Waktu terus berputar dengan cepat, membuat penulis itu merasa putus asa dengan kenyataan yang ada. Masalah datang dan pergi, seolah dunia ini membencinya. Dalam kebisingan pikirannya, rasa sepi semakin menyiksa.
“Apa aku tak serbaguna ini?” keluhnya, suaranya hampir tak terdengar.
Penulis itu terus berusaha menulis cerita terakhirnya, sebuah usaha untuk memberikan pesan terakhir kepada dunia yang terasa begitu kelam baginya. Karya itu berjudul Layangan Di Batas Dunia.
________________________________________________
Di dalam cerita itu, terdapat seorang anak yang selalu kalah dalam setiap kompetisi melukis. Setiap kali, jawaban juri selalu sama, meski kompetisinya berbeda.
“Lukisan ini tampak tanggung, tanpa kehidupan yang tersampaikan,” juri menjawab dengan ekspresi tidak enak.
Lagi-lagi, anak itu hanya menjadi seorang pecundang, terlahir tanpa perasaan yang berarti.
“Perasaan itu apa?” pertanyaan itu terus memenuhi pikirannya, berputar tanpa henti hingga membuatnya lelah. Merasa terpuruk, dia memutuskan untuk pergi ke suatu tempat yang sunyi.
Dia duduk di dahan pohon, di sebuah lembah rumput yang luas. Sambil menghela nafas dalam-dalam, ia memandang langit yang biru, berusaha mencari jawaban atas kegundahannya.
“Apa sebenarnya aku sudah lama mati? Kenapa dunia tak memberitahu?” gumamnya penuh kesedihan.
“Kenapa... kenapa... kenapa?” ia mengulangi pertanyaan yang sama sambil melihat lukisannya yang penuh harapan namun selalu dinyatakan gagal.
Namun, tanpa disadari, lukisannya dirampas oleh seorang gadis dewasa yang kemudian merusaknya dengan kasar. Hati anak itu terasa panas, dan tangannya bergerak sendiri, seolah ingin menyerang gadis itu.
“Tunjukkan perasaan itu ke dunia yang tak pernah adil!” gadis itu berteriak dengan semangat.
Pukulannya ditangkis dengan mudah, dan gadis itu membalas dengan serangan kaki, membuat anak itu terhempas hingga menghantam pohon. Kemudian, gadis dewasa itu melempar lukisan yang rusak ke arahnya, meninggalkannya dalam keadaan kesakitan dan kehilangan.
Perasaan kesal semakin meningkat. Anak itu berusaha bangkit, meraih lukisannya, sambil bersandar di pohon, menahan rasa sakit.
“Perasaan apa ini?” ujarnya dengan kesal sambil memukul tangannya ke arah pohon.
Tiba-tiba, seorang gadis kecil melompat melewatinya dengan roti di mulutnya, sambil mengejar sebuah layangan yang terbang tinggi.
Hembusan angin semakin kuat, mendorong layangan itu menjauh. Gadis itu tidak melihat batu di depannya dan terjatuh, tetapi mata dan mulutnya tetap ceria, tak tergoyahkan oleh rasa sakit.
“Hampir... hampir... Yap, hore dapat!” serunya dengan semangat, seolah tidak ada yang bisa menghentikannya. Dengan perjuangan, akhirnya dia berhasil mendapatkan layangannya. Melihat anak yang terluka, gadis itu segera menghampirinya.
“Apa yang terjadi denganmu?” tanyanya sambil membersihkan luka goresan di tangan anak itu dengan kainnya.
“Sebaiknya kamu urus luka kamu dulu,” jawab anak itu, berusaha menolak untuk diobati.
Namun, gadis itu tetap kekeh. “Aku sudah terbiasa... Udah jangan berisik!” dia berkata sambil tersenyum.
“Kenapa kamu masih tetap tersenyum saat kau jatuh, padahal lukamu lumayan besar goresannya?” tanya anak itu, kebingungan.
“Kenapa kamu mengutamakan keselamatan orang lain dibandingkan diri sendiri?”
Dengan tenang, gadis itu menjawab, “Apa aku salah menolong seseorang yang sedang terluka?”
Akhirnya, luka anak itu diobati, dan perlahan-lahan berhenti mengeluarkan darah.
“Kenapa... kenapa... kamu tidak merasa sakit? Kenapa kamu masih tetap tersenyum?” tanya anak itu dengan nada kesal, sambil merenung.
