Di bawah bayangan megah Gunung Baishan, Kerajaan Lianyun berdiri bak seekor naga yang menjaga setiap lembah di sekitarnya.
Letak strategis yang berada tepat di jantung jalur perdagangan antara Utara dan Selatan, ditambah cerita tentang Bunga Keabadian itu... menjadi magnet bagi kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Di tengah padang hijau yang bergelombang cembung ke langit dan barisan tebing batu yang menjulang tinggi di balut kabut, tanah ini dulunya pernah damai, namun sayangnya, belum lama ini kerap dikotori oleh debu pertempuran dan siul jerit kematian.
Musuh mereka barusan, Kerajaan Qingfeng, telah merencanakan serangan ini dengan matang. Selama bertahun-tahun, dendam yang mengalir dari perbatasan yang disengketakan dan keserakahan atas kekayaan alam Lianyun semakin menumpuk, hingga akhirnya meledak dalam satu ledakan pertempuran.
Alhasil Qingfeng mengutus jenderal terbaik mereka, Lian Xu, demi merebut kekuasaan atas Lianyun. Mereka tak hanya menginginkan tanah, tetapi juga ingin menghancurkan nama, sejarah, hingga harapan rakyat Lianyun, terutama Dinasti Yao, selaku pemegang kekuasaan tertinggi di kerajaan itu.
Selama berminggu-minggu, medan pertempuran berubah menjadi lautan darah. Pasukan Lianyun, meskipun terbiasa dengan kerasnya pegunungan, mulai goyah di bawah gempuran musuh. Benteng mereka yang kokoh bergetar, ribuan tentara kehilangan nyawanya, lantaran diserbu dari segala penjuru. Namun mereka mampu bertahan, karena Kaisar Yao Zhenghua pernah berkata, bahwa kekalahan bukanlah sebuah pilihan, kita hidup di Baishan atau mati.
Dalam bising pertempuran besar itu, langit yang mendung kini menjadi pertanda akhir, diikuti oleh hujan deras yang menyapu darah, sekaligus menjadi saksi bisu bagi sepuluh ribu lebih pasukan Qingfeng yang akhirnya ditarik mundur.
...[Yao Chen : Bayangan Iblis di Istana Lianyun]...
Beberapa waktu setelah perang besar terjadi, barak utama Kerajaan Lianyun kini dipenuhi oleh sorak kemenangan. Yao Mingzhe, dengan wajah kalem, duduk berhadapan dengan Yao Liangcheng, adik sepupunya yang terlihat berapi-api.
“Aku yakin mereka semua gentar ketika melihatku di garis depan,” dalam posisi bertelanjang dada, pemuda dengan kain jin hitam yang terikat kuat oleh tali renda di kepala itu berkata dengan tawa sombong, memamerkan pedang berkilauan di genggamannya. “Kerajaan Qingfeng tak pernah tahu apa yang menghantam mereka. Aku menghabisi pasukan kavaleri mereka seperti sekumpulan serangga. Mereka bukanlah tandingan ku!”
Di depan saudaranya yang berdiri bangga, Yao Mingzhe hanya membalas dengan senyuman tipis lalu menaikkan salah satu kakinya ke atas meja kecil. Melihat luka ringan di kaki Yao Mingzhe, seorang perawat wanita segera membasuh dan membalutnya dengan kain.
“Kau selalu saja berlebihan, Yao Liangcheng. Lantas, bagaimana nasib saudara kita itu? Aku belum melihatnya kembali ke barak.”
Yao Liangcheng tertawa keras, menahan perut. Membuat dua perawat wanita di kanan-kiri, kesulitan untuk mengobati luka di punggungnya. “Saudara kita? Yao Chen? Kak, yang benar saja, dia mungkin sudah terkubur bersama pasukannya! Aku melihat seluruh divisinya lenyap saat gelombang serangan pertama menghantam. Jika dia masih hidup, itu akan menjadi sebuah keajaiban yang lebih besar dari apapun. Bahkan Dewa Surgawi pun tak akan sanggup bertahan dari hujan panah sebanyak itu."
"Itu salahmu Yao Liangcheng... ." Yao Mingzhe juga terlihat menahan tawa di tengah kejaimannya. "Bagaimana kita menceritakan ini pada paman besar Yao Lin?"
