Setelah matahari mulai terbenam di cakrawala, pemakaman ditutup dengan lantunan doa dari para tetua keagamaan di pelataran istana Lianyun. Setelah selesai, ribuan warga yang berkumpul mulai beranjak satu per satu meninggalkan lokasi, menyisakan beberapa anggota keluarga Yao yang masih berkumpul di sana.
Salah satunya adalah Yao Liangcheng, putra bungsu dari Yao Lin itu terlihat mengepalkan kedua tangan ketika mendengarkan nasehat dari ibu tercintanya, Li Mei.
“Aku sama sekali tidak ada niatan untuk menjadi Kaisar!” tegas Yao Liangcheng. Suaranya mampu didengar oleh siapa pun yang masih berada di sekitar pelataran.
Li Mei hanya bisa mengelus bahu putranya, memijatnya lembut ketika matanya berkeliling, berharap tidak ada pasang telinga yang mendengar percakapan mereka. "Ibu mengerti, tapi sayangku... menjadi kaisar bukanlah sebuah pilihan. Ini soal tanggungjawab. Ayahmu membutuhkan seorang penerus, dan kakak tirimu bukanlah jawabannya. Dia tidak kuat... tidak pintar dan tidak tangguh sepertimu."
Liangcheng hanya mendengus. Dari kecil, ia dididik dengan mimpi besar oleh orang tuanya, mimpi menjadi Kaisar yang hebat. Yao Chen, di sisi lain, selalu dianggap tak layak oleh Li Mei, karena kelemahan fisiknya yang tak bisa berkultivasi dan mendiang ibunya yang bukan siapa-siapa. Bagi Li Mei, putra kandungnya jelas lebih ideal, lebih pantas untuk mengenakan mahkota Kerajaan Lianyun.
Akan tetapi, Yao Lin bukanlah ayah yang pilih kasih, dia juga mendidik putra sulungnya dengan cara yang sama. Hingga mereka berdua tumbuh dewasa, keputusan tegas akhirnya dia buat, dan hasilnya tidak akan pernah membuat senyuman istrinya terlihat sama seperti dulu, tidak lagi tersenyum tulus kepadanya. Yao Lin lebih memilih Yao Chen sebagai penerusnya dan Li Mei sangat-sangat tidak menyukai keputusan itu.
Mengucapkan perkataan yang sama berulangkali tidak akan melunakkan hati anaknya. Yao Liangcheng memang selalu seperti itu, dia hanya akan melakukan hal yang ia sukai, keras kepala, seperti batu karang di dasar samudra.
Terlihat di pelataran istana malam ini, pemuda itu hanya duduk disana seperti anak kecil yang sedang diomeli ibunya. Bagusnya, Li Mei sangat menyayangi putranya tersebut, tidak ada lagi yang bisa dia paksakan selagi anaknya masih tetap bersikukuh dengan pendiriannya.
Suara burung gagak terdengar parau di bawah sinar rembulan. Angin yang bertiup kencang membuka paksa beberapa jendela kayu istana. Hanya mereka berdua yang tersisa disana, orang-orang lainnya telah merapat ke sudut wang fu yang memiliki banyak lentera penerangan.
"Apa ada barang yang tertinggal?"
"Paman? Tidak... tidak ada," Yao Liangcheng terkesiap setelah Yao Fenlong mendekat dari arah yang tidak dia sangka.
"Aku sudah melihat satu malam ini," kata sang Jenderal dengan nada dingin seperti biasanya.
"Lagi?" Belum selesai berbicara, Li Mei lebih dulu meninggikan nada bicaranya. "Bagaimana bisa harga diri Lianyun terus di injak-injak seperti ini? Mereka hanyalah sekumpulan gadis, Yao Fenlong. Sekumpulan gadis!" tegasnya lagi.
Ucapan tidak santun Li Mei lantas membuat dua prajurit di belakang Yao Fenlong saling melirik. Pada kenyataannya, perkataan istri kedua Yao Lin itu tidak sepenuhnya keliru, gadis berpisau memang hanya sekumpulan gadis, namun mereka adalah gadis misterius yang ditugaskan langsung Hua Huifang untuk menghancurkan Kerajaan Lianyun dari dalam. Sayangnya, eksistensi gadis berpisau yang berkeliaran di kerajaan hanya mereka masukkan ke dalam daftar bandit paling dicari, bukan dicatat sebagai salah satu anggota dari Kultus Iblis.
Ini bukanlah masalah yang sepele, sudah jelas mereka bukan gadis biasa, mereka adalah kultivator sekaligus pembunuh berdarah dingin. Memasukkan mereka ke daftar bandit adalah hal terkonyol yang pernah dilakukan Yao Fenlong.
Mendengar gempuran omelan ibu-ibu, Yao Fenlong tetap berdiri tegap tanpa mengalihkan pandangan matanya. "Jangan khawatir, pasukanku sedang mengatasinya," ujarnya sambil berdehem sesekali. "Walaupun begitu, aku harap kalian segera masuk dan mengunci pintu."