Gadis itu berusaha mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba, angin semakin kuat hingga membuat layangan yang ditangkapnya lepas dari genggamannya.
“Yahhh, layanganku!” teriak gadis itu dengan kecewa.
Dia akhirnya membiarkan layangannya pergi, lalu mereka beristirahat sejenak, berbincang dan bersandar di bawah pohon yang rindang.
“Kenapa lukisan itu rusak?” tanya gadis itu setelah melihat lukisan yang hancur di tangan anak itu.
“Gpp, hanya saja aku tak sengaja merusaknya,” jawab anak itu, suaranya meredup.
Mereka menatap langit, berbincang dengan penuh harapan.
“Bagaimana cara seseorang mempunyai bakat hebat seperti itu, ya? Aku sungguh iri,” ucap gadis itu, mengagumi kemampuan anak itu.
“Entahlah, aku hanya ingin tahu apa itu perasaan manusia?” anak itu menjawab, rasa ingin tahunya tumbuh.
“Walaupun dunia kadang mengekang setiap jalan manusia, aku hanyalah pelukis pecundang yang akan membuang mimpi,” ujarnya sambil mulai melukis gadis itu di kertas baru.
Gadis itu mulai mengerti, dan suasana perlahan menjadi lebih serius.
“By the way, aku Sofia. Salam kenal, Tuan Pelukis!” ucapnya dengan ceria.
“Huu, jangan panggil aku begitu. Aku Oska, salam kenal!” mereka pun saling memperkenalkan diri.
Tak lama kemudian, layangan Sofia muncul kembali, membuatnya sangat senang dan ingin mengejar layangan itu lagi.
“Ceria lah!” dengan senyuman, Sofia berkata lembut.
“Jika tidak mencintai bakat, bukankah sejak lama kau sudah meninggal atau mengubur bakatmu?” Oska bertanya, penasaran.
“Karena perasaan itu memang tak bisa dibayangkan dengan kata-kata, karena hati yang merasakannya. Itulah sebabnya kamu tidak menyerah,” pesan Sofia penuh keyakinan.
Sofia pun meninggalkan Oska untuk mengejar layangan itu. Namun lagi-lagi, dia terjatuh. Meski begitu, ia langsung bangkit dan melompat untuk meraih layangannya. Sofia akhirnya berhasil mendapatkan layangan itu dan melompat kegirangan.
Hembusan angin semakin kencang, dan gambar Oska yang dibuat di kertas adalah gambar gadis ceria mengejar layangan, dilengkapi pesan yang mendalam.
“Terima kasih, gadis ceria. Keceriaan mu itulah yang membuatmu spesial. Itulah perasaan bahagia aku saat bertemu denganmu,” ujarnya dalam hati, merasakan kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Momen itu menjadi titik balik bagi Oska. Dia menyadari bahwa dalam setiap luka dan kesedihan, selalu ada harapan yang menanti. Dia bertekad untuk menggambarkan semua perasaan yang terpendam di dalam hatinya. Dengan dukungan Sofia, ia merasa lebih berani untuk mengungkapkan dirinya melalui seni.
Oska menatap langit dengan semangat baru. “Aku akan menciptakan lukisan yang bisa menggambarkan perasaanku. Aku ingin dunia melihat apa yang aku rasakan!” tekadnya membara.
Di dalam dirinya, sebuah keyakinan baru muncul, seolah-olah semua rasa sakit dan perjuangan sebelumnya menjadi bahan bakar untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar.
Bersama Sofia, dia berjanji untuk mengejar impiannya dan menunjukkan pada dunia bahwa setiap perasaan, baik bahagia maupun sedih, adalah bagian dari perjalanan hidup yang berharga.
Saat Sofia berbalik, Oska sudah tidak ada lagi di pohon itu. Di hadapannya, gambar yang dibuat Oska melayang, menghampirinya dengan lembut. Sofia menatap gambar itu, dan pesan yang tertera membuat pipinya memerah, hatinya bergetar.
“Ku harap, suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi, Oska,” bisiknya sambil memandang pohon yang seolah menyimpan kenangan manis itu, kenangan yang takkan pernah pudar dalam ingatannya.
________________________________________________
Dalam sebuah mimpi, Sofia teringat kejadian enam bulan lalu. Suasana itu kembali menghangatkan hatinya, namun juga membuatnya merasa kehilangan.
Dia teringat saat-saat indah bersama ibunya, tawa ceria yang mengisi hari-harinya, dan harapan-harapan yang melambung tinggi.
