Mereka Yang Membelokkan Takdir

Mereka Yang Membelokkan Takdir

1~ kenangan yang terhubung di dalam lukisan

Waktu terus berputar dengan cepat, membuat penulis itu merasa putus asa dengan kenyataan yang ada. Masalah datang dan pergi, seolah dunia ini membencinya. Dalam kebisingan pikirannya, rasa sepi semakin menyiksa.

“Apa aku tak serbaguna ini?” keluhnya, suaranya hampir tak terdengar.

Penulis itu terus berusaha menulis cerita terakhirnya, sebuah usaha untuk memberikan pesan terakhir kepada dunia yang terasa begitu kelam baginya. Karya itu berjudul Layangan Di Batas Dunia.

________________________________________________

Di dalam cerita itu, terdapat seorang anak yang selalu kalah dalam setiap kompetisi melukis. Setiap kali, jawaban juri selalu sama, meski kompetisinya berbeda.

“Lukisan ini tampak tanggung, tanpa kehidupan yang tersampaikan,” juri menjawab dengan ekspresi tidak enak.

Lagi-lagi, anak itu hanya menjadi seorang pecundang, terlahir tanpa perasaan yang berarti.

“Perasaan itu apa?” pertanyaan itu terus memenuhi pikirannya, berputar tanpa henti hingga membuatnya lelah. Merasa terpuruk, dia memutuskan untuk pergi ke suatu tempat yang sunyi.

Dia duduk di dahan pohon, di sebuah lembah rumput yang luas. Sambil menghela nafas dalam-dalam, ia memandang langit yang biru, berusaha mencari jawaban atas kegundahannya.

“Apa sebenarnya aku sudah lama mati? Kenapa dunia tak memberitahu?” gumamnya penuh kesedihan.

“Kenapa... kenapa... kenapa?” ia mengulangi pertanyaan yang sama sambil melihat lukisannya yang penuh harapan namun selalu dinyatakan gagal.

Namun, tanpa disadari, lukisannya dirampas oleh seorang gadis dewasa yang kemudian merusaknya dengan kasar. Hati anak itu terasa panas, dan tangannya bergerak sendiri, seolah ingin menyerang gadis itu.

“Tunjukkan perasaan itu ke dunia yang tak pernah adil!” gadis itu berteriak dengan semangat.

Pukulannya ditangkis dengan mudah, dan gadis itu membalas dengan serangan kaki, membuat anak itu terhempas hingga menghantam pohon. Kemudian, gadis dewasa itu melempar lukisan yang rusak ke arahnya, meninggalkannya dalam keadaan kesakitan dan kehilangan.

Perasaan kesal semakin meningkat. Anak itu berusaha bangkit, meraih lukisannya, sambil bersandar di pohon, menahan rasa sakit.

“Perasaan apa ini?” ujarnya dengan kesal sambil memukul tangannya ke arah pohon.

Tiba-tiba, seorang gadis kecil melompat melewatinya dengan roti di mulutnya, sambil mengejar sebuah layangan yang terbang tinggi.

Hembusan angin semakin kuat, mendorong layangan itu menjauh. Gadis itu tidak melihat batu di depannya dan terjatuh, tetapi mata dan mulutnya tetap ceria, tak tergoyahkan oleh rasa sakit.

“Hampir... hampir... Yap, hore dapat!” serunya dengan semangat, seolah tidak ada yang bisa menghentikannya. Dengan perjuangan, akhirnya dia berhasil mendapatkan layangannya. Melihat anak yang terluka, gadis itu segera menghampirinya.

“Apa yang terjadi denganmu?” tanyanya sambil membersihkan luka goresan di tangan anak itu dengan kainnya.

“Sebaiknya kamu urus luka kamu dulu,” jawab anak itu, berusaha menolak untuk diobati.

Namun, gadis itu tetap kekeh. “Aku sudah terbiasa... Udah jangan berisik!” dia berkata sambil tersenyum.

“Kenapa kamu masih tetap tersenyum saat kau jatuh, padahal lukamu lumayan besar goresannya?” tanya anak itu, kebingungan.

