Cuaca pagi ini terasa sangat dingin. Mungkin karena ini awal Desember. Tidak, aku tidak sedang di luar negeri. Aku sedang di Indonesia, tepatnya di Bandung.
Pagi ini ada seorang penulis yang datang. Dia ingin menerbitkan karyanya dan dia juga bilang ingin memperbaiki sedikit tulisannya melalui aku.
Ya, aku adalah seorang penerbit.
Aku membantunya. Kami berbicara cukup lama sambil melihat isi naskahnya.
Putraku Galvin tiba-tiba masuk dan mengguncangkan lenganku. "Mama, ada tamu."
Penulis yang duduk bersamaku mencubit gemas pipi bulat putraku.
"Mama akan ke depan. Galvin di sini bersama Kakak cantik, ya."
Setelah putraku mengangguk, aku permisi sebentar pada penulis itu lalu meninggalkan Galvin bersamanya.
Sesampainya di pintu depan yang sedikit terbuka, aku menarik knop pintu dan terkejut melihat siapa yang datang.
Wanita cantik itu tersenyum padaku. Dia tidak datang sendirian. Ada dua anak kecil di sampingnya. Satu anak perempuan dan satu laki-laki.
"Meishy, apa kabar?" Wanita itu memelukku dengan erat. Aku pun membalas pelukannya. "Kabarku baik, bagaimana denganmu, Shica?"
Sahabat SMA-ku ini melepaskan pelukannya. Dia menatapku. "Aku juga baik."
Shica menyuruh kedua anaknya bersalaman denganku. Mereka sangat manis dan penurut.
"Putra-putrimu?" Tanyaku pada Shica. Mengangguk adalah jawabannya.
Aku tersenyum. "Anak pintar. Shica, kenapa tidak bilang-bilang mau kemari?"
Shica tertawa. "Suamiku ada urusan mendadak dengan rekan kerjanya di Bandung. Kami langsung datang dari Paris kemari dan akan pulang lusa nanti. Aku menyempatkan diri datang ke rumahmu untuk menemuimu. Aku tidak bilang karena ini kejutan."
Aku tersenyum melihat Shica yang masih sama seperti dulu. Dia tampak bahagia dengan senyuman cerahnya. Aku merindukan masa SMA-ku.
"Masuklah." Aku mempersilakan mereka masuk.
Pandangan Shica tertuju ke setiap sudut ruangan. Ini adalah tempatku bekerja yang bersebelahan dengan rumahku. Tampaknya Shica terkagum-kagum.
"Kau benar-benar hebat, Meishy. Dulu kau sangat ingin menerbitkan karya-karyamu yang keren. Bukan hanya menjadi seorang penulis, sekarang kau sudah menjadi seorang penerbit. Aku sangat bangga memiliki teman sepertimu." Shica memeluk lenganku.
Aku terkekeh. "Terima kasih."
Shica tersenyum. "Sebenarnya aku cukup kesulitan mencari alamat rumahmu. Untung saja banyak orang yang mengenali penerbit terkenal ini."
Shica memang berlebihan ketika memujiku. Dari dulu dia memang seperti itu.
"Aku kecewa padamu. Kenapa tidak mengundangku saat pernikahanmu dengan suamimu? Aku masih sedih, karena kau juga tidak hadir di pernikahanku." Tanya Shica dengan nada setengah menggerutu.
"Maafkan aku. Pernikahan kami digelar dengan sederhana. Aku juga sangat menyesal, karena tidak bisa hadir ke pernikahanmu. Aku minta maaf, Shica." Aku memeluk lengannya.
Shica tersenyum. "Baiklah, tidak apa-apa. Yang penting sekarang kita sudah memiliki kehidupan yang bahagia."
Aku tersenyum menanggapinya.
Shica kembali bersuara, "Aku senang sekali melihat putramu yang membuka pintu. Tampaknya putramu seumuran dengan putraku."
"Mungkin iya, aku akan memanggilnya."
Galvin dan penulis itu masih di sana. Aku menggerakkan tanganku agar Galvin mendekat. Dia mengerti dan menghampiri kami.
"Hai, Deva sama Dera ayo salaman." Shica mengusap rambut kedua anaknya.
Aku tersenyum sambil mengusap bahu putraku. "Galvin, ayo sapa mereka."
"Halo."
"Hai."
