"Aku gak tau gimana cara bantu kamu biar ingatan kamu cepat balik," jawab Inara seraya mendongakkan kepala menatap wajah Johan. "Kalau sampe ingatan kamu gak balik lagi, gimana? Apa kamu bakalan tinggal di sini selamanya dan bakalan jadi suami aku selamanya?"
Johan menggerakkan kedua matanya ke kiri dan ke kanan seraya bergumam. "Hmm! Ya, apa boleh buat," ujarnya lalu menunduk menatap wajah Inara. "Siapa tau, benih-benih cinta hadir di hati kita suatu saat nanti. Ya, siapa tahu 'kan? Lama-lama kamu jatuh cinta sama saya, begitu pun sebaliknya."
"Kalau ternyata sebenarnya kamu udah punya istri, gimana?"
Johan kembali terdiam seraya berjalan mondar-mandir tepat di depan istrinya. Ya, bagaimana jika ternyata ia memiliki seorang istri yang menunggunya di suatu tempat? Pria itu seketika merentangkan kelima jarinya seraya menatapnya dengan seksama. Jika ia benar-benar sudah menikah, seharusnya satu buah cincin melingkar di jari manisnya. Namun, tidak ada apapun di sana. Jari manisnya benar-benar polos sepolos-polosnya.
"Liat, kalau saya udah nikah saya pasti pake cincin pernikahan, 'kan?" ujar Johan seraya memperlihatkan kelima jarinya juga sontak menghentikan langkahnya tepat di depan tubuh mungil Inara. "Berarti, kita aman dong. Kamu gak perlu takut, oke?"
Inara kembali mendongak menatap wajah Johan. Pria itu benar-benar memiliki tinggi badan yang ideal, tinggi Inara hanya sebatas dada bidangnya saja. Jujur ia akui, Johan memang tipe idealnya. Wajahnya cukup tampan lengkap dengan alisnya yang tebal, tingginya pun di atas rata-rata membuat pria itu harus menundukkan kepala jika ingin melihat wajah Inara yang saat ini berdiri tepat di hadapannya.
"Kenapa kamu diem aja, Inara?" tanya Johan seketika merasa gugup. "Jangan-jangan, kamu udah mulai suka sama saya?"
Inara seketika tersenyum sinis seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. "Pd banget sih jadi orang," decaknya dingin. "Kamu itu bukan tipe aku, Johan! Muka kamu terlalu tampan, aku gak suka sama cowok yang tampannya kelewatan. Cowok kayak gitu tuh, biasanya ceweknya di mana-mana, alias play boy kelas kakap."
"Hahaha! Kayaknya, saya bukan salah satu dari mereka yang kamu sebutin tadi deh." Johan seketika tertawa nyaring. "Saya rasa, saya ini cowok setia."
"Dari mana kamu tau kalau kamu cowok setia? Orang kamu lagi hilang ingatan," decak Inara.
"Ngomong-ngomong, malam ini malam pertama kita lho."
Inara memundurkan langkah kakinya dengan jantung yang berdetak kencang. Wajah seorang Inara pun seketika memerah merasa gugup. Malam pertama? Wanita itu tidak ada rencana untuk melepaskan kesuciannya kepada pria yang tidak ia cintai.
"Ma-malam pertama?" tanya Inara terbata-bata seraya menelungkupkan kedua telapak tangannya di dada. "Ki-kita 'kan cuma nikah boongan, malam pertamanya juga boongan dong."
Johan tersenyum ringan seraya melangkah seringan dengan langkah kaki wanita itu, tatapan matanya kian lekat dalam menatap wajah polos seorang Inara. Kedua kakinya pun sontak terhenti saat Inara menyandarkan punggungnya di tembok karena sudah tidak ada lagi tempat untuknya melangkah.
Johan mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Inara. "Tapi pernikahan kita ini sah lho, ya ... meskipun kita cuma nikah siri, tapi kamu tetap istri saya dan saya suami kamu."
Inara memalingkan wajahnya ke arah lain tanpa menimpali ucapan suaminya.
"Baiklah, kalau kamu emang belum siap. Saya tak akan memaksa kamu buat melakukan kewajiban kamu sebagai seorang istri," ujar Johan seraya mengurai jarak. "Apa kamu mau kita tidur di kamar terpisah?"
