumah.

“Mmmm… “ Vika kembali tersenyum. “Maaf ya, semalam!” ucapnya.

“Maaf buat apa?” tanyaku bingung.

“Semalam aku nggak bisa ngabarin kamu, soalnya pas mau keluar lagi buat ngecek pulsamu yang belum masuk, aku ketahuan mama. Hpku diambil! Pasti gara-gara nunggu pesan dari aku, kamu tidurnya jadi kemalaman.

“Nggak juga kok! Eh! Kamu ngisi pulsa aku lagi?

“Iya,” Vika mengangguk. Sebagian poninya kembali menyentuh alisnya yang tebal.

“Pulsa semalam gimana?

“Hehehe.. Salah nomer,” kekehnya menutup mulut.

“Kok bisa?

“Semalam aku buru-buru aja nulis nomermu Fan. Aku takut ketahuan mama keluar malam-malam. Pas ku cek pagi, rupanya pemilik M-kios salah baca angka yang ku tulis cepat-cepat. Angka empat di belakang nomermu, dikiranya angka sembilan,” terangnya.

“Jadi?

“Ya, ngisi lagi!” jawabnya tersenyum tanpa beban sedikitpun.

“Orangnya nggak mau ganti?

“Ya nggak lah! Salah aku juga kan? Kenapa main pergi aja sebelum memastikan nomernya!

“Tapi..,

“Udahlah! Nggak usah dipikirin. Ayo! kamu belum makan kan? Aku lihat kamu nggak keluar-keluar dari kelas sejak pagi,” potongnya tak mempermasalahkan yang terjadi, meskipun uang dua puluh lima ribu di zaman itu, bisa untuk membeli sepuluh piring makan siang di kantin sekolah.

Setelah makan siang di kantin sekolah bersama Vika, aku kembali menuju rumah. Kubaringkan tubuhku di atas sofa ruang tamu. Dengan mata terpejam, kukosongkan pikiran yang sesak oleh kepadatan tugas pelajaran yang semakin menumpuk menjelang ujian.

Tiba-tiba, cerita Vika siang itu kembali singgah di benakku. Ku kembali melipat pelupuk mata, teringat kata-kata Vika yang salah menulis nomor.

“Kenapa aku tidak mencoba menghubungi nomer itu? Mungkin saja orang itu mau balikin pulsanya?” Sebuah pemikiran terlintas di pikiranku. Meski terasa mustahil, aku sangat tertarik untuk mencobanya.

Segeraku berlari ke kamar, mengambil handphone yang tergeletak di atas kasur. Kucoba menghubungi nomor yang beda satu angka dengan nomorku itu.

“Halo, Assalamualaikum!” Suara lembut mengalun perlahan di speaker kecil handphoneku. Dengan intonasi yang tenang, suaranya terasa hangat dan menenangkan. Ada kedalaman emosional yang menyentuh hati dari alunan suara itu.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Wina Yuliani

Wina Yuliani

hadeuh d ajak bernostalgia bersama hp nokia,
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..