Yao Liangcheng tertegun sejenak, menatap kilauan di pedangnya sebelum kembali tersenyum. "Kita ceritakan saja pada ayahku jika putra sulungnya itu tewas secara terhormat."
"Mulutmu jelek sekali," balas Yao Mingzhe sambil melempar saudaranya itu dengan segenggam kain yang kotor.
Saat tawa Yao Liangcheng menggema, pintu besar barak terbuka dengan kekuatan yang membuat mereka berdua terdiam. Yao Fenlong melangkah masuk, wajahnya tegas tanpa emosi. Mata tajamnya memandang lurus ke depan, mengabaikan tatapan semua orang, termasuk kedua pemuda itu. Yao Mingzhe yang menyadari kehadirannya, lantas berdiri, mendekati ayahnya dengan hormat.
“Ayah, apakah semua musuh telah mundur?” Yao Mingzhe bertanya, tapi Yao Fenlong tidak segera menjawab. Jenderal berusia 50-an itu terus melangkah menuju ruangan pribadinya, diikuti bayangan besar tubuhnya yang masih berbalut zirah, menelan cahaya masuk dari luar.
“Yao Lin dan Guangyao sedang membersihkan pasukan Qingfeng yang tertinggal,” jawabnya tanpa menoleh. "Aku akan menulis laporan untuk Kaisar Yao Zhenghua."
Yao Mingzhe hanya terdiam, ingin bertanya lebih lanjut, namun ia terlebih dahulu melihat sosok lain yang muncul di ambang pintu. Sosok yang membuat nafasnya tersendat. Begitu pula dengan Yao Liangcheng yang sebelumnya penuh tawa, kini memucat, rona merah diwajahnya terlihat begitu membara. Ditambah tatapan tajam yang tak bisa beranjak sedikit pun dari saudara tirinya itu.
Hua Huifang, perlahan masuk, memapah suaminya yang berlumuran darah dan kotoran.
"Hua Huifa— maksudku... istriku," panggil Yao Chen. "Aku baik-baik saja, ini hanya luka goresan kecil ketika aku tadi tersandung."
Namun istrinya tidak menanggapi perkataannya, ia justru membalas tatapan tajam ke arah Yao Mingzhe dan Yao Liangcheng.
Yao Chen merasakan nafas berat Hua Huifang di pundaknya, namun yang lebih berat lagi adalah beban dari tatapan saudara-saudaranya. Tangannya bergetar ketika mencoba menopang tubuhnya, tapi rasa sakit yang menjalar di kaki memaksanya untuk tetap bergantung pada istrinya. Tubuh barunya terlalu lemah.
"Kau selamat," suara Yao Mingzhe lirih namun menusuk. "Si bodoh yang tak pernah belajar dari kesalahan rupanya masih beruntung kali ini."
Yao Chen tertawa kecil dalam hati. Mingzhe, selalu saja penuh sarkasme... Sepertinya kau memang cerminan dari sebuah kebijaksanaan yang cacat. Aku sudah mengetahui bagaimana dirimu berakhir di masa depan. Walaupun awalnya terasa mengerikan, berpindah tubuh ke dalam dunia novel favorit ku ternyata lebih menarik dari yang aku kira.
"Beruntung?" Hua Huifang masih melotot dengan tatapan yang sama ke arah Mingzhe, seolah melempar tombak guntur dari matanya. "Kau sepertinya lupa, Mingzhe. Sejak awal suamiku tidak pernah bergantung pada keberuntungan. Dia punya keahlian yang tidak kau miliki. Kau hanya belum menyadarinya. Terlebih lagi, Kaisar Yao Lin akan melantiknya menjadi penerusnya suatu hari nanti."
Yao Liangcheng, yang berdiri tak jauh, mendengus sambil mengayunkan pedangnya. "Yao Chen menjadi Kaisar? Wow! Jika Yao Chen yang memimpin, aku yakin seluruh divisi akan ikut tersandung bersamanya. Itulah kenapa mereka bisa mati begitu cepat!"
"Lagipula... keahlian apa yang dimiliki dari seorang pangeran yang tidak dapat berkultivasi, aku harap kau masih hidup ketika kita menjarah ke benteng Kerajaan Qingfeng musim depan."
