"Rum, aku tidak bermaksud begitu."
"Jangan bohong. Aku ini punya perasaan, Mas. Di antara para istri di pesta tadi siang, hanya aku yang enggak disanding suami."
Gak dapat lagi mengeluarkan suara, Arumi seperti tersekat oleh tangisan yang ditahan-tahannya tapi tetap saja tumpah. Ia membuang pandangan ke samping kanan, menghindari bertatapan langsung dengan Aris.
"Rum ...." Aris mengulurkan tangan, mengelus bahu istrinya. Arumi masih belum mampu menghentikan tangisannya.
"Kita pulang saja, Mas. Aku capek sekali." Arumi menoleh tetapi tidak sampai memandang Aris. Ia memperbaiki posisi duduknya, bersiap melanjutkan perjalanan.
"Oke, kita bicarakan lagi masalah ini di rumah." Aris menghidupkan kembali mesin mobil yang beberapa saat lalu padam.
Keduanya melalui perjalanan dalam keadaan diam. Terlebih Aris, ia kehilangan keberanian untuk mengeluarkan suara. Kata-kata Arumi begitu membekas dalam ingatan, sehingga ia pun merasa malu sendiri. Tetapi sebagai seorang suami, Aris juga tidak ingin masalah mereka berlarut-larut tanpa penyelesaian. Ia pun memberanikan diri menawarkan penyelesaian.
"Rum, kita mengaku saja sama Nijar bagaimana?" ucap Aris menawarkan saat menghentikan mobil tepat di halaman rumah.
"Biar nggak ada beban lagi," ucap Aris lagi. "Bagaimana, Rum?"
Arumi terdiam beberapa saat. Ia butuh menimbang keputusan itu.
"Rum."
"Iya, Mas. Apa enggak sebaiknya Mas yang harus memikirkan tentang hubungan kita. Mestinya kita bicara jujur bukan sama mas Nijar, tapi ke mama."
"Kenapa ke mama? Jangan macam-macam, deh!"
"Karena mama yang seharusnya tau bagaimana kondisi kita yang sebenarnya."
"Itu malah makin menambah masalah."
"Enggak, Mas. Biar mama nggak terlanjur kecewa karena kebohongan kita. Mas Aris nggak mungkin bersamaku terus, nggak mungkin mampu membangun rumah tangga karena nggak mungkin mencintaiku. Kita berpisah saja, Mas. Mungkin Mas Aris akan menemukan kebahagiaan setelah tidak lagi bersamaku."
"Ngomong apa sih, kamu? Ngawur aja kalau bicara."
"Kita berpisah. Kita bicara jujur pada mama."
"Enggak. Aku nggak setuju. Aku nggak mau. Lagian, aku bukannya membencimu, aku hanya tak suka dengan sikapmu ke Sudah, itu saja masalahnya. Kenapa malah mengajukan perpisahan? Berpisah bukankah solusi, Rum.Percayalah, masalah kita tidak seserius itu."
"Ngomong apa sih, kamu? Ngawur aja kalau bicara."
"Kita berpisah. Kita bicara jujur pada mama."
"Enggak. Aku nggak setuju. Aku nggak mau. Lagian, aku bukannya membencimu, aku hanya tak suka dengan sikapmu ke Nijar. Sudah, itu saja masalahnya. Kenapa malah mengajukan perpisahan? Berpisah bukankah solusi, Rum. Percayalah, masalah kita tidak seserius itu."
Bukannya merasa lega, Arumi merasa Aris malah mempermainkannya. Pria itu tidak nyaman hidup bersamanya dan ia menawarkan solusi yang menguntungkan tapi ditolak.
"Sebenarnya maunya Mas Aris apa, sih?" Nada ketus dari pertanyaan Arumi benar-benar sampai ke hati Aris. Rasanya seperti bersinggungan dengan arus listrik, Aris merasa sangat terkejut.
"Kita pulang. Mungkin di rumah nanti kita temukan solusinya." Aris menginjak pedal gas dengan cepat agar tujuannya sampai di rumah cepat sampai pula. Semua karena kesalahannya, sehingga iapun tidak berani menatap Arumi lagi.
Begitu sampai, Arumi langsung turun dan masuk tanpa menunggu Aris.
Langkahnya dipercepat agar segera mencapai kamar dan melepas pakaiannya.
Aris memandang punggung istrinya hingga menghilangkan di balik pintu kamar mandi, lalu terdengar suara gemericik air dari shower yang digunakan. Barulah dirinya melangkah masuk, menunggu Arumi di dalam sana.