“Kenapa kamu mengutamakan keselamatan orang lain dibandingkan diri sendiri?”

Dengan tenang, gadis itu menjawab, “Apa aku salah menolong seseorang yang sedang terluka?”

Akhirnya, luka anak itu diobati, dan perlahan-lahan berhenti mengeluarkan darah.

“Kenapa... kenapa... kamu tidak merasa sakit? Kenapa kamu masih tetap tersenyum?” tanya anak itu dengan nada kesal, sambil merenung.

Gadis itu berusaha mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba, angin semakin kuat hingga membuat layangan yang ditangkapnya lepas dari genggamannya.

“Yahhh, layanganku!” teriak gadis itu dengan kecewa.

Dia akhirnya membiarkan layangannya pergi, lalu mereka beristirahat sejenak, berbincang dan bersandar di bawah pohon yang rindang.

“Kenapa lukisan itu rusak?” tanya gadis itu setelah melihat lukisan yang hancur di tangan anak itu.

“Gpp, hanya saja aku tak sengaja merusaknya,” jawab anak itu, suaranya meredup.

Mereka menatap langit, berbincang dengan penuh harapan.

“Bagaimana cara seseorang mempunyai bakat hebat seperti itu, ya? Aku sungguh iri,” ucap gadis itu, mengagumi kemampuan anak itu.

“Entahlah, aku hanya ingin tahu apa itu perasaan manusia?” anak itu menjawab, rasa ingin tahunya tumbuh.

“Walaupun dunia kadang mengekang setiap jalan manusia, aku hanyalah pelukis pecundang yang akan membuang mimpi,” ujarnya sambil mulai melukis gadis itu di kertas baru.

Gadis itu mulai mengerti, dan suasana perlahan menjadi lebih serius.

“By the way, aku Sofia. Salam kenal, Tuan Pelukis!” ucapnya dengan ceria.

“Huu, jangan panggil aku begitu. Aku Oska, salam kenal!” mereka pun saling memperkenalkan diri.

Tak lama kemudian, layangan Sofia muncul kembali, membuatnya sangat senang dan ingin mengejar layangan itu lagi.

“Ceria lah!” dengan senyuman, Sofia berkata lembut.

“Jika tidak mencintai bakat, bukankah sejak lama kau sudah meninggal atau mengubur bakatmu?” Oska bertanya, penasaran.

“Karena perasaan itu memang tak bisa dibayangkan dengan kata-kata, karena hati yang merasakannya. Itulah sebabnya kamu tidak menyerah,” pesan Sofia penuh keyakinan.

Sofia pun meninggalkan Oska untuk mengejar layangan itu. Namun lagi-lagi, dia terjatuh. Meski begitu, ia langsung bangkit dan melompat untuk meraih layangannya. Sofia akhirnya berhasil mendapatkan layangan itu dan melompat kegirangan.

Hembusan angin semakin kencang, dan gambar Oska yang dibuat di kertas adalah gambar gadis ceria mengejar layangan, dilengkapi pesan yang mendalam.

“Terima kasih, gadis ceria. Keceriaan mu itulah yang membuatmu spesial. Itulah perasaan bahagia aku saat bertemu denganmu,” ujarnya dalam hati, merasakan kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Momen itu menjadi titik balik bagi Oska. Dia menyadari bahwa dalam setiap luka dan kesedihan, selalu ada harapan yang menanti. Dia bertekad untuk menggambarkan semua perasaan yang terpendam di dalam hatinya. Dengan dukungan Sofia, ia merasa lebih berani untuk mengungkapkan dirinya melalui seni.

Oska menatap langit dengan semangat baru. “Aku akan menciptakan lukisan yang bisa menggambarkan perasaanku. Aku ingin dunia melihat apa yang aku rasakan!” tekadnya membara.

Di dalam dirinya, sebuah keyakinan baru muncul, seolah-olah semua rasa sakit dan perjuangan sebelumnya menjadi bahan bakar untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar.

Bersama Sofia, dia berjanji untuk mengejar impiannya dan menunjukkan pada dunia bahwa setiap perasaan, baik bahagia maupun sedih, adalah bagian dari perjalanan hidup yang berharga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!