Yao Chen bisa merasakan darahnya mendidih, bukan karena hinaan itu, namun karena cara Liangcheng mengatakannya dan bisa-bisanya tebakannya benar jika dirinya baru saja tersandung—membuatnya malu. Selain itu, cecunguk yang satu ini juga tidak memanggilnya kakak. Yao Chen benar-benar ditenggelamkan oleh kerabatnya sendiri. Selalu begitu.
"Saudara kita ini memang spesial," Yao Mingzhe melipat tangannya di dada. "Tidak semua orang bisa dilahirkan cacat, kan?"
“Tapi sudahlah, Liangcheng. Kita tak perlu memperkeruh suasana bahagia ini. Bagaimanapun, Yao Chen masih di sini. Aku yakin ada alasan kuat dari Dewa mengapa dia selamat... walaupun agak sulit dipercaya. Sekarang biarkan mereka lewat.”
...[Yao Chen : Bayangan Iblis di Istana Lianyun]...
Waktu berlalu dengan cepat, membawa desir kedamaian malam yang perlahan menguasai seluruh istana. Langit yang semula dihiasi dengan semburat jingga, kini telah berubah menjadi gelap, hanya diterangi oleh sepotong bulan sabit yang menggantung di cakrawala.
Setelah melewati hari yang begitu melelahkan, baik secara fisik, maupun mental, Yao Chen akhirnya dapat menikmati waktu untuk dirinya sendiri, setidaknya mendapatkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan raga barunya.
Tubuhnya kini berbaring santai diatas kasur mewah yang dipenuhi bantal satin. Seprei berbahan sutra segera menyentuh kulitnya, wangi dari Bunga Xianglan segera tercium, ditambah teksturnya yang lebih lembut dari bulu domba, tentu memberikan kenyamanan yang tiada duanya.
"Ini hari pertama yang gila," bisiknya, sambil terus memutar telunjuknya ke langit-langit.“Dunia ini penuh dengan kekejaman, diluar maupun di dalam kastil. Sebuah tamparan keras untuk seseorang yang telah terbiasa duduk di atas kursi roda sepertiku."
Matanya menerawang ke sekeliling ruangan. Segala detailnya terpahat sempurna, tirai emas, meja kayu dengan ukiran naga, perabotan mahal, semua jauh di luar jangkauan hidupnya di dunia sebelumnya.
"Lucu sekali," pikir Yao Chen, "Setidaknya kamar ini lebih besar daripada apartemen kecilku dulu. Haish... kenapa aku tidak jadi tokoh utamanya saja... kenapa harus jadi Yao Chen."
Disaat yang sama, pikirannya terhenti sejenak, setelah terdengar suara langkah kaki berjalan mendekati pintu kamar. Awalnya, ia mengira itu hanyalah salah satu pelayan yang biasa lewat, tetapi ada sesuatu yang berbeda dari suara langkah itu... terdengar lebih ringan, lebih anggun.
Yao Chen segera menoleh ke arah pintu, dan pemandangan di depannya membuat darahnya mendesir kencang. Hua Huifang muncul di ambang pintu, tubuhnya yang ramping sempurna hanya diselimuti kain tipis putih yang nyaris tidak menutupi apapun. Rambutnya tergerai di bahu, dan mata yang terkesan mengintimidasi itu memandang lurus ke arah Yao Chen, menerobos langsung ke dalam jiwa, membuat sekujur tubuhnya terasa panas.
"Ini buruk... sangat buruk, bahkan lebih menyeramkan dari menghadapi seratus Yao Fenlong sekaligus," pikir Yao Chen dalam hati. Dia tahu melawan seratus Yao Fenlong pun adalah hal tergila dalam hidupnya. Namun ketika teringat bagaimana cara tokoh Yao Chen mati di dalam novel, momen yang kini berjalan, terasa begitu dekat dengan kematiannya.
Tanpa berpikir jernih, dia melompat dari kasur, tubuhnya yang lemah dan belum terbiasa langsung terhuyung. Selimut yang menjerat kaki membuatnya tersandung, dan dengan gerakan yang sama sekali tidak keren, Yao Chen terjerembab mencium lantai dengan bunyi yang begitu keras, menimbulkan kerutan di kening istrinya.
“Benarkah... ini suamiku?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
David Muchsin Syahril
keren ceritanya...
2024-12-30
1
Alan
Seru banget, ayo cepat update next chapter nya thor! 🤩
2024-09-22
1