“Mama... kamu di mana?” teriaknya, air mata terus mengalir di kedua pipinya. Layangan tiba-tiba mendarat tepat di hadapannya, seolah mengingatkan akan harapan yang belum padam, harapan yang kini terasa samar.
Lalu, muncul seorang gadis dewasa yang menghampiri layangan itu, memberikan kain untuk menghapus air mata Sofia. “Tersenyumlah, karena dia akan selalu terhubung dengan seseorang yang paling berharga,” ucap gadis itu dengan lembut.
“Walaupun kamu tak tahu sekarang dia ke mana, maaf aku mendengar suara hatimu,” lanjutnya, memberi Sofia sedikit kelegaan di tengah kesedihan yang melanda.
Gadis dewasa itu menarik Sofia dan mengajaknya bermain layangan. Meski air mata masih membasahi pipinya, Sofia merasakan kebahagiaan yang baru. “Bahkan aku tak bisa mengenali wajahnya, saat aku lahir, dia sudah meninggalkanku,” isak Sofia, merindukan sosok ibunya dengan segala kerinduan yang menyakitkan.
Kenangan itu membuatnya merasa sepi dan kehilangan, tapi juga menumbuhkan semangat untuk terus berjuang.
Sofia merasa disalahkan atas kematian ibunya, dan setiap hari di-bully oleh kakak-kakaknya yang tidak mengerti perasaannya. Hanya sang ayah yang tetap membela, meski dia sudah semakin sakit karena penyakit yang dideritanya.
“Mengapa semua ini terjadi padaku?” pikirnya, namun dia tahu bahwa dia harus kuat untuk ayahnya, untuk cinta yang masih ada di dalam keluarganya.
Gadis dewasa itu melepaskan layangan, membiarkannya terhempas angin. Dia menepuk kedua pipi Sofia, mendekatkan matanya dengan senyuman hangat yang penuh kasih.
“Layangan dengan benang yang tak kusut akan terus tinggi menghadapi kuatnya angin,” jelasnya dengan suara lembut dan meyakinkan. “Jangan biarkan angin mengubah arahmu, Sofia. Jadilah seperti layangan yang bebas, terbang tinggi ke langit.”
“Namun jika angin itu memutuskan benangnya, biarkan layangan itu menuju jalannya sendiri, agar tetap terbang tinggi di atas langit,” lanjutnya, memberikan harapan baru bagi Sofia. Mata Sofia berkilau, terinspirasi oleh kata-kata gadis itu. “Tapi... apakah aku bisa menentukan jalanku?” tanyanya dengan keraguan yang masih ada di dalam hatinya.
Tiba-tiba, layangan yang mereka mainkan terputus. Gadis dewasa itu berlari, meraih layangan tersebut dan berhasil mendapatkannya kembali. “Jika itu terputus, kenapa tidak mengejar kembali agar tingginya layangan tetap terjaga?” tanyanya dengan penuh semangat, membangkitkan kepercayaan diri Sofia. “Tersenyumlah, itulah langkah sederhana dalam sebuah perjalanan,” ucapnya, menghibur Sofia dengan senyuman yang tulus.
Perlahan, Sofia mulai tenang dan mengerti apa yang dibicarakan gadis dewasa itu. Saat gadis itu hendak pergi, Sofia memberanikan diri bertanya, “Siapa kamu sebenarnya?” Gadis dewasa itu tidak menjawab namanya.
Ia hanya berkata pelan, “Aku hanyalah sebuah luka yang abadi,” kata-kata itu menyentuh hati Sofia dan membuatnya merenung lebih dalam.
Enam bulan berlalu, Sofia mulai membaik dan dikenal banyak orang di desanya. Namun, kakak-kakaknya semakin benci padanya dan memilih menelantarkan Sofia dan ayahnya di rumah gubuk yang rusak, yang semakin hari semakin tak layak huni.
Sofia hanya tersenyum dan tak membalas perlakuan sang kakak, berusaha menahan rasa sakit di dalam hatinya.
Namun, saat salah satu kakaknya melempar gelas beling ke arah wajah ayahnya, Sofia tidak bisa tinggal diam, melawan rasa takutnya.
Dia menendang gelas kaca itu hingga pecah, serpihannya menggores pipi Sofia. “Jangan sekali lagi!” serunya, menahan amarah saat mengepal tangannya, berusaha melindungi ayahnya dengan segenap kekuatan yang tersisa.