"Aku tak akan minta maaf sama kamu karena tak bisa melakukan kewajiban aku sebagai istri," ujar Inara. "Sekali lagi aku tekankan sama kamu, kita cuma nikah boongan, kamu suami boongan dan aku pun cuma istri boongan, oke?"
"Iya, saya paham."
"Eu ... aku akan tidur di kamar depan dan kamu tidur di sini, paham?"
"Iya, saya paham."
"Aku keluar dulu."
"Iya, saya paham."
Inara mendengus kesal. Sudah berapa kali Johan mengatakan kalimat yang sama dengan ekspresi wajah datar. Wanita itu pun seketika berbalik lalu keluar dari dalam kamar dengan perasaan kesal. Namun, langkah seorang Inara seketika terhenti tepat di depan pintu kamar saat melihat Ida sudah berada di ruang tamu.
"Bibi," sapa Inara gugup.
Johan sontak melakukan hal yang sama seperti istrinya lalu berdiri tepat di samping sang istri. Baik Inara maupun Johan seketika menoleh dan menatap wajah satu sama lain dengan kening yang dikerutkan. Sejak kapan adik dari ibunda Inara itu berada di sana? Apa mungkin wanita paruh baya itu sempat mendengar apa yang mereka bicarakan?
Ida menatap wajah keduanya secara bergantian. "Kalian mau tidur di kamar terpisah?" tanya Ida penuh selidik.
"Hah? Si-siapa bilang?" tanya Inara seraya menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal. "Kita ini 'kan pengantin baru, ma-mana mungkin kita tidur terpisah?"
"Apa tadi bibi salah dengar, ya?" tanya Ida seraya memutar bola matanya ke kiri dan ke kanan. Ia sempat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Inara saat dirinya baru saja tiba di sana.
"Eu ... ngomong-ngomong, ada apa bibi ke sini malam-malam? Tumben," tanya Inara sengaja mengalihkan pembicaraan. Sementara Johan hanya diam tanpa mengatakan apapun.
"Bibi mau nginep di sini, pamanmu berulah lagi. Bibi males tidur di rumah."
"Hah?" Inara dan Johan secara bersamaan seraya menatap wajah Ida dengan kedua mata membulat.
"Apa kamu keberatan bibi nginep di sini? Kalian takut bibi ngegganggu malam pertama kalian?" tanya Ida kesal.
"Hah? Ng-ngak ko. Siapa bilang?" tanya Inara terbata-bata merasa gugup.
"Ya udah, silahkan kalian teruskan malam pertama kalian, bibi ngantuk mau tidur," pinta Ida, lalu berjalan menuju kamar depan. Padahal, Inara berencana untuk tidur di kamar tersebut.
Sepeninggal wanita paruh baya itu, tinggallah Inara dan suaminya. Keduanya nampak bergeming dengan perasaan bingung. Apa mereka akan benar-benar tidur di kamar yang sama? Pertanyaan itu mulai mengusik relung hati keduanya.
"Kayaknya tak ada pilihan lain lagi deh," ujar Johan seraya menghela napas panjang.
"Pilihan apa?" Inara sontak menoleh dan menatap wajah suaminya.
"Maksud saya, tak ada pilihan lain selain tidur di kamar yang sama. Di rumah ini cuma ada dua kamar, 'kan?"
Inara menggigit bibir bawahnya keras, bahkan sangat keras hingga permukaan bibirnya memerah. Rasanya benar-benar canggung jika harus berbaring di ranjang yang sama dengan seorang laki-laki meskipun laki-laki tersebut adalah suaminya sendiri.
"Huaa! Saya ngantuk, kita tidur sekarang, ya," sahut Johan seraya membuka mulutnya lebar-lebar menahan rasa kantuk.
"Kita?"
"Iya, kita. Saya dan kamu," jawab Johan tersenyum ringan lalu berbalik dan kembali memasuki kamar.
Sementara Inara nampak masih bergeming ditempatnya dengan pikiran berkecamuk.
'Ya Tuhan, lindungilah hamba-Mu yang lemah ini,' batin Inara sebelum akhirnya melakukan hal yang sama seperti suaminya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Reni
Siap, Kakak
2024-08-16
0
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
2024-08-16
1
Ninik
pasti pasangan ini nantinya saling bucin
2024-08-16
1