"Paman, apakah Mingzhe juga ikut?" celetuk Yao Liangcheng begitu antusias.
Dengan wajah tanpa ekspresi, Yao Fenlong kembali berdehem lalu menjawab, "Ya, dia selalu aktif memimpin patroli belakangan ini."
Mendengar berita itu, Liangcheng hampir bangkit. "Kalau begitu aku juga ik—"
"Tidak!" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Li Mei memotong. "Tugasmu disini adalah untuk tetap tinggal di wang fu, kecuali ada perang besar seperti kemarin. Kau tidak punya urusan dengan gadis-gadis bandit itu, Liangcheng. Ibu tidak akan membiarkanmu mengambil risiko seperti itu. Mengerti?”
"Tapi Bu... usiaku sudah dua puluh satu tahun, aku sudah dewasa."
"Aku rasa ibumu ada benarnya." Ucapan Yao Fenlong terdengar singkat, namun memutus harapan Yao Liangcheng untuk dapat bergabung dengan Yao Mingzhe mengejar gadis berpisau. "Mingzhe sudah cukup untuk menangani masalah ini, kau lebih baik menjaga lingkungan istana agar tetap aman. Karena kakakmu pasti akan kerepotan jika melakukannya seorang diri." Mata Yao Fenlong beralih ke area balkon wang fu, dimana Yao Chen dan istrinya sedang asik berbincang, selingan canda tawa terdengar samar, meninggalkan senyuman kecut di wajah Yao Liangcheng.
Dengan wajah bermuram durja, Yao Liangcheng berpaling meninggalkan mereka berdua. "Baiklah paman," ujarnya. "Malam ini aku akan berpatroli di istana."
Melihat anaknya masuk, Li Mei akhirnya dapat bernafas lega. Bagaimana pun caranya, putranya harus menjadi kaisar suatu saat nanti. Itulah kalimat doa yang selalu ia panjatkan setiap malam.
...[Yao Chen : Bayangan Iblis di Istana Lianyun]...
Delapan prajurit yang mengikutinya menegakkan badan, mengeratkan pegangan pada tombak, meskipun tubuh mereka mulai letih, mata mereka tetap terjaga oleh rasa tanggungjawab yang diliputi kewaspadaan.
"Yang Mulia, sudah larut. Mungkin sebaiknya kita kembali ke istana," ujar salah satu prajurit, suaranya gemetar.
Yao Mingzhe berhenti sejenak, lalu menatap prajurit itu dengan sorot mata tajam seperti pedang yang tak kasat mata. "Kembali? Apa kau takut pada sekumpulan gadis bandit itu? Padahal malam ini kita baru melihat satu." Cara bicaranya tegas namun dingin, mengunci rahang prajurit itu.
"Tapi Yang Mulia, ini sudah hampir tengah malam, kondisi ini bisa menjadi perangkap bagi kita. Mereka, gadis-gadis itu, lebih mengenal setiap sudut kerajaan dibandingkan kita. Jenderal Yao Fenlong juga telah menyuruh kita untuk pulang sebelum tengah malam."
Mingzhe hanya tertawa kecil, tawa yang memperlihatkan salah satu gigi taringnya. "Jangan menjadi penakut. Aku akan tetap berada di sini sampai masalah ini selesai. Jika kalian ingin pulang, silakan."
Teguran halusnya berakar dari kebanggaan seorang Yao, seseorang yang tak kenal gentar meskipun dikelilingi bayang-bayang kematian. Para prajurit itu akhirnya bungkam, tak berani lagi menyuarakan keberatan. Mereka hanya dapat mengikuti, menundukkan kepala sambil berdoa, berharap Dewa tidak memanggilnya malam ini.
Di depan mereka, sebuah bangunan tua menjulang, lumbung padi yang telah lama ditinggalkan. Temboknya yang menghitam oleh lumut terlihat merana di bawah sinar rembulan.
Satu bayangan melesat dan hilang masuk ke lumbung. Coretan tinta hitam yang menodai dinding lumbung menjadi bukti nyata, jika si gadis baru saja masuk ke dalam bangunan tua itu.
Mingzhe menghentikan langkahnya sejenak, matanya menyipit. "Masuklah," perintahnya. Beberapa prajurit terdiam, saling menatap, namun mereka tidak punya pilihan lain.
Mereka masuk ke dalam lumbung dengan tombak dan pedang yang terhunus waspada. Udara di dalam terasa begitu lembap, seperti diselimuti oleh hawa dingin yang bukan berasal dari dinginnya malam.
"Yang Mulia... ada sesuatu yang tidak beres..." bisik salah seorang prajurit.
"Tenang. Mereka hanya gadis."
Namun saat kata-kata itu terucap, bayangan yang bergerak mulai menyerang. Serangan mendadak datang begitu cepat, lebih cepat dari yang dapat mereka tangkap dengan mata telanjang. Seorang prajurit terlempar ke dinding, lehernya teriris dengan begitu rapi hingga darahnya terpancar ke udara sebelum tubuhnya merosot, bersandarkan dinding.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
David Muchsin Syahril
lanjut..
2024-12-30
1