Karena sang ayah memohon kepadanya untuk tidak membuat keributan, Sofia pun melepaskan cekikkannya dengan berat hati.
“Ahhhh, sialan ! Urus saja ayahmu yang sudah mau mati,” ejek kakaknya dengan nada sinis, lalu mereka pun pergi meninggalkan Sofia dan ayahnya berdua di rumah gubuk yang hancur.
Sofia berusaha keras bekerja sambil bersekolah. Sejak jam 4 pagi, dia membantu warga desa berjualan untuk mendapatkan upah agar bisa makan dan memenuhi kebutuhan lainnya.
Warga desa sangat baik, sesekali mereka membantunya dengan tulus, menganggapnya sebagai bagian dari keluarga mereka. Meskipun sibuk, Sofia selalu menyempatkan diri untuk bermain layangan, bersyukur atas berkah yang diberikan.
“Senyuman adalah dasar untuk menjaga benang kehidupan tetap panjang dan tingkatan semakin tinggi,” ucapnya sambil melihat layangannya terbang tinggi di langit biru.
“Aku yakin semuanya akan baik-baik saja,” katanya, bersemangat saat hembusan angin semakin kuat, menerbangkan layangan Sofia semakin tinggi.
Dia merasakan kebebasan dan harapan di setiap tarikan benang yang ia pegang erat. Namun, dalam mimpi itu, ia mendengar bisikan samar.
“Tetapi saat hujan turun, layangan itu bisa hancur oleh kerasnya hujan,” pesan itu membuatnya terbangun dengan penuh pertanyaan di dalam benaknya.
Sofia terbangun, mendapati genggaman hangat sang ayah. Dengan suara lembut, ayahnya membangunkan Sofia, “Sofia... bangun sekarang. Kamu tidak sendirian lagi. Ayah akan ikut berjuang bersama kita hadapi semua ini, ya Sofia.” Sofia menatap ayahnya, merasakan kehangatan yang sempat hilang, dan mengingat kembali semua pengorbanan yang telah dilakukan ayahnya demi dirinya.
“Terima kasih, Ayah. Bersama kita pasti bisa!” ucapnya penuh semangat, merasakan energi baru mengalir dalam dirinya. Dengan keyakinan baru, Sofia bertekad untuk tidak hanya berjuang demi dirinya, tetapi juga untuk ayahnya.
Dalam setiap layangan yang terbang tinggi, ia akan menemukan harapan dan kebahagiaan yang selama ini ia cari, bersamaan dengan cinta yang akan selalu menguatkan langkahnya. Sofia berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah menyerah, karena di dalam hatinya, dia tahu bahwa harapan itu selalu ada, seiring dengan terbangnya layangan di angkasa.
Seminggu pun berlalu. Oska kembali ke tempat di mana ia bertemu Sofia, penuh harapan dan semangat. Sofia, yang sedang menunggu, langsung menyambutnya dengan hangat.
“Oska, bagaimana kabar mu?” tanyanya sambil menggenggam tangan Oska erat, seolah ingin memastikan kehadirannya nyata.
“aku baik-baik saja,” jawab Oska dengan senyum lebar. “Oh iya, ini tiket untuk kamu menonton final lukisanku. Berkat kamu, aku bisa mencapainya,” ujarnya sambil mengulurkan tiket itu.
Awalnya, Sofia ragu dan menolak tiket itu. “Aku belum pernah pergi ke kota, Oska. Bagaimana kalau aku tersesat?” tanyanya dengan gelisah.
“Jangan khawatir, Sofia. Aku akan menjemputmu. Ini adalah pengalaman yang tidak boleh kamu lewatkan.Percayalah, kamu akan menyukainya!” Oska meyakinkannya. Perlahan, Sofia pun menerima tiket itu dengan senyum penuh harapan.
“Yuk, aku punya tempat yang ingin ku tunjukkan padamu!” Sofia menarik Oska ke sebuah tempat di mana banyak bunga mawar bermekaran, menciptakan suasana yang begitu indah. “Lihat, ini adalah tempat rahasiaku,” katanya, bahagia.
“Sofia, tunggu aku…” Oska terpesona melihat keindahan bunga-bunga itu. Saat Sofia berdiri dikelilingi mawar, Oska tak bisa menahan rasa senangnya. “Kamu terlihat sangat cantik di sini,” katanya, tersipu.
Namun, saat Oska terdiam, “Dorrr!” Sofia mengagetkannya. “Fikir apa tuh?” tanyanya dengan wajah curiga, mencoba menggoda.