Arumi keluar dengan mengenakan piyama tidur. Begitu melihat Aris sedang memainkan ponsel di tepi ranjang, langkahnya sengaja diperlambat. Ragu ingin melakukan apa karena tatapan Aris tidak berpindah padanya. Aris benar-benar menjadikan dirinya satu-satunya objek perhatian.
"Duduk sini," ucapan Aris menggema. Meskipun dengan suara pelan, tapi perintah itu sangat jelas didengar Arumi.
"Ada yang harus aku jelaskan," ucap Aris lagi membuat Arumi menebak bahwa Aris akan membuka percakapan sebelumnya.
Arumi pun duduk di samping suaminya, berusaha tenang dan bersiap menunggu ucapan Aris yang selanjutnya.
Aris mengubah posisi duduknya dengan bergeser condong menghadap Arumi. Wanita du sebelahnya hanya melirik ketika tangan Aris meraih tangannya, lalu mengusapnya pelan.
"Mas sudah memutuskannya?" tuntut Arumi lebih dulu bersuara.
"Ya," jawab Aris. Tangannya dilepas, berganti menyentuh kepala istrinya. Arumi terkejut, lalu secara menoleh. Aris masih meletakkan tangan di kepala Arumi, perlahan menyibak rambut hingga memperlihatkan bagian wajah Arumi dengan jelas
Cantik secara keseluruhan, memandang tanpa berkedip seakan-akan tak ingin melewatkan pemandangan di hadapannya barang sebentar saja.
"Sudah siap?" Pertanyaan ambigu Aris mendapat balasan berupa keterkejutan. Arumi mengernyit.
"Kamu pernah menawarkan diri. Sekarang, aku menerimanya. Kamu siap, Rum?"
Bukannya membahas perdebatan sebelumnya, Arumi dibuat terkejut dengan tingkah ajaib suaminya.
"Mas tadi... kita kan membahas masalah yang belum selesai," ucap Arumi mengingatkan.
"Terus?"
"Kok, terus sih, Mas? Kita butuh bicara biar masalahnya tidak berlarut-larut," protes Arumi ditanggapi senyuman manis oleh Aris.
"Iya kan?" tanya Arumi menegaskan pernyataannya.
"Ya. Kita memang akan menyelesaikan masalah. Tapi tidak masalah selesai dengan bicara, Rum."
"Maksudnya?"
Tiba-tiba Aris merunduk, tangannya diarahkan ke dagu istrinya dan secara bersamaan sebelah tangan menekan belakang kepala Arumi hingga wajah mereka pun beradu. Meskipun terkejut, Arumi malah memejamkan mata. Tak sanggup menatap wajah tampan sang suami dari posisi yang tidak berjarak itu. Tangannya terasa kaku dan membeku seketika. Arumi meremas tangan sendiri, merasai sensasi lembut bibir Aris yang bermain di bibir dan wajahnya.
"Mas...." Ia mendesah.
"Hmmm...." Aris membalasnya dengan gumaman.
Tak ada yang melanjutkan kata-kata mereka. Suasana hening, hanya sesekali terdengar erangan kecil dari bibir Arumi, bersamaan dengan tanggalnya pakaian keduanya hingga berserakan tak tentu arah.
*
Jarum jam di dinding bergerak teratur menunjuk ke angka satu. Benda itu seakan-akan menjadi saksi bisu pergulatan dua insan yang telah berakhir beberapa menit yang lalu. Sepi, sudah tidak terdengar lagi suara-suara gaduh yang sempat mengiringi malam hingga melewati setengahnya. Yang ada saat ini hanyalah deru teratur nafas keduanya yang tersembunyi di bawah selimut.
"Masih sakit?" tanya Aris dengan suara seraknya. Kerongkongan terasa kering, setengah dari tenaganya belum pulih.
Arumi menjawabnya dengan gelengan.
"Mas carikan obat kalau masih sakit."
"Obat apa?" tanya Arumi seraya mendongak. Dua manik bola mata Aris juga tengah menatapnya.
"Pereda nyeri lah."
"Nggak usah. Memangnya bisa sembuh dengan minum obat itu?"
"Berarti masih sakit?" Aris hendak beranjak Tapi tangan Arumi menahannya.
"Nggak usah, Mas. Memang normal begini kan? Nanti juga sembuh sendiri." Arumi menarik selimut lebih tinggi untuk menutup tubuhnya di bagian depan.
"Oke. Kalau begitu, besok istirahat saja. Nggak usah ke toko," pinta Aris. Tangannya bergerak rambut istrinya yang masih berantakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Sri Puryani
ntar bucin aris
2025-03-04
0