2024-10-09

1

lihat semua
Episodes
1 Misteri Kematian Arfan Dinata
2 Chapter Satu Buku Itu
3 Chapter Kedua Buku Itu
4 Chapter Ketiga Buku Itu
5 Satpam Penjaga Di Malam Pembunuhan
6 Chapter Keempat Buku Itu
7 Chapter Kelima Buku Itu
8 Chapter Keenam Buku Itu
9 Chapter Ketujuh Buku Itu
10 Bekas Jahitan di Alis Sebelah Kiri
11 Cinta Lama Dibalik Pembunuhan Baru
12 Chapter Kedelapan Buku Itu
13 Chapter Kesembilan Buku Itu
14 Chapter Kesepuluh Buku Itu
15 Fakta Baru Dari Cerita Lama
16 Chapter Kesebelas Buku Itu
17 Chapter Kedua Belas Buku Itu
18 Chapter Ketiga Belas Buku Itu
19 Gadis Bercadar Di Lantai Atas
20 Chapter Ke-14 Buku Itu (Wajah Di 9 tahun yang Lalu)
21 Chapter Ke-15 Buku Itu
22 Chapter ke-16 Buku Itu
23 Lirikan Diam-Diam
24 Chapter Ke-17 Buku Itu
25 Chapter Ke-18 Buku Itu
26 Chapter Ke-19 Buku Itu
27 Istri Pertama Bapak Arfan Dinata
28 Chapter Ke-20 Buku Itu
29 Chapter Ke-21 Buku Itu
30 Chapter Ke-22 Buku Itu
31 Jejak Sepatu Di Depan Rumah Lama
32 Di Balik Sikap Dingin Mekdi
33 Jalan Panjang Menuju Lengayang
34 Penyelidikan Yang Masih Kabur
35 Rumah Masa Lalu
36 Perkampungan Karet
37 Cerita Pemilik Warung
38 Penginapan Gadis Bercadar
39 Dua Mata Yang Kebiru-Biruan
40 Asal Muasal Harta Kepala Sekolah
41 Dua Orang Yang Memasuki Penginapan
42 Pemilik Bengkel Yang Mengenal Dini
43 Puing-Puing Laptop Di Atas Kasur
44 Chip Pelacak di Area Parkir
45 Sesosok Mayat Di Tengah Hutan
46 Kasus Pembunuhan Baru
47 Pelaku Dari Masa Lalu
48 Jejak Terakhir Di Depan Bengkel
49 Jebakan Tepi Hutan Karet
50 Pertemuan di Ruang Rumah Sakit
51 Dua Mata Di Relung Hati
52 Menyusuri Jejak Zetha
53 Dua Mata Itu Mulai Menuai Rindu
54 Surat Wasiat Bapak Arfan Dinata
55 Hari Itu Di Depan Bengkel
56 Cerita Dua Puluh Tiga Tahun Yang Lalu
57 Langkah Yang Masih Terhalang
Episodes

Updated 57 Episodes

1
Misteri Kematian Arfan Dinata
2
Chapter Satu Buku Itu
3
Chapter Kedua Buku Itu
4
Chapter Ketiga Buku Itu
5
Satpam Penjaga Di Malam Pembunuhan
6
Chapter Keempat Buku Itu
7
Chapter Kelima Buku Itu
8
Chapter Keenam Buku Itu
9
Chapter Ketujuh Buku Itu
10
Bekas Jahitan di Alis Sebelah Kiri
11
Cinta Lama Dibalik Pembunuhan Baru
12
Chapter Kedelapan Buku Itu
13
Chapter Kesembilan Buku Itu
14
Chapter Kesepuluh Buku Itu
15
Fakta Baru Dari Cerita Lama
16
Chapter Kesebelas Buku Itu
17
Chapter Kedua Belas Buku Itu
18
Chapter Ketiga Belas Buku Itu
19
Gadis Bercadar Di Lantai Atas
20
Chapter Ke-14 Buku Itu (Wajah Di 9 tahun yang Lalu)
21
Chapter Ke-15 Buku Itu
22
Chapter ke-16 Buku Itu
23
Lirikan Diam-Diam
24
Chapter Ke-17 Buku Itu
25
Chapter Ke-18 Buku Itu
26
Chapter Ke-19 Buku Itu
27
Istri Pertama Bapak Arfan Dinata
28
Chapter Ke-20 Buku Itu
29
Chapter Ke-21 Buku Itu
30
Chapter Ke-22 Buku Itu
31
Jejak Sepatu Di Depan Rumah Lama
32
Di Balik Sikap Dingin Mekdi
33
Jalan Panjang Menuju Lengayang
34
Penyelidikan Yang Masih Kabur
35
Rumah Masa Lalu
36
Perkampungan Karet
37
Cerita Pemilik Warung
38
Penginapan Gadis Bercadar
39
Dua Mata Yang Kebiru-Biruan
40
Asal Muasal Harta Kepala Sekolah
41
Dua Orang Yang Memasuki Penginapan
42
Pemilik Bengkel Yang Mengenal Dini
43
Puing-Puing Laptop Di Atas Kasur
44
Chip Pelacak di Area Parkir
45
Sesosok Mayat Di Tengah Hutan
46
Kasus Pembunuhan Baru
47
Pelaku Dari Masa Lalu
48
Jejak Terakhir Di Depan Bengkel
49
Jebakan Tepi Hutan Karet
50
Pertemuan di Ruang Rumah Sakit
51
Dua Mata Di Relung Hati
52
Menyusuri Jejak Zetha
53
Dua Mata Itu Mulai Menuai Rindu
54
Surat Wasiat Bapak Arfan Dinata
55
Hari Itu Di Depan Bengkel
56
Cerita Dua Puluh Tiga Tahun Yang Lalu
57
Langkah Yang Masih Terhalang

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!