"Mereka berbicara bahasa Indonesia?" Tanyaku pada Shica yang langsung dijawab dengan anggukkan.
"Mereka harus bisa bahasa kita, meskipun mereka lahir dan tinggal di Paris."
Aku sangat mengagumi Shica yang begitu mencintai tanah airnya, meskipun dia berdarah campuran dan tinggal di luar negeri.
"Sepertinya aku mengganggumu, ya. Aku ingin membaca beberapa buku dan menunggumu." Shica berlalu ke rak buku.
Aku pun kembali menemui penulis yang sempat aku tinggalkan. Sebelumnya aku menyuruh pengasuhku untuk menjaga Galvin, Aldevaro, dan Alderani.
Setelah selesai berbicara dengan penulis, aku menghampiri Shica. "Maaf membuatmu bosan."
"Tidak apa-apa. Aku tidak bosan, karena aku membaca buku-buku ini." Shica menunjukkan buku yang sedang dibacanya.
Aku tersenyum tipis mengiyakan.
"Yang tadi itu penulis, ya?" Tanya Shica. Aku mengangguk. "Iya, kami sedikit berbincang mengenai tulisan yang akan diterbitkannya di sini."
"Wah, kalian bertukar pikiran?" Tanya Shica.
"Ada beberapa penulis yang kesulitan mengolah tulisannya. Mereka sering berbagi denganku. Karena dulunya aku juga penulis, aku membantu proses penerbitan tulisan mereka juga."
"Pantas saja kau sibuk sekali sampai melupakanku." Shica memasang ekspresi sedih membuatku ingin tertawa.
"Maaf," ucapku.
Shica terkekeh.
Hening.
Aku sedang tenggelam dalam pikiranku. Sebenarnya aku merasa canggung pada Shica, meskipun sahabatku ini sedang berusaha mencairkan suasana canggung ini.
Sejujurnya kami cukup lama tidak bertemu. Masa SMA yang terlalu singkat membuatku menyesal, kenapa aku tidak mengenalnya dari dulu.
Shica adalah orang yang baik. Meskipun dia berasal dari keluarga Mahali, dia tidak pernah menunjukkan kelas sosialnya.
Dulu aku terlalu sering mendengarkan rumor tentang keluarga Mahali. Setelah aku mengenal Shica dari dekat, aku rasa keluarga Mahali tidak seperti yang dikatakan kebanyakan orang.
"Meishy," panggil Shica.
Aku menoleh padanya.
"Waktu itu... aku pernah bilang, kalau aku ingin sekali menceritakan kisahku padamu. Namun, aku merasa jika kisahku tidak menarik."
Iya, Shica... aku mengingatnya. Aku akan selalu mengingatnya. Kisah tersembunyimu selalu menjadi misteri. Meskipun aku sahabatmu, aku tidak berani menanyakan hal pribadimu.
"Semenjak hari itu, pandanganku berubah. Aku merasa jika kisah hidupku sangat rumit dan... aku rasa, sekarang aku siap menceritakan ini padamu." Shica tersenyum dengan tatapan menerawang.
Aku tidak meresponnya dan memilih mendengarkan dia yang sedang berbicara serius.
Shica menatapku dengan sendu. "Seharusnya aku menceritakan ini sejak lama. Tapi, waktu itu aku benar-benar sedang tertekan dan penuh dengan ketakutan. Tapi, karena kau adalah seorang penulis dan kau adalah sahabatku, aku tidak keberatan berbagi ini denganmu."
Aku mengusap lengannya.
"Meishy, sebenarnya hanya 30% yang kau ketahui tentang aku. Jika hari ini aku menceritakannya padamu, kemungkinan kau jadi tahu 50%." Shica dengan tiba-tiba memasang ekspresi bercanda.
Aku jadi ingin tertawa. "Jadi, kau tidak ingin menceritakan semuanya?"
"Ingatanku mungkin ada yang hilang, atau aku memang tidak ingin menceritakan sebagian ceritanya." Shica mulai serius.
"Aku akan mendengarkan."
Marilah kita kembali ke 7 tahun yang lalu.
5.59 : 12 Oktober 2019
By Ucu Irna Marhamah
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
SilverKing
yuhuuu
2019-12-26
0
tan singh
bagus😍😍😍👍
2019-12-25
1
ardnnx
thanks thor udh up lagi💘
2019-12-25
0