“Gpp. Btw, indah banget tempat ini. Kok kamu bisa tahu tempat ini?” Oska penasaran.
Sofia memetik satu tangkai mawar, menghirup wanginya. “Aku sangat senang bisa mengenalkan tempat ini untukmu, karena tempat ini layak untuk dilihat. Setiap bunga di sini punya cerita,” ujarnya dengan penuh semangat.
Tiba-tiba, sepasang adik kakak datang dan menarik kedua tangan Oska dan Sofia, menggiring mereka ke kerumunan anak-anak.
“Oh iya, aku lupa memberitahumu, Oska. Hari ini aku akan bercerita di sini bareng anak-anak. Apa kamu mau menunggu sampai selesai?” tanyanya.
“Ya, gpp. Aku tungguin. Lagi pula, aku juga sambil menyelesaikan lukisanku,” Oska menjawab sambil mengeluarkan sketchbook-nya, merasakan perasaan yang baru.
Sofia tersenyum cerah. “Kalian berdua, ya. Seperti biasa, tidak sabar nih,” katanya sebelum bergegas memulai cerita dengan judul “Pahlawan Kecil Dari Desa Tersembunyi.”
Sofia pun memulai cerita, “Sepasang adik kakak terjatuh ke dalam ruang waktu, terjebak di tempat di mana para kerajaan saling merebut wilayah untuk kepentingan pribadi. Mereka dipisahkan di tempat yang berbeda di waktu yang sama.”
Sang kakak berjuang keras di sebuah kerajaan untuk mencari adiknya. “Dia tidak akan menyerah,” Sofia melanjutkan, menghidupkan karakter dalam ceritanya. “Sementara sang adik terjebak di medan perang yang penuh mayat berjatuhan. Ia belajar tentang kebusukan setiap kerajaan, tumbuh menjadi teror yang ditakuti.”
Tiba-tiba, cerita Sofia terhenti karena hujan deras mengguyur. Anak-anak berhamburan mencari tempat teduh, dan mereka semua berkumpul di gubuk hingga hujan reda. “Hujan ini benar-benar datang tiba-tiba!” seru salah satu anak.
Hujan itu berlalu dengan cepat. “Lihat! Ada pelangi!” teriak salah satu anak, dan anak-anak pun kagum melihat pelangi muncul setelah hujan.
“Bagaimana pun juga, kita akan tetap terhubung walaupun terkadang waktu memisahkan kita,” Oska berkomentar sambil hampir menyelesaikan sketsa lukisannya.
“Seperti pelangi yang akan tetap terhubung walaupun harus menunggu hujan sekali pun,” tambah Sofia, matanya berbinar memandang pelangi.
“Ya, aku harap kita semua tetap bersama, meskipun waktu memisahkan kita,” ucap Sofia, tersenyum lebar. Mereka bercanda dan tertawa, hingga hujan benar-benar berhenti sepenuhnya.
Hari pun mulai sore. Oska segera bergegas untuk kembali, namun sebelum pergi, dia bertanya, “Nanti... aku datang lagi, mau dibawakan apa?”
Sofia berpikir sejenak, lalu menjawab, “Aku ingin melihat hasil lukisanmu. Apa pun hasil dari kompetisi, aku hanya ingin melihat lukisan itu. Janji ya?” Sofia berkata dengan senyuman harapan yang tulus.
“Ya, aku janji… Sofia,” Oska menjawab penuh keyakinan.
Mereka pun berjanji kelingking, mengikat janji mereka dengan kuat. “Ini adalah janji kita, Oska. Jangan sampai lupa,” Sofia mengingatkan.
Oska pun kembali ke stasiun, menunggu kereta sambil melihat sketsa lukisan yang baru saja ia buat. “Ini berkatmu, Sofia. Kamu membantuku memahami perasaan ini. Aku sangat bahagia hari ini, Sofia.”
Di sisi lain, Sofia duduk sendirian di gubuk, memandang langit senja dengan penuh harapan. “Oska, aku yakin kau akan menunjukkan lukisanmu. Tapi semoga kita dipertemukan kembali, Oska,” ucapnya dengan senyuman yang mulai memudar, merindukan sosok yang telah memberi warna baru dalam hidupnya.
“Dan ketika kita bertemu lagi, aku akan membuat lukisan yang lebih indah hanya untukmu,” kata Oska dalam hati, bertekad untuk menciptakan sesuatu yang luar biasa.
" aku berjanji Sofia."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!